Part 6

5.8K 607 15
                                    


💖

Seminggu setelah acara kelulusan, Pak Kyai memanggil Satria untuk datang ke rumahnya ba’da Ashar. Di ruang tamu, sudah ada sepasang suami istri dari kota. Satria menyapa dengan salam lalu mencium punggung tangan mereka.

“Manis,” ucap wanita usia 32 tahun tersebut, tersenyum dengan tangan mengelus rambut Satria.

Satria hanya tersenyum biasa kemudian duduk di samping Pak Kyai.

Pak Kyai menyentuh bahu Satria dan berbicara dengan pelan, “Satria … kenalin, itu adalah Pak Rendi dan Bu Santi. Mereka dari Jakarta, jauh-jauh datang kemari untuk ... mengadopsimu menjadi anak mereka.”

“Mengadopsi?” sela Satria dengan wajah mengernyit.

Lelaki usia 37 tahun dengan wajah teduh itu mengangguk pelan kemudian berkata, “Pak Rendi ini dulunya adalah adik kelas Bapak waktu di pesantren. Bapak sangat mengenal beliau. Orangnya sangat baik. Percayalah. Mereka ingin mengangkatmu menjadi anaknya.”

Satria berdiri dengan dada naik turun dan napas memburu. “Satria ndak mau! Satria ini anak Emak! Satria ndak mau jadi anak orang lain! Satria cuma anaknya Emak!” Setelah mengatakan dengan penuh emosi, Satria berlari keluar tanpa permisi.

“Satria …!” Pak Kyai memanggil, berdiri hendak mengikuti tetapi ditahan oleh Pak Rendi.

“Biarkan dulu, Kang, jangan dipaksa.”

Pak Kyai menghela napas dalam-dalam dan duduk kembali. “Maafkan. Nanti tak coba bicara dan bujuk lagi,” ujarnya tak enak hati.

“Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja bujuknya. Aku sih maklum. Mungkin dia masih belum bisa menerima kepergian Emaknya,” jawab Rendi setenang mungkin lalu tersenyum dan mengelus tangan sang istri yang terlihat muram seketika.

Ba’da Isya, usai mengajar ngaji dan menjadi imam di mushola, Pak Kyai menghampiri Satria yang hendak pulang. Membujuk pelan untuk diajak bicara di rumahnya lagi.

Di ruang tamu, rumah Pak Kyai, hanya ada mereka berdua. Rendi dan Santi yang menginap di rumah tersebut, memilih menunggu di kamar bersama Lasmi, istri Pak Kyai.

“Satria … Pak Rendi dan Bu Santi itu orangnya sangat baik. Bapak kenal Pak Rendi sudah lama, makanya Bapak menyarankan beliau untuk mengadopsi, mengangkatmu menjadi anaknya. Itu semua karena Bapak ndak bisa membiarkanmu terus sendirian seperti ini. Kamu masih kecil, masa depanmu masih panjang. Kamu perlu seseorang yang bisa mendidikmu, menyekolahkanmu, dan menjadi keluarga baru untukmu.”

“Satria ndak mau siapa-siapa. Satria ndak mau jadi anaknya orang lain. Satria ini anaknya Emak. Cuma anaknya Emak!” lirih Satria dengan suara tercekat. Dadanya kembang-kempis menahan isakan.

“Lho yang bilang kalau kamu itu bukan anak Emak siapa? Kamu tetap anaknya Emakmu, Sat. Itu ndak akan pernah berubah, sampai kapan pun. Tapi di sini itu kondisinya sudah berbeda, kamu harus melanjutkan masa depanmu. Sekolah setinggi-tingginya, biar jadi orang sukses. Emakmu pasti akan bangga.”

Kata-kata Pak Kyai membuat Satria terdiam, menatap dalam-dalam.

Pak Kyai tak mau menyia-nyiakan kesempatan, dan langsung melanjutkan, “Kalau kamu mau jadi anaknya Pak Rendi dan Bu Santi, Insya Allah kamu akan bisa sekolah tinggi. Cita-citamu akan tercapai. Emakmu pun pasti akan bangga melihatmu.”

Satria masih bergeming, mencerna semua kata-kata guru ngajinya tersebut.

“Satria … kamu itu laki-laki, harus kuat, lanjutkan hidupmu. Sekolahlah yang tinggi, raihlah mimpi, lalu jadilah orang yang berguna nanti. Bapak sangat yakin, kamu pasti akan jadi orang sukses nantinya. Bapak percaya itu.” Pak Kyai mengelus lembut rambut Satria.

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang