Part 8

6.9K 612 39
                                    

Hari ini, setelah semua urusan di desa selesai, Satria pamit pulang ke kota. Mobil jemputan sudah terparkir di halaman rumah Lek Parni. Mobil yang siap mengantar Satria sampai ke bandara Semarang nanti.

“Satria pamit pulang dulu ya, Lek …,” ucap Satria di depan rumah sebelum masuk ke dalam mobil.

“Hati-hati yo, Le. Sekarang kan sudah di Indonesia, seringlah pulang ke desa, tilik Lekmu ini, ya?” Lek Parni mengusap rambut Satria lembut.

“Insya Allah kalau ada waktu, Satria akan sering-sering pulang. Lek Parni jaga kesehatan, jangan terlalu capek, ya?” ujar Satria menasihati.

“Nggih Pak Dokter ….” Lek Parni nyengir, yang justru terlihat lucu dan membuat semuanya tertawa.

Setelah tawa mereda, tatapan Satria beralih pada gadis yang berdiri di sebelah Lek Parni.

“Kamu juga, Fit, hati-hati ya. Jaga kesehatan, sekolah yang bener, nurut sama kata ibu,” ujar Satria, tangannya mengusap pucuk kepala Safitri.

Safitri mengangguk dan menunduk menyembunyikan semburat merah di wajahnya.

“No WAnya Mas Satria sudah disimpan, kan? Nanti kalau ada waktu Mas bisa video call. Kalau Lek Parni kangen.” Satria tersenyum melirik Lek Parni.

“Sudah, Mas.” Safitri tersenyum lalu kembali menunduk.

“Ya sudah Mas pulang ya.” Sekali lagi Satria mengusap pucuk kepala Safitri lalu beralih kepada Lek Parni. “Satria pulang ya, Lek?” Kemudian dia mencium punggung tangan yang telah mengeriput itu.

“Hati-hati yo, Le. Jangan lupa selalu berdoa marang Gusti Allah, supaya semua dilancarkan. Lek cuma bisa bantu doa dari sini.”

“Insya Allah, Lek. Matur nuwun buat semuanya ya, Lek.”

Sekarang giliran Safitri yang mencium punggung tangan Satria. Setelah itu, Satria masuk bersama Arul si pemilik mobil silver tersebut, dan mulai melaju pelan meninggalkan halaman dan semakin menjauh. Satria membuka kaca mobil, selalu tersenyum saat bertatap muka dengan warga desa.

“Kalau kayak gini aku jadi ingat waktu kecil dulu saat kamu maksa nganterin aku ke makam naik sepeda,” ujar Satria saat mobil sudah menjauh dari desanya.

Lelaki cengengesan itu tersenyum miring dan menggeleng. “Kangen aku, Sat. Rasanya baru kemarin kita main bareng di lapangan. Main di kali nyari ikan, atau main kelereng sampai lupa makan. Ah kok ya sekarang sudah ndak ada waktu lagi untuk sekadar menyapa. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing.”

“Iya mau bagaimana lagi. Yang penting kita jangan sampai putus komunikasi. Kalau balik ke masa lalu ya ndak mungkin, memangnya kamu ndak mau menikah apa?” Satria melirik temannya yang sedang fokus menyetir.

“Ya tentu saja aku mau. Kamu kan sudah tak ceritain semuanya tho, kalau ibuku sendiri yang menjadi penghalang untukku segera menikah. Kalau bukan karena ibuku, mungkin saat ini aku sudah punya anak.” Arul melirik Satria sekilas lalu kembali fokus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

“Yo yang sabar. Mau bagaimanapun, ibu adalah yang utama. Jangan sampai hanya karena cinta kepada wanita, kita jadi durhaka sama wanita yang sudah mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan kita,” ujar Satria bijak.

“Ck, kamu ini omongannya sudah seperti Pak Kyai saja. Rasanya kok kamu itu lebih cocok jadi ustadz daripada dokter. Salah ambil jurusan kamu,” komentar Arul saat menghentikan mobilnya di perempatan Truko yang macet siang itu.

Satria justru tertawa kecil. “Kamu itu ngomong apa tho, Rul. Aku itu jadi dokter termotivasi dari seseorang. Dia yang membuatku ingin menjadi seorang dokter. Gadis kecil yang sejak usia setahun harus berada dalam kegelapan.”

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang