Part. 15

3.8K 522 22
                                    



Di kamar dengan nuansa klasik juga terdapat banyak pernak-pernik dengan ukiran cantik, Ambar duduk di kursi kayu tengah menatap foto almarhum suaminya. Foto puluhan tahun lamanya itu terpajang di dinding dengan ukuran sangat besar.

Tatapannya kosong. Ekspresi datar tanpa senyuman. Namun, di pipi keriputnya tercetak jelas bekas air mata yang mengering. Entah apa yang ia pikirkan. Merenung di kamar sejak pertengkarannya dengan Satria tadi siang.

Sebuah ketukan pintu berkali-kali tak sedikit pun membuatnya buyar atau bergerak.

Pintu akhirnya terbuka. Ada Rendi, dengan pelan masuk setelah mengucap permisi tapi tak dihiraukan oleh Ambar. Lelaki yang usianya sudah setengah abad itu pun melangkah menghampiri ibunya.

“Bu …,” panggil Rendi pelan lalu berjongkok di samping ibunya.

“Ada apa?” Ambar bersuara tanpa sedikit pun menoleh.

“Ibu kenapa?”

“Langsung saja, tidak perlu basa-basi.”

Rendi meraih tangan kiri ibunya, menggenggam kemudian menciumnya.

“Apa anak itu yang menyuruhmu menemui Ibu?” Ambar menoleh, menatap sinis pada anak lelakinya.

Rendi mendongak dan tersenyum. “Ibu ada apa sebenarnya dengan Satria?”

“Pergilah, kalau tujuanmu ke sini hanya untuk Satria.” Ambar kembali menatap lurus.

Rendi menghela napas pelan. “Tolong jangan terlalu keras dengan Satria, Bu. Selama ini, dia selalu nurut apa pun kata Ibu, kan?”

“Anak itu sudah berani kurang ajar!” Suara Ambar meninggi, kembali tersulut emosi.

“Maafkan dia, Bu. Mungkin, dia juga sedang emosi.”

“Tidak ada alasan!”

“Bu ….” Rendi kembali menggenggam tangan Ambar. “Satria sudah menjadi anggota keluarga kita sejak bertahun lamanya. Apakah Ibu tega mengusirnya begitu saja hanya karena menolak dijodohkan?”

“Kamu tidak tahu apa yang sudah dia katakan pada Ibu! Anak itu sudah berani kurang ajar! Ibu juga tidak akan tega mengusir kalau dia tidak keterlaluan!” Ambar melotot, bicaranya pun penuh penekanan.

“Rendi tau itu, tapi apa harus sampai mengusirnya?”

“Dia sudah berani melawan. Sombong! Tidak tahu diri! Tidak ada terima kasihnya sama sekali! Jadi untuk apa mempertahankan anak seperti itu!”

“Anak yang Ibu maksud itu sudah membawa nama baik keluarga, Bu. Lihatlah, dia sukses menjadi dokter spesialis sekarang. Satria juga gak pernah neko-neko selama ini. Bahkan sangat menurut.”

“Ibu tidak peduli lagi!”

“Kalau untuk pernikahan, biarkan Satria sendiri yang memilih pasangan. Toh dia sendiri nanti yang menjalaninya.”

“Jadi kamu membelanya?”

“Bukan membela siapa-siapa, Bu. Rendi hanya memahami perasaan Satria. Dia sudah punya gadis yang dicintai, lalu Ibu memaksa untuk menikahi gadis lain. Tentu saja itu sangat berat.”

Ambar terdiam sesaat dengan tatapan menerawang.

“Bu ….”

“Apa kamu menderita dengan pilihan Ibu?” tukas Ambar cepat.

“Maksud, Ibu?”

“Apa kamu menderita menikah dengan Nurmala?”

Rendi bungkam.

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang