Pulang sekolah, Satria berjalan santai di bawah terik matahari yang menyengat siang itu, dengan menenteng kantong plastik berisi roti bolu. Beberapa hari sebelumnya, dia sengaja tidak jajan, menyisihkan uang saku untuk membeli roti bolu kesukaan emak.
“Emak pasti suka,” gumamnya. Segaris senyuman terukir di bibir, saat membayangkan wajah emak yang tersenyum haru, lalu memuji dan memeluknya dengan hangat.
“Satria …!” Lek Parni, tetangga sebelah rumah Satria berteriak memanggil dari kejauhan. Mengayuh sepeda cepat sekali. Entah apa yang terjadi. Satria justru diam, menunggu Lek Parni menghampiri.“Satria … cepat naik. Ayo pulang sekarang. Emakmu kecelakaan!” Lek Parni ngos-ngosan menjelaskan saat berada tepat di hadapan Satria.
“Kecelakaan?!” Mata Satria membulat tak percaya. Namun, dia segera naik membonceng sepeda ontel Lek Parni.
Wanita seumuran emaknya itu mengayuh sepeda dengan sangat cepat. Melalui jalanan yang cukup terjal karena belum diaspal, tak menghiraukan keringat yang mengucur deras di pelipisnya. Sedangkan Satria, hanya terdiam dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di otaknya. Pun ketakutan mulai menyusup di hatinya.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai karena jarak rumah dan sekolahan hanya sekitar satu kilometer, dan telah ada banyak warga yang mengerubungi rumah. Satria turun dan segera berlari masuk, menerobos banyak orang yang menghalangi pintu.
“Emak …!” Satria menjerit saat melihat emaknya terbaring di kasur dengan badan juga kepala yang masih berlumuran darah. Melempar plastik berisi roti tadi ke sembarang arah.
“Emak …!” Satria menghambur memeluk emaknya. Bahkan tidak menghiraukan darah yang menempel di seragam putihnya.
Anak itu terus memanggil sambil mengguncang tubuh emak. Rasa takut langsung menyusup saat emak sama sekali tidak bergerak apalagi merespon.
“Emak bangun …!” Suaranya membentak dengan terus mengguncang tubuh emak lebih kencang. Namun, tetap saja emak diam dan tidak menjawab.
“Sabar, Sat … ikhlaskan.” Suara Lek Parni lirih, menyentuh punggung Satria menenangkan. Namun, tentu saja itu percuma.
Satria menoleh dan menatap penuh harap. “Cepat bawa Emak ke rumah sakit, Lek. Kasihan Emak pasti kesakitan. Ayo Lek, cepat bawa Emak ke rumah sakit. Kasihan, Lek, kasihan Emak ….”
Air mata itu pun jatuh juga dari pertahanannya. Satria tergugu. Seluruh tubuhnya gemetar dan lemas. Terlebih saat Lek Parni menggeleng lemah dengan air mata yang jauh lebih deras.
“Tadi sudah mau dibawa ke rumah sakit, Sat. Tapi Emakmu sudah ndak tertolong. Emakmu sudah meninggal Sat, Emakmu …,” suara Lek Parni tercekat, tak sanggup melanjutkan.
“Emak belum meninggal!” pekik Satria dengan mendorong kasar tubuh Lek Parni. “Lek Parni jahat! Kenapa semua orang jahat! Kenapa ndak ada yang mau bawa Emak ke rumah sakit? Apa karena Emak ndak punya uang? Kalian semua jahat!” Matanya menyala dengan rahang mengeras, tetapi kemudian dia menghambur lagi memeluk emaknya. Satria tergugu dalam pelukan emak.
“Emak bangun … jangan tinggalin Satria sendiri. Satria janji ndak akan nakal lagi, ndak akan ngompol lagi. Satria janji akan jadi anak yang baik, rajin sholat, rajin ngaji, rajin belajar dan ndak akan berantem lagi di sekolahan. Satria akan nurut sama Emak, dan ndak akan minta sepeda lagi. Satria janji, Mak! Tapi Emak bangun ….”
Pecah sudah suasana di rumah kecil itu. Semua orang yang berada di sana, ikut sesenggukan. Terlebih saat tangisan Satria semakin keras. Memeluk erat tubuh emaknya yang sudah tak bernyawa.
Semua janji yang terucap adalah ketulusan. Janji dari anak berusia 11 tahun yang terkenal karena kenakalannya. Namun, senakal apa pun dia, tetap saja emak adalah yang utama. Meski tak pernah terucap kata sayang, hati kecilnya selalu tak tega saat emak berurai air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)
EspiritualKisah seorang anak lelaki yang tumbuh dewasa dengan lika-liku kehidupan yang sangat tajam. Satu-satunya wanita yang dicintainya harus pergi meninggalkan untuk selamanya. Wanita yang dia panggil Emak. Namun kehidupannya berubah saat diangkat anak ol...