Hati seseorang bukanlah ilmu pasti yang bisa diprediksi. Segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya dapat mempengaruhi hati. Suasana hatilah yang kelak akan menentukan seperti apa seseorang akan bersikap.
Kejadian masa lalu akan mempengaruhi diri seseorang di masa kini. Mungkin kejadian di masa sekarang akan mempengaruhi diri seseorang di masa depan. Begitu pun yang terjadi pada Altair.
Altair tahu sakitnya ditinggalkan. Ditinggalkan oleh Papa yang selama ini menjadi panutan baginya. Sosok yang dulu sangat dikaguminya itu lebih memilih bersama wanita lain meninggalkan keluarga kecilnya.
Altair yang pada dasarnya seorang anak yang cukup pendiam menjadi lebih menutup diri sejak kejadian itu. Ditambah lagi dia sering melihat mamanya menangis diam-diam karena kepergian Papa. Dia pun hanya memendam kesedihannya seorang diri.
Dan beberapa waktu lalu, Altair kembali ditinggalkan. Mamanya, satu-satunya sosok berharga yang dia punya, pergi untuk selamanya. Sejak saat itu Altair semakin sempurna untuk membentengi dirinya dari orang lain. Menutup pintu interaksi dengan orang sekitarnya. Bentuk pertahanan diri karena dia tidak ingin lagi ditinggalkan.
Memang sekarang Altair tinggal bersama kakeknya, tapi kakeknya itu orang yang sibuk dengan segala urusan bisnisnya. Membuatnya semakin sempurna untuk tetap nyaman dalam dunianya. Saat ini, satu-satunya orang terdekat baginya adalah Orion—sepupu tiang listriknya yang berisik.
Setelah pindah di sekolah baru pun, Altair tidak berniat mencari teman. Hari-harinya di sekolah hanya dihabiskan sendiri atau terkadang bersama Orion. Namun, Altair tahu dari sekian banyak teman-teman yang membicarakan atau menatapnya dengan terpesona, ada satu orang yang berbeda. Dia sering mencuri pandang ke arahnya bukan dengan tatapan terpesona, tapi penasaran. Dan orang itu juga yang bisa sedikit menarik perhatian Altair.
“Altair!” sebuah suara dan tepukan di pundaknya cukup mengagetkan Altair. Dia melihat siapa yang berani mengganggu waktunya.
“Sorry, ganggu lo. Dari tadi gue panggil lo sama sekali nggak ngerespon sih.” Irena langsung mencari alasan saat mata elang Altair menatapnya tajam.
“Apa?” tanya Altair datar sambil melepas salah satu earphone dari telinganya.
“Ini.” Irena menyerahkan selembar kertas. “Itu formulir pendaftaran ekskul. Lo isi terus nanti kasih ke gue lagi ya.”
Altair membacanya sekilas. “Nggak minat.” Dia hanya meletakkan kertas itu di meja dan memasang kembali earphone ke telinganya.
“Setiap siswa wajib ikut minimal satu ekskul, Al. Lo bisa nyalurin hobi lo di ekskul. Lo bisa ikut basket, sepak bola, klub musik. Lo juga bisa dapet banyak temen,” Irena menjelaskan panjang lebar.
Altair menatap Irena. “Denger ya, gue nggak punya hobi dan nggak niat untuk nyari temen.”
“Eh kok gitu? Oh ya, mungkin lo bisa ikut Kelompok Ilmiah. Gue lihat lo rajin belajarnya,” Irena tidak menyerah untuk membujuk Altair.
Altair yang bosan mendengar ucapan Irena langsung bangkit dari duduknya. Tanpa berkata apa-apa, dia meninggalkan Irena yang terdiam di tempatnya.
Irena mengembuskan napas. Dia tidak habis pikir bagaimana Altair bisa bertahan dengan bersikap seperti itu. Selalu sendiri, mengabaikan ajakan teman-temannya, hanya menanggapi dengan respon singkat atau hanya diam. Satu-satunya orang yang Irena tahu berinteraksi dekat dengan Altair adalah Orion.
Apa dia jelmaan manusia kutub? Irena hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir ada manusia seperti Altair. Kalau begini gimana mau cari tahu tentang dia? Mau ngobrol aja susah.
***
Altair masuk ke perpustakaan dan mengambil salah satu buku dari rak. Dia tidak berminat baca, hanya asal mengambil saja. Tujuannya ke perpustakaan karena ini satu-satunya tempat sepi saat jam istirahat.Hanya ada beberapa siswa yang menghabiskan waktunya di sini. Entah mereka tidak minat untuk jajan di kantin yang menjadi tempat favorit saat istirahat atau memang kutu buku. Altair tidak peduli. Dia hanya membutuhkan tempat yang tidak berisik.
Baru saja Altair menikmati kesendiriannya, sebuah suara berat yang sangat dihapalnya terdengar menyapa, “Lo tuh dicariin ke mana-mana, ternyata di sini.”
Altair tidak menanggapi. Dia hanya membolak-balik halaman buku di hadapannya.
“Heh, gue ngomong sama lo tahu.” Orion kesal karena Altair diam saja.
“Ya udah ngomong aja. Gue denger kok.”
“Altair!” Orion berseru agak keras sampai mendapat teguran dari penjaga perpustakaan. Dia jadi merasa canggung dengan pengunjung lain yang juga menatapnya.
“Lo tuh ya, kalau ada orang yang ngomong sama lo perhatiin dong,” kali ini Orion menurunkan nada bicaranya.
Altair akhirnya mengalihkan fokus dari buku dan menatap malas Orion. ‘Apa?’ itulah arti tatapan Altair.
“Lo dicariin Bu Anna ke kantor,” Orion akhirnya menyampaikan tujuannya mencari Altair.
Sebenarnya tadi ada siswa yang mencari Altair ke kelasnya dan bertemu dengan Irena. Karena tidak tahu keberadaan Altair, Irena mengirim pesan kepada Orion untuk meminta tolong mencari Altair.
Altair segera keluar dari perpustakaan. Dia tidak habis pikir dengan Orion, mengapa tadi tidak langsung bilang saja intinya. Itulah perbedaan antara Altair dan Orion. Ibaratnya kalau diminta untuk bercerita singkat dalam tiga puluh kata, maka Altair akan membuatnya dengan cepat bahkan mungkin bisa lebih pendek, sedangkan Orion mungkin bisa jadi tiga ratus kata.
“Al, lo belum tukeran nomer hape sama temen sekelas lo?” Dia jadi teringat pesan Irena yang tidak tahu nomor telepon Altair.
“Buat apa?”
Orion berdecak. “Paling nggak lo kasih tahu Irena. Dia ketua kelas lo. Kalau ada apa-apa atau ada info penting biar gampang ngehubunginnya.”
“Dia nggak tanya.”
Orion menepuk dahinya. Gimana dia bertahan hidup di sekolahnya dulu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher [END]
Teen FictionIrena selau memimpikan laki-laki yang sama setelah mendapat dream catcher sebagai hadiah ulang tahun ke 17. Dream catcher itu adalah hadiah terakhir dari kakaknya yang meninggal karena kecelakaan. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Dan mengapa dia sela...