12. Es yang Mulai Mencair

358 27 2
                                    

Awan kelabu menggantung di langit Bandung pagi ini. Udara terasa dingin disertai angin yang bertiup cukup kencang. Suasana itu seakan mengabarkan kedatangan air langit yang sebentar lagi menyapa bumi. Tak perlu menunggu lama, satu per satu rintik itu jatuh, mengalun bersahutan menciptakan simfoni yang syahdu.

Jika saja hari ini tidak ada ulangan Matematika, Irena tentu lebih memilih bergelung di dalam selimut hangatnya. Terlebih lagi perutnya terasa sakit sejak semalam. Dia akan senang hati kembali menjelajah alam mimpi diiringi nyanyian hujan.

Dengan langkah pelan sambil memegang perutnya, Irena berjalan keluar kamar untuk membersihkan diri. Dia melihat bundanya di dapur yang sedang menyiapkan sarapan.

Setelah selesai bersiap, Irena menghampiri bunda yang sudah menunggunya di meja makan dengan senyum manis. Sayang senyum manis itu tak dibalas oleh Irena. Pikirannya terfokus pada rasa sakit di perutnya.

Menyadari putrinya yang tidak baik-baik saja, Lily langsung menempelkan telapak tangannya di kening Irena. “Nggak panas. Kamu kenapa, Sayang?”

“Biasa Bun, tamu bulanan,” jawab Irena sambil meringis.

“Ya udah cepet habiskan sarapannya. Terus minum obat pereda nyeri.”

Irena mengangguk patuh. Dia pun memulai sarapannya dengan tenang. Tak banyak bercerita seperti biasanya.

Baru beberapa suapan, Irena menghentikan sarapannya. Perutnya terasa tak nyaman.

“Kok nggak dihabisin?” Lily menaruh sendoknya saat melihat nasi goreng di piring Irena masih tersisa banyak.

“Perut Irena nggak enak rasanya, Bun.”

Lily langsung berdiri dari duduknya dan mengambil obat dari kotak obat. “Ya udah, ini diminum dulu.”

Irena mengambil obat itu. Dia meminumnya dengan bantuan air. Saat rasa pahit tercecap di lidahnya, Irena mengeluh, “Pahit.”

Lily tersenyum geli melihat tingkah putrinya. “Apa kamu nggak usah sekolah aja dulu?“
Lily tahu, kalau Irena sedang kedatangan tamu bulanannya, dia akan merasa lemas di hari-hari awal.  Bahkan pernah sampai pingsan. Hal itu terkadang membuatnya cemas berlebihan.

“Nggak mau,Bun. Hari ini juga ada ulangan Matematika.”

“Kan kamu bisa ikut ulangan susulan.” Masih ada rasa khawatir dalam nada bicara Lily karena hari ini Irena juga terlihat pucat.

“Bunda tenang aja, sebentar lagi juga obatnya akan bereaksi.” Irena berusaha menenangkan bundanya.

Lily tak bisa lagi menolak keinginan Irena yang keras kepala. “Iya, Bunda percaya. Kalau ada apa-apa langsung kasih tahu Bunda ya.”

Irena mengangguk. Setelah merasa sedikit lebih baik, Irena pun pamit berangkat sekolah. Dia tidak ingin terlambat dan berakhir dengan mendapat hukuman saat kondisi tubuhnya tidak baik.

Irena menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya sambil berteduh menunggu angkot. Semalam, Irena menghujani Altair dengan pesan berisi pertanyaan terkait mimpinya tentang Irena. Ternyata pesannya untuk Altair belum ada yang dibalas. Jangankan dibalas, pesannya itu belum ada satu pun yang terkirim.
Gadis itu meniup poninya. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku rok. Tak berapa lama, angkot yang menuju sekolahnya datang.

***

Altair keluar dari kamarnya dan langsung menuju meja makan. Lagi-lagi pagi ini dia hanya sarapan seorang diri. Kakeknya masih berada di luar kota untuk menyelesaikan urusan bisnis.

Altair kembali diselimuti sepi. Dirinya sudah terbiasa. Berulang kali dia menyakinkan diri kalau dia baik-baik saja dengan rasa sepi itu.

Di sela-sela sarapan, Altair mengaktifkan ponselnya yang dimatikan sejak semalam. Tak perlu menunggu waktu lama beberapa pesan beruntun langsung menyerbu masuk. Altair mengabaikan pesan-pesan itu. Dia fokus menyelesaikan sarapannya.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang