24. Harapan

296 24 0
                                    

Irena sedang duduk sendirian di bangku yang terletak di halaman rumahnya. Dia mengamati kupu-kupu yang sedang hinggap di kelopak mawar merah. Beberapa yang lain sedang berterbangan ke sana kemari seolah berkejaran bersama temannya. Wangi mawar yang terbawa angin sore menggelitik indera penciuman. Suasana itu membuat hati Irena tenang. Tanpa sadar, bibirnya membentuk sebuah lengkungan ke atas.

Irena merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya, ternyata sekaleng jus. Irena mengangkat kepalanya mencari tahu pelaku yang berani mengganggu waktu santainya. Saat mengetahui siapa orang itu, Irena sempat tak berkedip selama beberapa detik. Dia takut jika sekali saja berkedip, sosok itu akan hilang.

“Nggak kangen sama aku?” tanya sosok itu.

Tanpa banyak berkata, Irena langsung memeluknya dengan erat. Tak memedulikan kaleng jus yang jatuh berguling ke tanah. Dia hanya ingin menyalurkan rasa rindu yang telah lama membuncah. Sosok itu pun membalas pelukan Irena. Irena merasakan rasa dingin melingkupinya, tapi hatinya terasa hangat.

“Tolong, jangan pergi….” Air mata menggenang di pelupuk mata Irena. “Kak Raehan.”

Raehan melepaskan pelukannya. Dia tersenyum saat melihat wajah adiknya yang memerah karena menahan tangis. Dia menangkupkan kedua tangannya di pipi Irena.

“Adikku ini masih cengeng ternyata,” kata Raehan lalu menyentil pelan kening Irena.

Irena merengut sambil mengusap dahinya yang sebenarnya tidak sakit.

“Gimana kabarmu, Na?” Mereka berdua duduk bersebelahan di bangku.

Irena mengembuskan napas lelah. “Sama sekali nggak baik. Sampai semua terasa sesak.” Kemudian mengalirlah semua cerita Irena. Dia seolah terhipnotis untuk mengungkapkan semua perasaannya sampai tak bersisa.

“Kenapa kamu nggak coba untuk memaafkannya?”

“Rasanya sulit, Kak. Setiap kali namanya disebut, aku teringat malam mengerikan itu.” Irena menyandarkan kepalanya di bahu Raehan.

“Memaafkan bukan berarti melupakan. Memaafkan itu mengingat tanpa kemarahan. Memaafkan itu bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk diri kita sendiri. Karena kita berhak untuk merasakan ketenangan.”

Irena beradu pandang dengan Raehan. Tatapan itu masih sama hangatnya seperti yang Irena kenal. Irena menunduk. “Apa aku bisa, Kak?”

Raehan tersenyum. Dia mengangkat dagu Irena agar menatapnya. “Kakak yakin kamu bisa,” kata Raehan meyakinkan. “Karena Kakak ingin yang terbaik untuk kamu.” Raehan mengusap lembut kepala Irena. Kebiasaannya sejak Irena kecil dan tak hilang bahkan setelah Irena remaja.

Setelah berkata seperti itu, perlahan tubuh Raehan berubah menjadi serpihan. “Selamat tinggal, Irena.” Sosok itu sempurna menghilang bersama tiupan angin yang menerbangkan aroma manis mawar dan kepak sayap kupu-kupu yang menutup senja.

***

Irena mengabaikan sarapan yang tersaji di hadapannya. Perkataan Raehan di mimpinya semalam masih terngiang hingga pagi ini. Dia tahu kata-kata itu bukan hanya untuk didengar, tapi juga meminta diwujudkan.

Lily yang melihat Irena tidak menyentuh makanannya sama sekali langsung bertanya, “Kamu nggak apa-apa, Na?”

“Eh, iya Bun?”

“Kamu nggak suka sarapannya atau masih ada yang sakit?”

“Nggak kok, Bun. Aku nggak apa-apa.” Irena mulai menyuap bubur ayam buatan bundanya. Sebenarnya dia agak bosan memakan bubur karena selama sakit bubur sering menjadi menu utamanya. Namun, dia tidak tega untuk meminta sarapan yang lain pada bundanya.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang