26. River Flows in You

291 25 0
                                    

Hampir setiap hari Irena menyempatkan diri untuk menjenguk Altair. Seperti sore ini setelah membantu di toko bunga sepulang sekolah, Irena pamit kepada bundanya. “Bun, aku ke rumah sakit ya.”

“Jenguk Altair?”

Irena mengangguk. Dia merapikan bajunya yang dibalut kardigan berwarna merah marun.

Lily tersenyum melihat Irena merapikan bajunya. “Kamu udah cantik kok.” Kemudian dia mengambil beberapa tangkai baby breath dan merangkainya jadi buket kecil yang manis.

“Ih, Bunda apaan sih?” Irena jadi malu sendiri.

Sebelum Irena keluar dari toko bunga, Lily menyerahkan sebuket kecil baby breath. “Bawa ini.”

“Buat apa, Bun?”

“Ya buat Altair. Bunda perhatiin kamu setiap jenguk kayaknya nggak bawa apa-apa dan bunga ini yang dulu sering dia beli.”

“Dia ngelihat aku dateng aja udah seneng,” ujar Irena percaya diri sambil menerima buket baby breath.

“Dasar kamu ini. Ya udah, hati-hati ya. Salam untuk Altair,” kata Lily saat Irena keluar dari toko bunga.

Setelah menaiki angkot selama setengah jam, akhirnya Irena sampai di rumah sakit tempat Altair dirawat. Dia langsung menuju kamar rawat Altair yang sudah dihapalnya di luar kepala. Irena menyembulkan kepalanya di pintu sebelum masuk. “Hai!” sapanya.

“Ngapain di situ?” Altair meletakkan ponselnya saat melihat Irena di depan pintu.

Irena melangkahkan kaki ke dalam. “Gimana keadaan lo? Udah baikan?”

“Hmm.” Keadaan Altair membaik dengan cepat. Sekarang dia hanya memakai infus saja.

Irena sudah terbiasa dengan jawaban singkat dari Altair. Jadi, tidak mempermasalahkannya lagi. Irena menaruh baby breath di vas yang ada di nakas. Setiap gerakan yang dilakukan Irena tidak lepas dari pengamatan Altair.

“Itu buat apa?” tanya Altair saat Irena selesai menyusun baby breath di vas. Dia jadi teringat arti baby breath yang dulu sempat disampaikan oleh Irena.

“Oh, ini dari Bunda. Kata beliau ini bunga yang sering lo beli. Biar kamar ini juga agak seger.” Irena menarik kursi di samping tempat tidur Altair dan mulai mengupas apel yang ada di nakas.

“Oh.” Entah mengapa Altair merasa sedikit kecewa mendengar jawaban Irena. Tadinya dia mengira bunga itu dari Irena. Dia lalu menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran yang tadi melintas.

“Lo kenapa? Pusing?” Irena menghentikan kegiatan mengupas apel.

“Nggak.”

“Ck, aneh,” gumam Irena. Irena lalu melanjutkan kegiatannya memotong kecil-kecil apel dan menaruhnya di piring. “Nih.” Irena menyerahkan sepiring apel ke pangkuan Altair.
Altair bergeming.

“Lo nggak mau? Kalau gitu buat gue aja.” Irena akan mengambil lagi piring itu.

“Enak aja.” Altair mengamankan piring itu dengan menutupinya menggunakan tangan.

Irena terkekeh pelan lalu duduk di kursi dan membalas pesan dari Jasmine. Altair kembali memperhatikan Irena yang tersenyum saat membaca pesan di ponselnya.

“Lho, belum dimakan. Mau gue suapin?” tawar Irena.

Altair mengalihkan matanya ke potongan apel. “Gu-gue bisa makan sendiri.” Kemudian Altair mulai menyuap sepotong apel.

Irena terkekeh geli melihat Altair yang salah tingkah. Ternyata sedikit menggoda Altair cukup menghibur. Irena bisa melihat ekspresi yang jarang diperlihatkan Altair.

Sambil memakan apelnya, Altair mendengarkan Irena berceloteh tentang segala kejadian di sekolah. Sesekali dia menanggapi. Irena juga berbaik hati membawakan catatan pelajaran selama Altair tidak masuk sehingga Altair bisa sedikit mempelajarinya. Itulah yang mereka lakukan selama Altair dirawat.

“Terus kompetisi musik gimana kabarnya?” tanya Altair. Altair menyuap potongan apel terakhir.

“Nggak jadi,” Irena berkata lirih.

“Maaf. Gara-gara gue—“

“Berhenti minta maaf, Al atau gue sama sekali nggak mau maafin lo.” Irena bosan dengan Altair yang merasa bersalah setiap kali ada kejadian tidak menyenangkan yang terjadi pada dirinya. “Nggak apa-apa. Kita bisa ikut yang tahun depan,” ucap Irena ceria.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang