20. Penjelasan

279 30 1
                                    

Irena duduk menunduk di ruang tamu. Tangannya memainkan ujung bajunya. Tadi dia meminta pulang lebih awal dari toko bunga dan bundanya tak tega membiarkannya pulang seorang diri. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Irena untuk menuntut penjelasan dari bundanya. Irena tidak mau selalu dihantui prasangka. Dia ingin semuanya terbuka malam ini.

Lily datang dengan membawa dua cangkir teh. "Diminum dulu." Lily menyerahkan salah satu cangkir kepada Irena.

Irena menerimanya tanpa banyak kata, kemudian menyesap teh itu. Rasa hangat yang mengaliri kerongkongannya sedikit memberikan ketenangan.

Lily menarik napas dalam, berusaha untuk mengumpulkan kekuatan sebelum bercerita. "Maafin Bunda, Irena," Lily berkata dengan suara lirih penuh penyesalan.

Irena meremas ujung bajunya. Berbagai perasaan bercampur di hatinya. Kecewa, marah, sedih berbaur jadi satu. Membuat dadanya terasa sesak, padahal tadi dia sudah menumpahkannya dengan tangisan. Namun, perasaan itu belum juga reda.

"Bunda tahu, kamu pasti kaget saat mendengar hal itu." Lily berusaha hati-hati dalam berbicara.

"Aku bukan cuma kaget. Aku juga kecewa. Kenapa Bunda nyembunyiin hal itu dari aku?"

Lily terdiam sebentar saat mendengar pertanyaan Irena. "Karena Bunda nggak mau kamu sedih saat tahu. Bunda tahu kamu sangat menyayangi Raehan."

Irena memalingkan wajahnya. Tak sanggup untuk bertatap muka dengan bundanya. Apa yang dikatakan Lily memang benar. Irena tidak bisa membayangkan rasa sakit seperti apa yang dirasakan kakaknya saat mendonorkan ginjal, padahal dia sedang berada di ujung maut saat itu.

"Bunda tak bisa menolak permintaan Raehan saat itu."

Irena menundukkan kepalanya. Berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang dan mengaburkan pandangannya. Hatinya tak bisa membayangkan pilihan yang harus dibuat bundanya.

"Bunda ingin mengabulkan permintaan Raehan di saat terakhirnya."

Pertahan Irena runtuh sudah. Air mata yang ditahannya mengalir tanpa permisi. Irena tak ingin membayangkan saat terakhir Raehan yang tak sempat ditemuinya.

Lily yang melihat Irena menangis segera berpindah ke sebelah putrinya. Dia menarik Irena ke dalam pelukan. Mengusap dengan lembut punggung putri satu-satunya. Harta berharga yang Lily miliki di dunia ini.

"Maafin Bunda. Maafin Bunda," berulang kali Lily mengulang permintaan maafnya. Bunda nggak mau melihat kamu terluka seperti ini.

Khawatir Irena kelelahan karena apa yang terjadi hari ini, Lily berkata, "Sebaiknya kamu istirahat ya. Besok kan kamu sekolah."

Irena mengangkat kepalanya. Wajahnya memerah karena tangis. "Nggak mau sebelum Bunda ceritain semuanya," kata Irena tegas.

Lily menghela napas. Tidak ada gunanya berdebat dengan Irena. Anak itu keras kepala jika sudah memiliki keinginan.

"Raehan sempat bilang tentang keinginannya untuk mendonorkan ginjal dua bulan sebelum kecelakaan itu."

Irena membenarkan posisi duduknya. Dia menajamkan seluruh panca inderanya untuk mendengarkan cerita tentang Raehan. Hal ini sekaligus menjadi pintu lain hubungan antara Raehan dengan Altair.

***

Sore itu suasana rumah sedang sepi karena Irena sedang pergi bersama Jasmine dan Rose. Hal ini dimanfaatkan oleh Raehan untuk berbicara empat mata dengan bundanya. Dia menghampiri Lily yang sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di halaman depan.

"Bunda...," panggil Raehan. "Ada yang mau aku bicarain."

"Bicarain apa? Kamu mau bawa calon kamu ke rumah?" goda Lily masih asyik menyiram mawarnya.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang