14. Seorang Kakak

325 28 0
                                    

Sisa hujan meninggalkan aroma khas dan hawa dingin yang menusuk tulang. Namun, hal itu tidak membuat seorang pemuda beranjak dari taman rumah sakit tempatnya sekarang berada. Tangannya yamg berada di pegangan kursi roda mengepal kuat.

“Apa yang kamu lakukan malem-malem di sini?” suara yang ramah menyapa gendang telinga si pemuda.

Pemuda itu mengabaikan sapaan dari seorang dokter muda yang kini duduk di bangku di samping kursi rodanya. Pandangan matanya tetap fokus ke depan.

“Kamu Altair, kan? Aku Raehan,” dokter muda itu memperkenalkan diri tanpa diminta lalu mengamati remaja yang berada di sebelahnya. Sebuah senyum terkembang di wajahnya. “Kamu kesepian ya?” tebak Raehan.

Altair yang mendengar itu langsung menolehkan diri. Tebakan Raehan tepat sasaran.

“Aku temani kalau begitu,” lanjut Raehan. Tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hanya seperti itu selama setengah jam.

“Saatnya kembali ke kamarmu.” Raehan bangkit dari duduknya dan memutar kursi roda Altair.

Altair menahan tangan Raehan. “Nggak mau.”

“Jangan begini. Badan kamu bisa tambah sakit.”

“Biarin aja!”

Raehan mengusap wajahnya. Menghadapi remaja yang keras kepala membuatnya teringat dengan adiknya.

“Terserah kalau kamu nggak mau, tapi aku akan tetap membawamu kembali ke kamarmu.” Raehan mendorong kursi roda Altair.

Ingin rasanya Altair berontak dari paksaan dokter muda ini. Namun, apa daya tenaganya tidak sebanding. Penyakitnya yang kambuh tadi sore menguras energinya. Dia hanya bisa pasrah.

“Kalau kamu berada di luar lebih lama lagi, penyakitmu bisa kambuh tahu,” Raehan membuka suara saat mereka melewati koridor rumah sakit. Raehan sudah membaca riwayat penyakit pasiennya yang masuk UGD tadi sore.

“Biar aja. Mungkin mati lebih baik,” jawab Altair sekenanya.

Dia merasa lelah. Seharusnya kedatangannya ke Bandung untuk bertemu dengan papanya menjadi hal yang menyenangkan. Bukannya tambah menyakitkan. Altair masih berharap kedua orang tuanya bisa bersama lagi. Namun, harapannya hanya sebuah asa kosong. Keduanya kembali bertengkar dan saling berteriak saat bertemu. Mengabaikan perasaan Altair sebagai seorang anak.

Raehan menghentikan kursi roda saat mendengar jawaban Altair. “Ck, lemah!” Raehan berkata dengan pelan, tapi masih bisa didengar oleh pendengaran Altair karena koridor itu memang sudah sepi.

“Anda nggak tahu apa-apa,” ucap Altair ketus. Ada rasa tidak terima dirinya dikatai ‘lemah.’

“Oke. Aku memang nggak tahu apa-apa tentang kamu. Tapi, kalau menyerah begitu saja dan ingin mati, kalau bukan lemah lalu apa namanya? Penakut? Takut sama hidupmu.”

Raehan menarik napas. “Kamu tahu, berapa banyak orang yang berjuang setiap harinya untuk bisa hidup? Dan kamu dengan gampangnya bilang mati.”

“Jangan pernah merasa menjadi orang yang paling menderita. Lihat orang di sekitarmu yang masih mau menerima kamu apa adanya.”

“Kalau kamu terlalu sibuk meratapi nasibmu, kapan kamu punya waktu untuk tahu ada orang-orang yang peduli padamu? Berbagilah dengan mereka.”

Altair terdiam mendengar semua kata-kata itu. Hatinya tertampar. Selama ini dia hanya berkubang dalam masalah keluarganya yang tak pernah dibagi.

Mereka tiba di ruangan Altair. Altair tidak menolak saat Raehan membantunya berbaring di tempat tidur.

Setelah melihat Altair nyaman dengan posisinya, Raehan berkata, “Maaf kalau kamu nggak suka dengan kata-kataku. Aku cuma nggak mau patah semangat.” Raehan tersenyum di akhir kalimatnya. Senyum yang membuat hati Altair merasa hangat.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang