“Ayolah Al, gantiin gue ya,” Orion masih berusaha membujuk Altair untuk menjadi penggantinya di kompetisi musik.
Dia sudah berjanji pada Bu Melody akan membawa Altair untuk ikut kompetisi. Sebuah janji yang penuh resiko karena kemungkinan Altair menerimanya sangat kecil. Namun, insting Orion menyatakan Altair akan bersedia walaupun jalan yang harus ditempuh Orion untuk meluluhkannya tidak mudah.
“Cari yang lain aja,” jawab Altair sedikit ketus.
Dia merasa hari Minggunya yang damai terganggu karena kedatangan Orion yang terus memaksanya untuk ikut kompetisi musik. Dia tidak habis pikir dengan kekeraskepalaan sepupunya ini untuk membujuknya.
“Lo nggak kasihan apa sama gue. Kalau gue bisa juga nggak akan minta bantuan ke lo. Lo satu-satunya orang yang bisa diandalkan dalam waktu yang mendesak ini,” bujuk Orion disertai dengan tatapan nelangsa.
Jika dia tidak berhasil untuk membujuk Altair, habislah dirinya akan diceramahi berjam-jam oleh Bu Melody.
Altair menatap kesal Orion yang memasang ekspresi anak kucing terbuang. Sungguh sangat tidak cocok dengan wajahnya. “Jangan-jangan lo sengaja cedera ya biar bisa maksa gue ngegantiin lo?” tanya Altair curiga sambil menyipitkan matanya.
Orion menepuk dahinya. Dia jadi tidak habis pikir dari mana sepupunya esnya ini bisa mendapat pemikiran tidak masuk akal begitu. “Mana ada yang kayak gitu!” Orion berseru tidak terima. “Gara-gara cedera ini, gue juga nggak bisa ikut tanding basket tahu. Lo tahu kan seberapa pentingnya basket buat gue.” Kali ini Orion yang tersulut kekesalannya.
Altair diam saja. Dia juga tidak tahu mengapa bisa berpikiran aneh begitu. Altair jadi merasa tidak enak pada Orion, tapi dia gengsi untuk minta maaf.
Saat keduanya terdiam dengan pikirannya masing-masing, suara pesan masuk dari ponsel milik Altair mengagetkan keduanya. Altair membuka pesan itu.
Gimana, Al? Lo bersedia kan buat ikut kompetisi musik?
Altair mengembuskan napas pelan setelah membaca pesan itu. “Lo sama Irena hobi banget sih neror gue.”
Entah tadi itu pesan ke berapa yang dikirim Irena untuk membujuknya, Altair tidak menghitung. Kadang juga Irena meneleponnya, tapi Altair abaikan.
Mendengar nama Irena disebut, sebuah ide terlintas di benak Orion. “Al, kalau lo tega nggak mau bantu gue nggak apa-apa deh, tapi lo emang tega sama Irena?”
Pertanyaan Orion menghasilkan kerutan di dahi Altair. Dia tidak menemukan hubungan keengganannya untuk ikut kompetisi musik dengan Irena.
“Buat Irena, kompetisi musik ini akan jadi nilai tambah buat mempertahankan beasiswanya. Kalau nggak ada yang ngegantiin gue, bisa jadi keikutsertaan sekolah kita dibatalin karena lomba kali ini mensyaratkan penampilan duet,” Orion menjelaskan pajang lebar tanpa diminta.
Altair sempat terdiam cukup lama setelah mendengar ucapan Orion. Orion membiarkannya agar Altair bisa mencerna kalimatnya dengan baik. Akhirnya Altair berkata, “Akan gue coba pikirin lagi.”
Orion tersenyum senang. Setidaknya kali ini Altair tidak langsung menolak mentah-mentah. Dia langsung merangkul bahu Altair. “Ini baru sepupu gue.”
Altair memutar bola matanya dan berusaha melepaskan diri dari rangkulan Orion. “Lepasin!”
Hal itu justru membuat Orion semakin mengeratkan rangkulannya. Tidak berhasil melepaskan diri, Altair sengaja memukul tangan kiri Orion yang dibebat perban.
Orion pun menjerit dengan keras, “Aduh! Sakit banget tahu!”
Altair tidak menanggapi kesakitan sepupunya itu. Dia memilih keluar kamar untuk mengambil minum di dapur dengan pikiran yang dipenuhi perkataan Orion tentang Irena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher [END]
Teen FictionIrena selau memimpikan laki-laki yang sama setelah mendapat dream catcher sebagai hadiah ulang tahun ke 17. Dream catcher itu adalah hadiah terakhir dari kakaknya yang meninggal karena kecelakaan. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Dan mengapa dia sela...