10. Ingatan dari Masa Lalu

377 27 0
                                    

Rumah besar itu tampak sepi. Wajar saja karena tuan rumah lebih sering berada di luar daripada di rumahnya sendiri.

Altair memasukki rumah besar itu dengan langkah pelan. Rumah kakeknya yang sekarang dia tinggali.

“Kok pulangnya sore banget, Mas? tanya Bi Inah dengan raut wajah cemas melihat wajah Altair yang sedikit pucat. “Mas Altair nggak apa-apa?” Dia sudah diamanahi untuk menjaga Altair.

Altair menghentikan langkahnya mendengar suara perempuan yang berusia setengah abad lebih itu. Dia sudah lama mengabdikan diri kepada kakek Altair bersama dengan suaminya yang bekerja sebagai sopir. Perempuan yang dia kenal begitu lembut dan ramah sejak dia masih anak-anak.

“Iya, Bi. Tadi ada kegiatan tambahan di sekolah,” jawab Altair lalu melanjutkan menaikki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Di anak tangga ke lima, Altair membalikkan badannya. “Tolong bangunin aku saat makan malam.”

“Iya Mas.” Bi Inah pun pamit kembali ke dapur.

Sesampainya di kamar, Altair meletakkan tas punggungnya sembarang. Dia segera merebahkan badan di kasur empuknya. Matanya menatap langit-langit kamar yang bercat putih.

Hari terasa melelahkan bagi Altair. Dia jadi terbayang kejadian saat di perpustakaan sekolah dan UKS. Altair menerka dari mana Irena tahu tentang obatnya padahal dia tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang sakitnya, kecuali satu orang—Orion. Namun, dia sudah mengingatkan, lebih tepatnya mengancam Orion untuk tidak bicara pada siapa pun.

“Orion bukan mulut ember,” Altair meyakinkan diri sendiri.

Altair mencoba memejamkan matanya, tapi bayangan wajah Irena yang cemas memenuhi benaknya. Altair bangun dari tidurnya dan memposisikan diri dengan duduk bersandar pada sandaran ranjang.

“Kenapa gue bisa ngelakuin itu sih?!” Altair jadi teringat dengan sikapnya yang diluar kebiasaan saat di UKS.

Altair masih teringat dengan wajah bersemu milik Irena saat dia melepaskan pelukannya. Entah apa yang dirasakan gadis itu. Mungkin malu, kaget, bingung yang bercampur jadi satu. Altair tidak bisa mendefinisikannya.

Dia jadi bingung dengan dirinya sendiri. Selama ini dirinya sangat sulit untuk membuka diri dengan orang lain. Jangankan untuk dekat dengan seorang gadis, teman dekat laki-laki saja tidak punya. Di sekolahnya dulu,  Altair lebih senang menghabiskan waktunya sendiri. Tenggelam bersama tumpukan buku di perpustakaan atau bermain rubik saat istirahat.

Jadi jika sekarang ada seseorang yang dekat dengan dirinya terlebih seorang gadis, Altair merasa tidak terbiasa. Namun anehnya, dia merasa nyaman dengan keberadaan Irena di dekatnya walaupun terkadang dia mengeluh karena Irena itu berisik. Dia merasa terganggu, tapi tidak bisa menolak apalagi mengusirnya.

Suara dering ponsel menghentikan pemikiran Altair. Dilihatnya siapa yang menelepon.  Ternyata seseorang yang sangat tidak dia inginkan. Seseorang yang ingin dia hapus dari hidupnya, tapi tidak bisa. Pertalian darah yang kental menjadi pengikat yang kuat di antara keduanya.

Altair mematikan panggilan itu. Sebenarnya panggilan itu sudah masuk berkali-kali, tapi dia tidak mengacuhkannya. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk.

Altair, maafin Papa. Papa tahu kamu marah sama Papa, tapi tolong kamu angkat teleponnya. Papa mau bicara sama kamu. Papa mau denger suara kamu, Nak.

Altair tidak ingat sudah berapa kali papanya itu meminta maaf. Entah sudah berapa banyak panggilan telepon dan pesan yang masuk untuk memohon padanya setelah dia keluar dari rumah sakit. Semua itu hanya dianggap sebagai angin lalu oleh Altair. Hatinya sudah terlalu sakit.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang