Sudah hampir satu minggu Irena dan Altair berlatih untuk kompetisi musik walaupun begitu tidak banyak interaksi yang terjadi di antara mereka. Altair yang memang pada dasarnya tidak banyak bicara dan Irena yang bingung mau membahas apa. Padahal ini kesempatan yang sangat bagus bagi Irena untuk menggali lebih dalam terkait hubungan Altair dengan Raehan.
Hari ini mereka kembali berlatih di ruang musik. Sambil menunggu Bu Melody datang, Altair me-stem gitarnya, sedangkan Irena membaca partitur lagu yang akan dimainkan. Irena yang merasa bosan mencoba mengajak Altair berbicara, “Lo sejak kapan bisa main gitar?”
“Dari SMP,” jawab Altair tanpa mengalihkan perhatian dari gitar yang berada di pangkuannya.
“Oh,” Irena menanggapi dengan canggung. Mendengar jawaban singkat Altair, Irena merasa percakapan ini hanya akan berjalan satu arah saja.
Namun ternyata, dugaan Irena keliru karena detik berikutnya Altair mengajukan pertanyaan, “Lo sendiri sejak kapan?”
Irena takjub mendapat pertanyaan seperti itu. Biasanya selama ini selalu Irena yang bertanya tentang Altair. Rasanya Altair tidak pernah bertanya tentang Irena.
“Da-dari SMP juga.” Irena jadi tergagap. “Kenapa lo suka musik?”
Altair tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Eem... entahlah, yang jelas musik bikin gue tenang. Awalnya ketika belajar musik, kita akan terpaku dengan aturan-aturan yang ada, tapi lama kelamaan kita akan memainkannya dengan hati. Itu terasa menyenangkan.”
Bagi Altair, musik bisa dikatakan sebagai pelarian saat dirinya merasa lelah dengan hidupnya. Saat tidak ada orang yang bisa diajak berbagi, maka dia akan menuangkan perasaannya pada alunan melodi.
Irena tersenyum mendengar jawaban Altair. Ucapan Altair tadi adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkannya saat mereka mengobrol selama ini. Sepertinya musik salah satu hal yang masih bisa memberikan kesenangan bagi Altair.
“Terus, kenapa lo nggak suka tampil di depan banyak orang?” tanya Irena lagi. Tak apalah dirinya yang terus bertanya. Setidaknya mereka tidak saling diam.
Altair menoleh ke arah Irena. Tatapan matanya seakan bertanya ‘Tahu dari mana?’
Irena yang menangkap maksud Altair buru-buru menambahkan, “Orion yang bilang ke gue.”
“Kayaknya Orion suka cerita macem-macem ya,” gumam Altair. Terselip nada tidak suka pada perkataannya.
“Eh? Lo ngomong apa Al?” Irena tidak mendengar dengan jelas perkataan Altair.
“Nggak.”
“Kalau lo nggak suka tampil di depan banyak orang, kenapa lo mau ikut kompetisi ini?” Irena jadi ingin tahu apa yang sudah dilakukan Orion hingga berhasil membujuk Altair.
Karena lo. Altair berpikir bagaimana menjawab pertanyaan itu. Tidak mungkin dia jawab karena Irena. Gengsinya masih tinggi untuk mengakui. Akhirnya sebuah jawaban tidak bersahabat meluncur dari mulut Altair, “Lo banyak tanya. Apa lo mau gue ngundurin diri?”
“Jangan!” seru Irena. Dia sedikit kaget mendapat tanggapan seperti itu. “Iya deh gue nggak tanya-tanya lagi.”
“Maaf, Ibu terlambat,” sapa Bu Melody saat memasuki ruang musik.
Setelah kedatangan Bu Melody, mereka pun mulai berlatih dengan serius. Bu Melody mengoreksi beberapa tempo permainan Altair dan Irena yang kurang harmonis serta memberikan masukan seperti apa baiknya.
Tidak terasa hampir dua jam mereka berlatih. Irena langsung merenggangkan tubuhnya dengan merentangkan tangannya ke atas.
“Oke. Permainan kalian semakin baik. Ibu harap kalian bisa lebih kompak lagi. Untuk hari ini cukup.” Setelah memberikan kata penutup, Bu Melody meninggalkan ruang musik lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher [END]
Teen FictionIrena selau memimpikan laki-laki yang sama setelah mendapat dream catcher sebagai hadiah ulang tahun ke 17. Dream catcher itu adalah hadiah terakhir dari kakaknya yang meninggal karena kecelakaan. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Dan mengapa dia sela...