15. Tanda Tanya

337 30 1
                                    

Pagi ini Irena seperti biasa sarapan bersama bundanya. Namun, Irena menangkap ada sesuatu yang berbeda dari bundanya ini. Tak tahan dengan rasa penasarannya, Irena memberanikan diri untuk bertanya, “Bunda kenapa?”

Lily kaget dengan pertanyaan Irena. Dia berusaha sebiasa mungkin untuk menjawab, “Memangnya kenapa?”

“Ih Bunda, ditanya malah balik nanya. Oh ya, kemarin yang pergi sama Bunda itu siapa?” Akhirnya Irena menanyakan juga hal yang sempat menganggu pikirannya.

Lagi-lagi pertanyaan Irena membuat Lily kaget. Dia berusaha menjawabnya dengan tenang. Tidak ingin putrinya ini curiga. “Oh itu, dia temen lama Bunda.”

“Temen lama?” tanya Irena sedikit tidak percaya. “Bunda nggak berniat…,” Irena menjeda kalimatnya, mempertimbangkan apakah hal ini patut ditanyakan atau tidak.

“Berniat apa?”

“Bunda nggak berniat nikah lagi, kan?” tanya Irena sedikit takut.

Lily yang mendengar pertanyaan itu terkekeh pelan. “Ya nggaklah, Irena. Sekarang ini fokus Bunda ya cuma kamu aja. Nggak ada yang lain. Udah nggak usah mikir yang aneh aneh. Cepet habisin sarapan kamu. Nanti telat.”

Irena tak banyak bertanya lagi. Dia menurut untuk menghabiskan roti berlapis selai cokelatnya. Namun, dalam hati dia belum merasa puas dengan jawaban Bunda. Mungkin nanti dia bisa mencari tahu.

Setelah menghabiskan roti cokelat dan segelas susu, Irena segera pamit berangkat.  Setelah Irena pergi, Lily menghela napas panjang. Dia harus segera mengambil tindakan tegas agar Theo tidak lagi menemuinya. Lily hanya tidak ingin membuat Irena terluka.

***

Altair keluar dari kamarnya dengan seragam yang sudah rapi dan tas ransel yang tersampir di bahu tegapnya. Dia melangkahkan kaki menuju meja makan. Namun, seseorang yang berada di sana membuat niat sarapannya menghilang begitu saja. Altair langsung berputar arah meninggalkan meja makan.

“Kamu nggak sarapan dulu?” Kakek Hans yang menyadari keberadaan cucunya langsung bertanya.

“Nggak,” jawab Altair singkat sambil berlalu begitu saja. Dia sudah tidak peduli jika dianggap tidak sopan.

Theo menghela napas lelah. Dirinya tidak tahu sampai kapan Altair akan terus menghindarinya. Dia menyesap kopinya untuk meredakan pikiran yang berkecamuk.

Kakek Hans yang melihat hal itu tidak bisa berbuat banyak. Altair semakin jauh untuk diraih. Cucunya itu membuat benteng tak kasat mata yang tidak bisa dimasukki sembarang orang. Dan Theo—anaknya—adalah orang yang sangat ditolak mentah mentah untuk masuk.

“Oh ya, bagaimana? Apa Lily mau menerimanya?” tanya Kakek Hans setelah meminum teh.

“Masih sama seperti sebelumnya. Dia menolak,” jawab Theo.

“Apa yang harus kita lakukan? Aku merasa sangat bersalah pada keluarganya.”

Theo tak bisa menjawab pertanyaan ayahnya. Di sini dialah yang merasa paling bersalah kepada keluarga Lily. Theo berpikir keras adakah cara lain demi membalas kebaikan keluarga Lily.

***

Altair berjalan dengan tidak semangat menuju kelasnya. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat bertemu Irena. Di satu sisi dia merasa kesal saat mengetahui bundanya Irena dekat dengan papanya, tapi di sisi lain dia tidak bisa mengabaikan gadis itu begitu saja. Secara tidak disadari, Irena menempati satu ruang di hati Altair.

“Hayo, ngelamunin apa?” sapa Irena dengan ceria.

Suara Irena cukup membuat Altair terkejut. “Pagi-pagi udah berisik.”

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang