Setelah Altair sadar dari koma dan kondisinya stabil untuk dirawat di ruang rawat biasa, Theo selalu berusaha untuk mendekatkan diri. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kedua yang telah diberikan Tuhan.
"Kamu haus? Mau minum?" tawar Theo. Saat ini hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Orion sudah pamit pergi beberapa menit yang lalu. Menyisakan kecanggungan di antara mereka berdua.
"Nggak," jawab Altair singkat tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku yang dibaca.
Theo tidak menyerah. "Atau kamu mau Papa kupasin apel?"
Altair menutup bukunya. Sedikit malas dengan sikap papanya. "Papa, hentikan."
Theo cukup senang mendengar Altair memanggilnya 'Papa.' Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendengar panggilan itu. Namun, hatinya mencelos saat mendengar penolakan
Altair. "Kenapa?""Kita nggak sedekat itu. Bersikap seperti biasanya saja."
Ucapan Altair menohok Theo. "Maafkan Papa, Al. Papa tahu ini nggak akan mudah buat kamu nerima Papa."
Altair tidak menanggapi permintaan maaf Theo, dia malah mengajukan pertanyaan lain. "Kenapa kecelakaan itu harus disembunyiin dari aku? Harusnya aku yang mati aja. Bukan mereka," Altair berkata lirih di ujung kalimatnya. Dia merasa sangat bersalah. Orion sudah bercerita kepadanya-setelah dia paksa-tentang Irena saat tahu kejadian yang sebenarnya.
"Altair!" Theo berseru tanpa sadar saat mendengar ucapan putranya. "Itu bukan salahmu. Itu semua kecelakaan."
"Tapi karena aku Kak Raehan dan Mama meninggal," Altair berkata dengan suara serak. Dadanya terasa sesak.
Theo mendekati Altair dan mengusap punggungnya untuk menenangkan.
"Al, dengerin Papa, nggak ada yang patut disalahkan. Ini semua sudah takdir Tuhan."
Altair menatap Theo. Berusaha mempercayai semua ucapan papanya. Theo tersenyum saat Altair menatapnya. Dia baru menyadari bahwa putranya serapuh ini dan selalu bersembunyi dibalik wajah datarnya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kamu sekarang istirahat, udah malem." Theo berjalan menjauh dari Altair.
"Temani aku sampai tidur," kata Altair lalu memposisikan tubuh membelakangi Theo.
Theo tersenyum mendengar permintaan tak bernada dari Altair. Dia merasa senang karena Altair perlahan mau membuka diri padanya. Theo pun duduk di sofa yang tak jauh dari tempat tidur Altair.
"Terima kasih Altair, sudah bertahan sejauh ini dan kembali," ucap Theo pelan, tapi masih terdengar oleh Altair.
Altair tersenyum samar. Hatinya terasa hangat. Kehangatan yang sudah lama tidak dirasakannya dari sesuatu yang disebut keluarga. Cerita Orion tentang papanya yang selalu ada setiap hari menemaninya selama koma menyentuh hati Altair. Altair merasa sekarang saatnya dia tidak boleh egois lagi. Karena selama ini yang tersakiti bukan hanya dirinya saja. Papanya juga sudah melalui masa yang sulit.
***
Hari ini Irena datang lagi ke rumah sakit dan seorang perawat memberitahu kalau Altair sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Irena bersyukur dalam hati karena itu artinya keadaan Altair sudah membaik. Dengan perlahan Irena membuka pintu ruang rawat Altair. Di sana Altair terbaring dengan mata terpejam. Irena kembali mengucap syukur saat melihat tubuh Altair sudah bersih dari peralatan medis, hanya infus dan selang oksigen yang masih terpasang."Syukurlah keadaan lo udah membaik," Irena membuka suara.
Terdengar deru napas Altair yang teratur sebagai jawaban.
"Lo harus cepet keluar dari rumah sakit dan jelasin semuanya ke gue." Irena menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Karena gue bener-bener marah saat tahu kebenarannya. Tapi gue nggak bisa benci lo. Makanya lo harus bikin gue ngerti supaya nggak ada lagi masalah di antara kita."
Setelah berkata seperti itu, Irena hendak meninggalkan ruangan Altair, tapi sebuah tangan menahan lengannya. "Al-altair?"
"Temenin gue dulu."
"Gu-gue mau pulang." Irena tidak menyangka akan tertangkap basah seperti ini. Niat awalnya hanya ingin menjenguk Altair diam-diam.
"Lo mau denger penjelasan gue kan."
Irena terkejut. "Se-sejak kapan lo denger-"
"Dari lo bersyukur dengan keadaan gue yang membaik."
"Jadi lo udah bangun dari tadi? Kenapa pura-pura tidur?"
Altair tidak menjawab pertanyaan Irena. Dia mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk bersandar pada ranjang. "Mau temenin gue ke taman? Gue bosen di kamar."
Dan di sinilah mereka sekarang, di taman rumah sakit ditemani angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Awan yang berarak di langit membuat suasana sore menjadi teduh.
Irena duduk di sebelah kursi roda Altair, sedangkan Altair memandang awan yang berarak di langit. Ada rasa canggung yang menggantung di antara keduanya. Tiba-tiba Altair berucap, "Maaf."
Irena langsung menoleh ke sebelah kanan. Dari jarak yang cukup dekat, Irena bisa menangkap dengan jelas ekspresi penyesalan yang dalam dari wajah Altair.
"Maaf untuk semuanya," kata Altair lagi.
Irena membuang pandangannya ke arah rumpun bunga bougenville merah muda yang bergoyang seirama tiupan angin. Dia bingung harus bagaimana menanggapi permintaan maaf Altair.
"Gue tahu, permintaan maaf ini nggak akan ngembaliin apa-apa. Gue juga nggak berharap lo bisa maafin gue. Gue cuma mau lo denger aja permintaan maaf langsung dari gue."
"Nggak gampang buat maafin saat seseorang yang kita sayangi direnggut begitu aja. Rasa marah yang gue rasain saat tahu kebenarannya membuat gue tersiksa dan sesak. Setiap kali denger nama lo disebut gue nggak bisa nyembunyiin emosi."
Jawaban dari Irena terasa mengiris hati Altair. Dia tidak pernah menyangka jadi seseorang yang menorehkan luka begitu dalam untuk orang lain.
"Tapi, yang merasa kehilangan bukan cuma gue. Lo juga sama bahkan lo lebih melalui masa yang sulit dengan perasaan bersalah. Gue nggak mau jadi orang yang egois dan gue juga butuh ketenangan hidup."
"Jadi?"
"Gue maafin lo."
Ada perasaan lega yang membuncah saat Irena mengucapkan kalimat itu. Altair langsung memeluk Irena untuk meluapkan kelegaannya."Al-altair." Irena sangat terkejut dengan pelukan Altair yang tiba-tiba. Jantungnya berdetak tak karuan.
Para pengunjung taman yang melihat adegan itu mengira mereka pasangan kekasih yang sedang meluapkan kasih sayang.
"Al, malu dilihat orang," bisik Irena.
Altair tidak memedulikan ucapan Irena. Dia justru mengeratkan pelukannya. "Terima kasih, Irena," bisik Altair, kemudian melepaskan pelukannya.
Pipi Irena bersemu merah saat keduanya saling beradu pandang. Dia tidak tahu bagaimana cara meredakan jantungnya yang menggila. Irena menundukkan kepalanya. "Lo juga, terima kasih sudah kembali."
Altair tersenyum cerah, menampilkan lengkung bulan sabit di matanya.
Irena memperhatikan senyum Altair yang terlihat sangat lepas. Ini pertama kalinya Irena melihat Altair tersenyum selebar itu. Akhirnya mereka berdua tersenyum seraya memandang langit sore yang dihiasi awan seputih kapas.
Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, pernah tersakiti dan menyakiti. Hal itu mungkin bisa menghancurkan diri hingga berkeping-keping. Tidak ada yang bisa mengubah apa yng telah terjadi dan jika harus hidup dengan kepingan-kepingan itu, maka berdamai dengannya adalah pilihan terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher [END]
Teen FictionIrena selau memimpikan laki-laki yang sama setelah mendapat dream catcher sebagai hadiah ulang tahun ke 17. Dream catcher itu adalah hadiah terakhir dari kakaknya yang meninggal karena kecelakaan. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Dan mengapa dia sela...