Setelah selesai dari pertunjukkan kompetisi piano, Theo mengundang teman-teman Altair yang datang mendukung untuk makan bersama di Haebaragi Café sebagai bentuk syukuran. Awalnya Altair tidak setuju, tapi dia tidak ingin mengecewakan papanya yang sudah memesan tempat.
“Wah Al, gue nggak nyangka kalau Papa lo pemilik kafe ini,” kata salah satu teman laki-laki.
“Iya padahal gue sering lho nongkrong di sini. Lo tuh udah cakep, pinter, tajir lagi. Seneng deh bisa temenan sama lo,” kata anak perempuan yang terkenal centil di kelas.
Altair mendengus sebal. “Gue nggak ngerasa temenan sama kalian,” kata Altair sarkas lalu beranjak meninggalkan teman-temannya—jika bisa dipanggil seperti itu.
“Irena,” panggil Altair sebelum pergi menjauh. Dia mengkode dengan matanya agar Irena mengikutinya.
Jasmine menyikut lengan Irena.
“Altair kayaknya mau ngomong sama lo tuh.”
“Cie,” ledek Rose.
Irena menatap tajam Rose. Membuatnya langsung bungkam seketika. Irena tidak mau teman-temannya yang lain berpikir macam-macam tentang dirinya dan Altair. Tanpa perlu dipanggil dua kali, Irena mengekori Altair.
Altair membawanya menuju beranda samping kafe. Di sana terdapat beberapa meja dan kursi serta halaman yang ditumbuhi bunga matahari—sesuai nama kafe ini, Haebaragi.
“Al, gue rasa lo nggak perlu ngomong kayak tadi deh. Kasian mereka jadi malu tahu.”
“Gue ngomong fakta, Na. Selama ini mereka sama sekali nggak mau deketin gue kan. Begitu tahu latar belakang gue baru deh ngaku-ngaku.”
“Karena lo kalau di sekolah nyeremin. Cuek bebek, dingin, nggak—“
“Tapi lo beda,” sanggah Altair cepat. “Lo tetep aja ngerusuhin walaupun udah gue abaikan berkali-kali. Nggak ada bosennya ngajakin gue ngomong sampai kadang bikin telinga gue panas.”
“Wah, lo bisa juga ya ngomong panjang lebar begitu,” sindir Irena sebal karena sebenarnya Altair itu memuji atau mengejek sikapnya selama ini.
Mereka terdiam. Altair merutuk mulutnya yang tidak bisa berbicara manis.
“Oh ya, kenapa lo ngajak gue keluar?” tanya Irena saat tidak ada tanda-tanda dari Altair menjelaskan tujuaannya.
“Itu….” Tiba-tiba lidah Altair terasa kelu. Kata-kata yang sudah dirangkainya menguap entah ke mana. Altair menarik napas lalu mengembuskan napasnya pelan. “Gue suka lo,” kata Altair cepat.
“Hah?” Irena mengerjapkan matanya. Rasanya waktu seakan berhenti bergerak.
Altair menyesali dirinya yang tidak pandai berbasa-basi dan berkata manis.
Butuh beberapa detik bagi Irena untuk kembali sadar. Semburat merah muda menghiasi wajahnya saat beradu tatap dengan Altair. “Gu-gue, elo…,” Irena terbata tak karuan.
“Altair! Irena! Udah ditungguin yang lain tuh. Acaranya mau dimulai. Nggak enak kan kalau bintang utamanya belum muncul.” Kedatangan Orion mengagetkan mereka berdua.
Irena buru-buru pergi. Dia harus berterima kasih pada Orion karena menyelamatkannya kali ini. Irena tidak tahu wajahnya sudah semerah apa saat ini karena ulah Altair, mungkin seperti kepiting rebus.
“Ada apa dengan kalian?” tanya Orion bingung.
“Lo merusak suasana!” balas Altair ketus, kemudian berlalu meninggalkan Orion dengan tanda tanya.
“Lo kenapa, Na?” tanya Jasmine saat Irena langsung duduk dan meneguk air putih di hadapannya. Irena perlu meredakan wajahnya yang memanas.
Altair masuk diikuti oleh Orion. Selanjutnya Orion memimpin acara syukuran. “Kita ucapkan syukur untuk kemenangan Irena dan Altair yang udah membawa nama harum sekolah. Cheers!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher [END]
Teen FictionIrena selau memimpikan laki-laki yang sama setelah mendapat dream catcher sebagai hadiah ulang tahun ke 17. Dream catcher itu adalah hadiah terakhir dari kakaknya yang meninggal karena kecelakaan. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Dan mengapa dia sela...