22. Kotak Pandora

299 25 0
                                    

Alunan melodi dari denting piano memecah keheningan malam yang sunyi. Taburan bintang dan sinar bulan menjadi saksi bisu dari permainan Moonlight Sonata milik Beethoven. Melodi yang bernada sendu.

Irena berjalan semakin dekat ke arah sumber suara. Kakinya yang tidak memakai alas kaki menyibak rumpun lavender yang tumbuh subur. Terlihat siluet seorang laki-laki yang tidak asing baginya.

“Altair,” panggil Irena saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.

Altair menghentikan permainan pianonya. Dia memutar duduknya hingga menghadap ke arah Irena. Ada gurat kelelahan yang tercetak jelas di wajahnya.

Melihat Altair yang tampak mengkhawatirkan, Irena berjalan mendekat. Dia ingin sekali merengkuh tubuh yang terlihat rapuh itu. Memberinya ketenangan dan meyakinkan jika semua baik-baik saja.

“Jangan mendekat!” Altair bangkit dari duduknya.

“Al…,” panggil Irena lirih karena terkejut dengan seruan Altair.

“Gue nggak pantes untuk hidup.”

“Al lo ngomong apa?!”

“Lebih baik gue pergi aja.” Setelah berucap seperti itu, perlahan tubuh Altair menghilang.

Irena tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya. Saat dirinya sadar untuk meraih tangan Altair, tubuh Altair sempurna menghilang. Menyisakan serpihan yang tertiup angin bercampur dengan wangi lavender yang tidak lagi menenangkan, tapi menyesakkan.

Irena jatuh berlutut dengan air mata yang mengalir di pipinya. Dia tidak bisa merasakan kehilangan lagi. Irena berteriak memanggil nama Altair, tapi tidak ada yang mendengar. Hanya bulan yang perlahan tertutup awan yang menjadi saksi malam itu.

***

Irena terbangun dari tidurnya. Peluh membasahi pelipisnya. Napasnya seperti orang yang telah lari marathon ratusan kilometer. Dia segera mengambil gelas yang terletak di nakas dan meneguk airnya hingga habis. Irena berhasil menenangkan diri setelah beberapa menit.

Sudah sejak lama Irena tidak pernah bermimpi buruk. Terakhir kali bermimpi buruk saat Altair tiba-tiba tak sadarkan diri. Sekarang mimpi yang mengerikan itu datang lagi menyapa dan membuatnya sangat gelisah. Pasalnya mimpi itu seolah menjadi salam perpisahan dari Altair. Irena harap mimpi itu tidak menjadi nyata seperti mimpi-mimpi yang sebelumnya.

Irena meraih ponselnya dan segera menghubungi nomor Altair. Dia tidak peduli jika jarum jam masih menunjukkan pukul dua dini hari. Irena juga tidak memikirkan lagi jika nanti dia merasa malu menelepon lawan jenis pada jam segini. Yang diinginkannya sekarang adalah memastikan Altair baik-baik saja. Namun, berkali-kali Irena mencoba menelepon, panggilannya sama sekali tidak ada yang menjawab.

Irena mengembuskan napas. “Ini cuma mimpi. Altair pasti baik-baik saja,” berulang kali Irena merapalkan kalimat itu untuk menenangkan diri.
Irena mencoba untuk tidur kembali. Dia membutuhkan tenaga untuk menjalani harinya pagi nanti. Namun, kegelisahan masih saja menghantui, membuat Irena tak bisa memejamkan mata.

***

Altair terbangun dari tidurnya karena merasa tenggorokannya sangat kering. Dia meneguk air yang tinggal setengah gelas, tapi rasa hausnya belum hilang. Dengan terpaksa Altair keluar dari kamarnya dan menuju dapur.

Sebelum sampai di dapur, Altair melihat kakek dan papanya yang sedang duduk di meja makan sedang menikmati segelas teh hangat. Sepertinya mereka sedang terlibat pembicaraan yang serius. Altair berjalan mendekat dan bersembunyi di balik dinding untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Dia melupakan niat awalnya untuk mengambil air minum.

“Kudengar adiknya Raehan kemarin berkunjung kemari,” suara Kakek Hans terdengar.

“Iya, aku sempat bertemu dengannya. Sepertinya mereka berdua cukup dekat,” balas Theo.

Dream Catcher [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang