Hari yang sempurna sial

3.2K 216 15
                                    

Yoo Jeongyeon atau lebih kerap dipanggil Jeongyeon gadis berumur 16 tahun yang kini duduk di kelas 3 Seoul High School. Kalian tahu umur hanyalah sebuah angka, meski umurnya yang masih dibilang muda gadis itu sudah sejajar dengan para seniornya.

'Berbicara' dan 'tersenyum' adalah hal yang terlalu asing bagi kehidupannya. Tertutup, ya.. satu kata yang pantas mendeskripsikan sosok Jeongyeon. Seperti hari ini dia berjalan dengan wajah tanpa ekspresi melewati orang orang yang menatapnya.

Berkata 'hai' itu sangat sulit bagi seorang Jeongyeon. Gadis itu memasuki kelasnya lalu duduk tanpa suara. Tangannya meraba laci, menemukan beberapa surat di sana. Jeongyeon menghela nafas.

Dia menyimpan surat itu di tasnya, rutinitasnya setiap hari selalu sama. Membuang surat surat cinta dari 'penggemarnya' yang sudah berjumlah puluhan. Apakah Jeongyeon pernah membaca surat itu? Tentu saja. Dia tidak sejahat itu. Dia masih menyempatkan membaca surat surat itu. Tetapi Jeongyeon tidak akan baper atau sebagainya. Ya, karena dia 'tidak punya hati' dan dia mengidap sesuatu yang 'tidak biasa'

Bel berdering. Semua siswa siswi memasuki kelasnya masing masing. Jeongyeon mengambil buku pelajaran, lagi lagi tanpa suara. Gadis itu sangat jarang bersuara atau mengucapkan sepatah kata. Dia hanya akan mengangguk atau menggeleng sebagai respon dari lawan bicaranya. Namun toh tidak ada yang mengajaknya berbicara.

Pelajaran hari ini sudah mulai. Dengan ini gadis itu akan terhindar dari rasa sepi yang senantiasa menjadi temannya. Tugas kelompok, mendengar kata itu saja membuat Jeongyeon sempurna menghela nafas untuk kedua kalinya dalam pagi ini dan mungkin lebih. Seperti biasa Jeongyeon akan sendiri mengerjakan tugas itu sendiri. Garis bawahi s e n d i r i.

"Jeongyeon!" Panggil Mr. Kim, Jeongyeon tersenyum sembari mengangguk sopan. Mr. Kim berjalan menghampiri tempat duduk Jeongyeon. Gadis itu sedikit bingung saat Mr. Kim ke arahnya.

"Untuk tugas kali ini saya ingin kamu berkelompok dengan salah satu siswa." perintah Mr. Kim membuat Jeongyeon semakin mengernyit.

Sebentar.. berkelompok dengan salah satu siswa? Salah satu?! Siswa?! Bahkan gadis itu hanya tahu nama beberapa nama anak di dalam kelasnya. Sepandai pandai otaknya tidak akan mampu mengingat nama orang orang yang bahkan tidak pernah berbicara dengannya.

Bersamaan dengan itu seorang pemuda tampak memasuki ruang kelas lalu berdiri dengan tampang datar. Bibir mungilnya mulai mengeluarkan kata kata perkenalan yang mengalir tanpa ekspresi bagai robot rusak yang disetel begitu saja. "Nama saya Park Jimin. Salam kenal."

Jeongyeon hampir lupa caranya bernafas. Dia memandang sekitar berharap apa yang dia pikirkan tidak menjadi kenyataan, namun miris. Semua siswa sudah memiliki kelompok masing masing dan hanya pemuda--yang baru dilihatnya--itu yang akan menjadi kelompoknya. "Tuhan.. aku tidak mau sekelompok dengan robot rusak itu." ratap Jeongyeon dalam hati.

_________________

Satu jam berlalu, Jeongyeon meregangkan otot ototnya. Dia menatap pemuda di depannya dengan tatapan datar. Sekarang dia memang percaya manusia di depannya--atau mungkin bukan manusia--adalah jelmaan robot rusak. Bahkan pemuda itu tidak tahu cara berbicara dengan benar.

"Berdiam disitu tidak akan membuatmu berguna." nah seperti ini contohnya. Singkat dan menguji emosi. Bahkan Jeongyeon baru saja menghela nafas beberapa detik dan pemuda itu sudah mengeluarkan kata kata itu?

"Jika aku tidak berguna, bahkan nafasmu lebih tidak berguna daripada apapun. " ucap Jeongyeon santai sambil memainkan pensil dan kembali mencoret kata kata untuk melengkapi tugasnya. Ucapannya sukses membuat gerak tangan Jimin berhenti. Pemuda itu mengeluarkan senyuman, ralat smirk.

"Diam disitu dan jadilah pembantuku." kata kata Jimin keluar begitu saja. Jeongyeon mendengus perlahan. "Tidak ada pembantu dengan otak cerdas sepertiku. Aku lebih tepat menjadi majikanmu," desis Jeongyeon datar.

Mereka terdiam untuk beberapa saat sampai denting pensil di atas meja memberikan nuansa normal kembali pada atmosfir disekitar mereka. Jimin beranjak mengambil kertas tugas itu untuk dikumpulkan.

Setelah selesai, Jimin mengambil tasnya. Memandang sekeliling, gadis itu mengamati Jimin dengan tatapan meremehkan. "Kau tidak akan menemukan kursi lain, percuma saja." pemuda itu kembali menoleh ke arah Jeongyeon lalu kembali duduk. "Yah ambil sisi positifnya. Berterimakasih lah kepadaku karena membuat kursi kosong di sebelahmu bernyawa,"

"Jika aku boleh meminta, aku lebih memilih kursi itu kosong tanpa nyawa sekalipun."

..........

Langkah kaki Jeongyeon berderap melewati deretan kelas dan ruangan lain lalu berhenti di salah satu kursi. Dia memilih duduk disana sembari menatap halaman sekolah dengan wajah tertekuk.

"Sial." rutuk gadis itu saat tetesan hujan semakin deras berjatuhan seakan mengejek gadis yang tengah sendirian itu. Dia menoleh ke sekitar, sempurna. Hanya dirinya yang tersisa. Gadis itu menelan semua sumpah serapah dihatinya. Ini sangat sempurna.

Jeongyeon mengambil kucir rambut dari dalam tasnya detik berikutnya dia segera mengangkat rambut sebahunya tinggi lalu menguncirnya. Memperlihatkan leher putih mulus yang terekspos dengan indahnya. Gadis itu masih mengetuk ngetukkan ujung sepatunya ke lantai seraya melihat jam di pergelangan tangannya.

Oh hebat, dia bahkan lupa membawa jam tangan hari ini. Sampai kapan dia terjebak di keadaan ini? Bagaimanapun juga sendiri di sekolah saat turun hujan itu bukan ide yang baik. Karena dia merasa sedikit merinding. Sebentar.. sekolah ini tidak ada penunggunya bukan? Jeongyeon menggeleng, film horor memang berefek disaat saat seperti ini. Dia berdecak kesal.

Jemarinya mengeluarkan smartphone bergambar apel tergigit. Dia mulai mengetikkan angka angka lalu menekan ikon telpon. Terhubung.

"Paman, bisa jemput aku sekarang? Aku sendiri di sekolah."

Beberapa saat kemudian gadis itu mengangguk lalu menutup telponnya. Setelah memasukkan kembali smartphone nya gadis itu beranjak. Namun sial, saat dia melangkah kakinya terpeleset. Ok jadi apakah dia boleh merutuki kakinya sekarang?

Saat tubuhnya limbung tiba tiba tangannya di tahan seseorang. Jeongyeon menoleh, pemuda itu Jimin. Apa kalian pikir Jimin menolong Jeongyeon seperti di drama romantis dengan menahan tubuhnya lalu mereka saling menatap? Tidak. Jimin hanya menahan tangan Jeongyeon dan menariknya begitu saja hingga gadis itu hampir terjungkal ke belakang.

"Siswi pintar tetapi berjalannya perlu diremed." ucap Jimin datar.

Hey ini salah lantai bukan salahnya. Lagipun kakinya tidak bisa diajak kompromi, jadi bukan salahnya. Gadis itu mendongak menatap wajah--tanpa ekspresi--Jimin.

"Kau tidak perlu membantuku. Aku bisa sendiri!" Sahut Jeongyeon tajam. Pemuda itu menatap wajah Jeongyeon. Sial! Mengapa gadis itu terlihat sangat mempesona sekarang? Padahal penampilannya sama saja seperti dikelas, hanya saja rambut pendeknya yang kini diikat asal menyisakan beberapa helai dikanan kiri wajah Jeongyeon yang tidak terikat membuatnya tampak berbeda.

Brugh! Jeongyeon jatuh terduduk dilantai setelah Jimin dengan santainya mendorong gadis itu. "Sekarang kau bisa berdiri sendiri bukan?" Setelah mengucapkan kalimat itu Jimin segera berlalu dari hadapan Jeongyeon. "Brengsek!" Umpat Jeongyeon perlahan.

Tbc

Iya tau kok pasti ngeflop alias gada yang baca :) iya tau kok iya..
Next nya kalo ada yg baca,vote,komen baru deh dinext :)

Knp bikin ff mulu? Karena LIR udh mau tamat :)

EUPHOBIA [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang