#45__Rasya Nggak Sekolah

752 22 0
                                    

Me...

Bel masuk hampir berbunyi. Aku dan yang lainnya sibuk menghitung detik. Dika dan Robert juga ikut gelisah bersabda malas di gerbang sekolah, sementara kami bersandar di mobil Kania, rasanya tiap detik kami menatap jam di tangan lalu berdecak.

Hal yang tak biasa, Rasya belum muncul. Handphone nggak aktif. Kania menelepon Kak Randy, ternyata dia sudah di kampus.

"Gimana, apa kata kak Randy?" akulah yang paling gelisah karena baru semalam bicara pada Mom soal perubahan Rasya.

"Katanya, Rasya minta jemput gue, jadi Kak Randy nggak nganterin. Tapi tadi Kak Randy bilang mau ngecek ke rumah." Tutur Kania.

"Duh, gimana nih, bentar lagi masuk!" keluhku.

"Tuh, kan, masuk!" Davina membarengi suara bel.

Dika dan Robert berlari ke arah kami.

"Gimana?" Tanya Robert yang memang punya rasa pada Rasya.

"Mungkin dia sakit." Ucap Kania. "Dia bilang minta jemput gue, tapi ... nggak ada telepon atau pesan dari dia!" menengadah dua tangan.

"Ke gue juga nggak ada," Tania mengecek handphone-nya. "Ya udah, kita masuk, deh. Nanti pulang sekolah langsung langsung ke rumahnya."

Kami masuk dengan perasaan resah. Aku terus mengkaitkan masalah ini dengan apa yang kuceritakan pada Mom. Bagaimana ini? Kalau sudah begini nggak perlu bertanya apa Rasya punya masalah, karena ketidak-hadirannya sudah menjawab tanyaku. Nggak pernah sebelumnya Rasya seperti ini. Kalaupun sakit dia akan tetap sekolah. Dan setidaknya mengabari kami atau salah satunya.

Sepanjang pelajaran kami masih saling menatap gelisah. Terutama aku yang duduk berdua dengan Rasya. Setiap kali pergantian guru kami selalu saling bicara. Juga mencoba menghubunginya meski tau itu gagal.

Cukup lega setelah Kak Randy mengirim mengirim pesan dan mengatakan bahwa dia di rumah. Cukup lega meski belum tau alasannya tak masuk sekolah.

Akhirnya suara yang ditunggu terdengar. Kami bergegas. Tapi melarang Dika dan Robert untuk ikut dan berjanji akan mengabari.

Aku segera menelepon Mom. Masih meeting.

Kuputuskan untuk ke kantor Mom saja. Kania menyetujui. Aku katakan pada mereka. Rasya sedang nggak butuh kita, tapi seorang ibu. Aku yakin Mom bisa mencari tau isi hatinya. Mom bisa memberi setitik cahaya di hatinya dengan pancaran hati seorang ibu.

Begitu sampai di halaman kantor aku berlari ke dalam. Kebetulan Mom dan beberapa orang termasuk Mbak Maria dan si Marco itu bersama Mom, dan dua orang berdasi di samping Mom itu tak pernah kulihat, pasti klien. Aku berlari menghampiri Mom tak peduli apa pun lagi. "Mom!"

"Sayang?" tatapannya khawatir.

"Mom... pliis, ke rumah Rasya!"

"Oke, oke. Tenang ya!" tanpa sulit menjelaskan Mom akan memahami kekhawatiranku. "Mm, maaf Pak Danu, Pak Gandy, tidak ada masalah yang lebih penting daripada masalah anak. Aku minta maaf tapi sepertinya pertemuan kita tunda dulu. Atau bisa bicarakan dulu dengan Marco dan Maria, secepatnya saya akan menyusul." Mom bicara pada dua kliennya.

"Oh, ya, tidak masalah Bu Biancha. Silakan selesaikan. Kami pergi bereempat saja dulu, silakan ibu menyulus setelah selesai. Tapi jika dalam waktu satu jam ibu belum sampai, kita bisa lanjutkan besok." Kata salah satunya yang tampak seperti pemilik perusahaan besar.

"Terimakasih atas pengertiannya Pak Danu, Pak Gandy, permisi. Marco, tolong atasi dengan baik." Dia mengangguk tapi tetap menatapku seperti ikut khawatir, kuabaikan. Mom merangkul pundakku selama berjalan keluar. "Sayang, biar Tante yang nyetir, kamu pasti panik juga." Kata Mom pada Kania.

"Ya, ampun itu orang ganteng banget!" Davina sempat-sempatnya berbisik itu padaku yang langsung mendorong wajah dan tubuhnya ke dalam mobil.

"Situasi panik gini masih sempet aja genit!" dumalku.

Dan Mom mulai melaju setelah kami memakai sabuk pengaman. Semoga Rasya baik-baik saja.

***

My Mom and Me Without Daddy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang