Me...
Asik belajar sambil twitteran. Hampir semua anak-anak sekelas pada nongol malem ini. Jadi seru nih. Kata Mom boleh ngomong apa aja di sosial media tentang musik, film, artis, atau politik sekalipun asal nggak buat rusuh.Jadi inget Mommy, pasti masih di bawah ngobrol sama Mbok.
Sekitar 30 menit berikutnya, aku selesaikan belajar, ah twitteran lebih tepatnya.
Ke kamar Mom, seperti biasa ngobrol sebelum tidur. Merapikan buku-buku yang tadi habis kubaca. Malam Minggu Mom nggak ngecek tas sekolah, yah kadang-kadang masih suka iseng ngecek-ngecek gitu sih...!
Eh, tapi malem ini tumben banget Mommy belum liat aku ke kamar? Kayaknya juga di kamarnya nggak ada suara. "Huaaaam...! Ke kamar Mom dulu, ah!" berlari kecil sambil bernyanyi.Mom nggak ada di kamar. "Mom?" di kamar mandi pun nggak ada. Mungkin di balkon. Mengarah ke pintu balkon aku melambatkan langkah. Terdengar Mom sedang bicara di telepon. Aku menguping saja dari balik pintu. Mom bicara dengan siapa, apakah dengan dia lagi? Sepertinya bicara soal perasaan. Aku harus tau.
"... Ya. Aku sudah mengobrol seharian dengan dia. Dia bertingkah sekali hari ini. Aku sangat puas mendengar semua pengakuannya hari ini. Dia... tulus mencintaiku, dan menerima Baby sebagai putrinya. Tapi La, aku... masih takut untuk bicara padanya."
Mommy bicara dengan Mama Lala, dan soal seseorang yang mengungkapkan perasaan. Dia mulai bicara lagi, aku harus dengar semua.
"Hm, iya La, aku pasti ngomong dengan Baby. Tapi nggak sekarang. Aku masih takut kalau dia nggak setuju. Dan aku belum siap seandainya itu terjadi. Kamu tau, kan, aku paling nggak bisa liat anakku sedih." Mom terdiam lagi, mengusap lengannya. "Ehhem, aku tau, aku pasti mengatakannya secepatnya. Aku akan cari sela dan waktu yang tepat."
Lagi-lagi obrolan yang membuatku terpojok. Aku mengerti semua pembicaraan Mommy dengan Umi Nabila, dan sekarang dengan Mama adalah tentang bagaimana cara menyampaikan padaku, takut aku tak menyetujuinya. Tapi apa yang sebenarnya kalian para orang dewasa pikirkan? Kenapa sepertinya nggak ada yang menentang hubungan Mom yang nggak layak itu? Sungguh diluar akal pikiranku sebagai remaja. Kali ini aku mengintip gerak-gerik Mom yang begitu serius, satu tangan menekan kepalanya, bersandar menyamping di pagar balkon.
"Apalagi belakangan ini dia suka uring-uringan nggak jelas. Dan aku nggak tau persis apa sebabnya. Kamu tau kan, La, kalau udah menyangkut masalah Baby aku tuh, bawaannya gelisah." Kata Mom, menekan tengkuknya. Kali ini dia diam mendengar Mama yang entah bicara apa, yang aku dengar hanya jawaban-jawaban singkat dari Mom.
Apa ini? Semua ini semakin membuatku berpikir aneh.
"Iya, aku masak yang bahannya ada di kulkas. Ehhe, tadi Baby juga ngajak ke sana, tapi aku capek banget. Ya aku bilang besok aja. Oh ya, Papa sama Mama gimana kabarnya di Bogor, senang di sana? Syukurlah. Iya... pasti nanti aku ajak Baby nengokin, tentu setelah semua ini beres. Di kantor juga masih banyak kerjaan, lagian kamu kenapa sih, nggak mau ngurusin kantor?" terdiam. "Oke dia juga kangen kamu. Dia masih belajar. Oke deh, assalamu'alaikum...!" pembicaraan berakhir.
Mama Lala setuju, aneh? Ini gila! Aku benar-benar nggak percaya dengan yang kudengar barusan. "Terus gimana kalo semua ngedukung, masak aku harus setuju?!" gumamku. Baru saja ingin keluar, handphonenya berbunyi lagi. Aku tetap mengintip di balik pintu, perlahan membuka lebih lebar. Mom berdiri membelakangiku. Sory Mom, aku tau menguping itu adalah hal yang Mommy larang, tapi aku harus tau. Batinku.
"Hai Mart!"
Mart... Marc... Marco..., benar cowok itu yang nelepon?
"... Oh, iya aku barusan ngobrol sama Lala. Hm... ya, soal kita, soal... lamaranmu. Iya--tentu. Tentu saja... aku juga ingin jadi orang yang bisa masakin kamu kapanpun kamu mau. Baby...? Iya, aku tau kegelisahanmu, tapi kamu sabar ya. Aku masih butuh waktu yang tepat, belakangan ini dia masih sering uring-uringan jadi, aku takut untuk mengatakan padanya."
Pasti mau bicara hubungan mereka padaku.
"Aku pasti ngomong pelan-pelan, agar dia bisa menerima kamu. Makanya kamu sabar dong, harus sabar kalau mau jadi orangtua, katanya mau jadi Daddy-nya? Yaah..., tentu, keputusan sepenuhnya ada di tangan Baby. Jadi kamu harus pandai merebut hatinya setelah dia tau nanti. Dan kamu harus punya ekstra sabar. Kamu mau jadi Daddy-nya, kan? Rebutlah hatinya. Pelan-pelan aku yakin dia bisa menerimamu sebagai Dad..."
"Nggak perlu Mom!" kataku menjawabnya, aku sudah nggak tahan dengan hal aneh ini. Siapa pun akan menjadi pemberontak pada saatnya. Seperti aku sekarang, yang tak bisa memahami apa yang harus kuputuskan. Sory Mom, aku membangkang. "NGGAK MUNGKIN AKU MEMANGGILNYA DADDY!" menggeleng. Mataku mulai basah.
"... Sayang?" Mommy berbalik badan memandang bingung.
"Aku nggak nyangka Mom bisa kayak gitu!" mewek sambil geleng kepala.
"Kayak gitu gimana sayang? Mommy nggak ngerti," Mom terus maju dengan wajah risau.
Sementara aku malah semakin mundur lalu berbalik, dan berlari kecil, "Aku nggak akan menerimanya. Bukan dia yang ingin kupanggil Daddy! Sama sekali tak pantas aku panggil dia, DADDY! Maaf Mom." kataku lantang. Berlari lagi dengan perasaan berkecamuk, maaf Rasya, Davina, Kania, Tania, aku nggak bisa mengikuti saran kalian untuk bicara baik-baik. Aku nggak bisa. Ini sudah keterlaluan!
Mom sudah keterlaluan!!!
Kenapa harus dia?
Kenapa?***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom and Me Without Daddy
RomanceBaby seorang anak tunggal yang hanya memiliki single Mom, ia dibesarkan tanpa ayah. Baby sama sekali tak tahu seperti apa sosok ayahnya. Sejak kecil ia mengenal om Martin, baginya gambaran seorang ayah adalah om Martin. Namun semua berubah ketika da...