#51__Honesty

938 22 0
                                    

Mom...


Aku dan Martin seperti saling menumpahkan segala rasa sejujurnya. Tak ada lagi yang dipendam dan ditutupi. Tampak di matanya masih banyak yang ingin ia ungkap. Begitupun yang kurasa. Segala ucapan dan perasaan yang tersimpan 10 tahun, ingin sekali kutumpahkan.

"Untuk membangun perusahaan yang baik, kita membutuhkan partner yang baik. Untuk membangun rumah tangga yang bahagia, aku membutuhkan wanita yang baik. Ketika kita ingin memiliki suatu barang kita akan memilih barang yang berkualitas. Dan yang terpenting lagi, untuk memiliki anak-anak yang berkualitas, kita membutuhkan wanita yang berakhlak baik. Dan aku sudah melihat hasilnya, Baby." Menatap lebih dalam, "Bian, dengar aku--aku semakin sadar, bahwa ... kasih sayang tidak menyangkut soal darah saja. Cinta diikat dengan kasih sayang, bukan darah. Aku, memang bukan ayah yang mengalirkan darah dalam tubuh Baby. Tapi percayalah, kasih sayang dan cintaku tulus mengalir untuknya. Meski 10 tahun meninggalkan, aku tak bisa melepas rasa sayangku padanya."

Aku kehilangan kata, Martin menatapku begitu dalam. Tangannya semakin erat menggenggam.

"Kata-katamu bagus sekali, aku suka. Itu... semua benar." Kataku akhirnya. Dan tanpa kuduga dia langsung mencium tanganku. Aku terharu.

"Kamulah yang aku butuhkan--untuk menyempurnakan hidupku. Menikahlah denganku secepatnya, kita tidak punya banyak waktu lagi. Baby kita sudah besar, aku akan selalu berusaha menjadi ayah terbaik buat Baby, dan... anak-anak kita nanti. Adik untuk Baby." Tatapannya penuh cinta kali ini, mungkin juga dengan tatapanku. "Aku akan menjelaskan pada Baby. Dan aku yakin dia bukan membenciku, dia akan memaafkan."

"Ka...kamu, yakin semua yang kamu ucapkan itu keputusan terbaik?" sekali lagi meyakinkan diriku.

"Sebanyak apalagi aku harus berpikir? Selama apalagi harus menyakinkan? 10 tahun aku gunakan untuk berpikir dan meyakinkan diri akan satu keputusan terbesar dalam hidupku." Suaranya parau.

"... Aku," airmataku mengalir begitu saja tak terbendung. Memalingkan wajah darinya. "Aku ... takut gagal lagi, kali ini bukan hanya aku yang hancur tapi juga Baby. Jika kita menikah lalu ... gagal, bagaimana dengan perasaannya. Melihatnya terluka, aku akan lebih terluka. Lebih sakit lagi," kataku tertunduk, Martin mengangkat daguku, membingkai wajahku yang basah hingga terasa hangat.

"Aku mengerti ketakutanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menutup hati. Oke lihat mataku, aku tidak akan menjanjikan tapi izinkan aku membuktikan bahwa aku bisa menjadi imam dan ayah yang baik. Seluruh hidupku akan kulakukan untuk membuktikan. Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita dalam keadaan apa pun. Tapi sayang, bagaimana aku bisa membuktikan semua itu jika kamu menutup diri?"

Air mataku semakin mengalir. Aku benar-benar terharu, ada seseorang yang hatinya begitu tulus mencintaiku dan anakku. Aku pun tak sanggup untuk membalas tatapannya dan menangis haru di hadapannya.

"Aku akan buktikan aku bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuk membahagiakanmu dan anak-anak kita nanti. Aku akan menjaga kalian. Hanya Allah yang mampu menghentikan. Bahkan aku harap kita disatukan lagi kelak di akhirat. Honey, honesty--kejujuran adalah landasan tertinggi sebuah hubungan. Dan itu semua adalah kejujuranku."

Akhirnya apa yang aku yakini selama ini terjawab sudah. Aku yakin Allah memisahkanku dari David karena dia bukanlah orang yang tepat untukku. Ada yang lain, yang Allah pilihkan untukku, dan pilihan-Nya adalah yang terbaik. Martinlah yang Allah pilihkan untuk menjadi imamku, menjagaku dan Baby. Tapi aku tak tau apakah Baby masih menyimpan rasa kecewanya? Aku belum sanggup untuk membicarakannya--belum siap menerima kemungkinan.

Handphoneku bernyanyi lagu Vina Panduwinata, kasih... kau beri warna dalam hidupku... kau beri udara dalam napasku..., seolah mewakili perasaanku.

My Mom and Me Without Daddy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang