#54__Gejolak

809 22 0
                                    

Mom...

Hati ini begitu bergetar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hati ini begitu bergetar. Mungkin karena aku memang baru kali ini benar-benar merasakan cinta yang tulus.

"Maaf...." suaranya terdengar berbeda. Seperti satu kata yang mewakili seribu rasa di hatinya selama 10 tahun.

"... Untuk apa?" tak kuduga suaraku pun ikut berbeda, bola mataku bergerak-gerak menunggu.

"Karena membiarkanmu menghadapi sendirian--harusnya aku ada untuk menguatkan." Menarik napas panjang seolah ingin menguatkan dirinya sebelum lanjut bicara. "Ada lagi, satu hal yang memberatkan hatiku, aku takut kau terluka mendengarnya."

"Katakan, selamanya hal itu akan memberatkanmu. Katakanlah, itu lebih baik." Pintaku lembut.

Mengambil kedua tanganku sebelum bicara. "Saat ulang itu ... aku sudah datang."

"... Lalu?" mulai tak sabar.

"Aku... hanya melihat dari jauh, di dalam mobil. Ini ... tentang kejolak hatiku yang... kukatakan padamu di restauran tadi. Aku belum mengatakan semuanya. Hanya menceritakan singkat kupikir sudah lega, ternyata tidak," meninggikan bahu.

"Kenapa kau lakukan? Maksudku... kenapa ... pergi tanpa menemui Baby?" tuntutku.

"Gejolak itu Biancha! Saat itu ... hatiku... bahkan tubuhku terbelah dua. Aku bahkan menangis di dalam mobil. Ada amarah, ada sesal, ada kecewa!" wajahnya berubah merah.

Aku bisa merasakan getaran kecewa itu, "Martin?" mulai terharu lagi dengan sikapnya. "Atas dasar apa itu, Mart?" selidik hati-hati.

"CINTA. Apalagi, hm?" genggamannya semakin kuat, dan tertunduk. Aku tau kali ini dia menahan air mata. "Cinta. Tapi waktu ... tidak mempertemukan kita lebih cepat. Aku marah entah pada siapa. Kenapa bukan aku yang masuk lebih dulu dalam hidupmu?  Kenapa..., harus dia yang mendahului, dan kenapa kau menerimanya? Kenapa-kenapa-kenapa? Begitu banyak pertanyaan di kepalaku! Gejolak yang begitu menarikku ke dua sisi berlawanan. Namun karena aku takut dan sesal--memilih pergi. Aku sadar... begitu mencintaimu, itu sebabnya ada sesal, marah, dan kesal. Dan melihat Baby, sangat sayang padanya--aku kesal kenapa bukan aku yang menjadi ayahnya. Akhirnya... aku putuskan pergi. Aku belum punya cukup keberanian untuk mengambil tempat yang sebenarnya sudah terbuka untukku sejak awal." Wajahnya memerah karena menahan emosi dan tangis batinnya. Meletakkan tanganku di bibirnya. "Maafkan aku sayang. Andai saja aku berani..."

"Martin...," suaraku terdengar bergetar. "Nggak ada yang harus kumaafkan. Tidak pernah kubayangkan, ada pria yang begitu tulus hatinya sepertimu."

"Ya. Harusnya sejak dulu aku berpikir, Baby adalah anugrah terindah--meski jalannya sangat rumit. Yah, terkadang takdir begitu rumit dan panjang, seperti benang kusut. Akulah, yang mencoba meluruskan benang kusut itu, meski sempat terputus--akan kusambung kembali dan tak akan terputus lagi."

Bola mataku sendu. "Mart, ketulusanmu membuka mata hatiku. Dulu aku tak pernah berpikir soal cinta sejati. I love you...."

Martin menjawab dengan satu kecupan di punggung tanganku.

"Assalamu'alaikum...!"

"Wa'alaikummusalam...!" jawab kami melihat ke arah suara.

"Wah..., benerankan dugaanku! Om sama Tante pasti lagi asik pacaran. Waaaduh..., pake adegan cium tangan, lagi! Mantap, bro!" menepuk akrab pundak Martin dan menggodaku. "Tante curang, aku dilarang deketin Baby, tapi..."

"Hei, jangan protes!" aku sedikit tersentak. "Sudah pulang?"

"Iya, nungguin Tante kelamaan." Mencium tangan Martin dan aku lalu dengan santainya menarik piringku.

"Oh iya, mobil kamu Tante bawa. Jadi kamu naik apa?"

"Ya dianter Pak Min," jawabnya sambil makan.

"Terus Pak Min, mana?"

"Di depan, aku suruh nunggu."

Melihat jam tanganku. "Kayaknya aku harus pulang, soalnya sebentar lagi Baby pulang. Nanti dia ngambek kalo aku belum ada di rumah."

"Mm, memangnya ini jam berapa?" tanya Martin.

"Hampir jam 4," jawabku.

"Tunggu sebentar. Sudah masuk waktu ashar, jadi sebaiknya kita ashar dulu. Marco?"

"Aku sudah tadi di kantor langsung sebelum pulang. Benar tuh kata Om, mending Tante solat dulu. Siapa tau di jalan macet, keburu abis waktunya."

"Ya sudah, ayo!" Martin mengajakku.

"Tuh Tante, kurang apa Om-ku? Bisa jadi imam yang baik."

"Sudah kamu makan aja yang benar!"
Martin mendorong pelan kepalanya.

"Enak banget, ini pasti Tante yang masak. Masih ada nggak buat ntar malem?"

"Ada. Tante masak banya sekalian buat nanti malam, Tante Lala pulang nanti malam."

"Sip! Mudah-mudahan Baby-nya Tante bisa masak yang enak juga," katanya. Aku memutar kepala membelalak padanya yang justru melempar dua jempol padaku.

Aku mengikuti Martin. Memang benar apa kata Marco. Kurang apa lagi? Justru aku yang memiliki kekurangan itu.

***

My Mom and Me Without Daddy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang