Me...
Hari ini penuh dengan kegiatan di sekolah, dan pulang sekolah nanti ada pertandingan basket antara sekolahku dan SMA Budi Luhur. Ini pertandingan terakhir untuk tim basket kelas 12. Karena setelah ini semua kegiatan akan dihentikan untuk fokus menghadapi ujian akhir. Hampir seluruh anak kelas 12 ikut menjadi suporter.
"Mom, bilang pak Min nggak usah jemput aku," kataku saat menelepon Mom untuk minta ijin.
"Loh, kenapa sayang?"
"Mau nonton pertandingan basket Mom, ini pertandingan terakhir untuk kelas 12. Mom, nggak enak kalau aku nggak ikut mendukung. Apalagi Dika sama Robert ikut tanding. Gimana Mom... boleh yaa...?" merayu adalah senjata andalanku.
"Oke, tapi jangan pulang sore, ya."
"Iya Mom, bye!"
Terlihat wajah penuh harap di sekelilingku berubah jadi puas mendengarku akhirnya bisa ikut.
"Capcuz!" Kania yang selalu pegang kemudi kemana kami pergi, kali ini tambahan satu penumpang, Kirana.
___
Pertandingan berlangsung seru. Sportif itu yang terpenting. Dika dan Robert bermain sangat bagus, keren banget pokoknya. Tania hampir nggak berkedip ngeliat Dika, saking terkesima.
"Ternyata Dika keren banget ya, kalau lagi serius maen!" puji Tania dengan semringah nggak jelas. "Nggak sia-sia kita."
Tim basket Dika menang meski skor beda tipis.
Ketika pulang Kirana bilang akan pulang dengan Arafat naik motor. Melihat kemesraan mereka di atas motor bikin kita keki. Untungnya kita semua udah kompak untuk tetep nggak pacaran dulu. Yang lain sih, udah pernah ngerasain. Rasya, setelah kecewa dengan first love-nya memutuskan untuk nggak pacaran sebelum benar-benar baik padanya. Dan kalau tiga cewek centil itu sih, udah ngantongin 3 nama mantan. Ya aku sih, sebagai cewek normal pastinya punya rasa ingin mengalami masa seperti mereka, tapi aku selalu menepisnya entah itu demi Mom, atau diriku sendiri.
"Ng... By, elo bilang mau bahas masalah semalem?" Rasya hati-hati.
"Ya. Mm..., kita sambil makan di Gold Kafe, yuk! Mumpung belum sore, aku traktir!"
"Baby, jangan ragu untuk mentraktir kita yang kelaparan ini!" Kania, bertingkah konyol.
"Let's go!" dan tuyul kembar segera masuk mobil seolah takut aku berubah pikiran.
"E tapi, gimana kalau... Nyokap lo makan di sana juga sama si dia?" Davina.
"Itu bagus! Kita liat apa reaksi mereka. Terutama Mom, apa masih bisa menutupi semuanya."
Mereka hanya terdiam mendengar reaksiku, aku pun mengerti apa arti diam mereka.
Kami tiba di Gold Club dan masuk ke area kafe. Kania masuk dari pintu parkir selatan. Untungnya ini sudah bukan jam sekolah jadi kami boleh masuk meski masih pakai seragam.
"Mau makan apa?" tanyaku saat duduk.
"Ramen aja deh," usul Davina, sambil merapikan ikatan rambutnya.
"Selamat sore. Mau pesan apa nih, cewek-cewek?" tanya si pelayan.
"Mi ramen aja Mbak." kataku.
"Level 20!" pinta Davina seenaknya.
"Gila lo, jontor bibir!" bantah Kania.
"Middle aja mbak." aku menyudahi.
"Oke. Minumnya?"
"Cranberry ice," jawab Rasya.
"Minumnya samain aja mbak." kataku.
"Oke. Silakan menunggu, terimakasih!"
Selama menunggu, kami mengobrol soal basket. Kami memuji Robert dan Dika yang mencetak poin terbanyak. Ya, banggalah sebagai teman dekat.
"Eh, dulu waktu kak Mei sama kak Randy masih pacaran, gue sering diajakin nonton pertandingan basket. Tim idola kita Satria Muda," Davina.
"Keren tuh, gue sama kak Randy jugq suka mereka!" imbuh Rasya.
"Eh, ngomong-ngomong soal nonton, seandainya penonton bola bisa sedamai penonton basket, nggak ada orang tua yang kehilangan anak cuma gara-gara jadi suporter bola," kataku.
"He-eh, kasian mereka. Tapi sayangnya tindakan itu seperti kutukan yang sudah turun temurun pasti ada yang jadi korban. Uufff... ngeri!" sambung Davina.
"Hmhm... kasian mereka...," Kania dan Tania bersamaan.
Pesanan datang, kami minum lebih dulu baru kemudian menyantap ramen yang belum pernah kami makan di sini sebelumnya.
"Sebenernya gue nggak boleh pesan ini sama Mom soalnya pedes."
"Duh... anak Mommy yang patuh...!" ledek Kania.
"Hm, tenang, kalo kira-kira perut lo nggak nerima pedasnya ramen ini, terus mules sampe rumah, trus diomelin, kita bakal bilang Davina yang maksa pesan ramen." usul Tania.
"Gue?""Buruan euy, gue harus pulang sebelum jam 5!" kataku.
"Iya..., baru juga makan, By!" Kania.
"He-eh, nyantailah dikit. Huuhhah..., segini aja mampus gimana yang super!" ucap Tania.
"Tuh kan, tadi sok jago pake mau nambah level," tegur Rasya. Tania nyengir kuda.
Kafe tampak sedang ramai pengunjung. Rata-rata orang yang baru pulang kantor, mahasiswa, dan ada juga pelajar seperti kami.
Setelah beristirahat sejenak sambil ngobrol kita ke kasir. Karena kasir di bagian utara tampak lengang, kami ke sana. Setelah menerima kembalian, kami berbalik ke pintu selatan karena Kania parkir di sana. Alangkah terkejutnya, seperti tersambar petir, langkahku mendadak berhenti. Di satu sudut kafe yang tempat duduknya berupa sofa melengkung, aku melihat Mommy bersamanya. Lagi....
"Kenapa By?" tanya Rasya. "O, God!" Rasya menemukan sendiri jawabannya.
Mereka sangat dekat, "... Gue-nggak-salah-liat, kan guys?" kataku terbata pada semua sahabatku yang kini melihatnya. Mom duduk bersebelahan dengannya, hanya berdua. Sangat dekat. Sangat akrab. Bahkan mereka berfoto. Dengan nyaman lengannya bertengger di pundak Mom saat berfoto. Apa ini Mom?! "Mom?" gumamku. Menggeleng seakan tak percaya dengan mataku sendiri. Aku malu dengan yang lain.
Rasya segera merangkulku, "By ayo kita pulang, nanti elo tanya baik-baik aja di rumah, oke!" katanya lembut.
"Bener By, kalo elo ke sana sekarang pasti bawaannya emosi karena si brondong itu, dan akan di tonton orang banyak apa lagi jaman sekarang banyak orang yang mengarahkan kamera hapenya. Yuk!" imbuh Davina.
"Iya. Cepet bawa gue pergi dari sini...," pintaku menahan sesak di dada.
Mereka nggak melihat kami karena sibuk dengan kertas-kertas dan laptop di hadapan mereka dan beberapa kali berfoto.
Aku dan yang lain pergi dengan perasaan berkecamuk. Aku berusaha kuat menahan segala perasaan ini. Bagaimana aku menghadapi ini di hadapan sahabat-sahabatku? Mommy dan aku bertengkar--nggak mungkin!
Mereka berusaha menenangkan dan memintaku agar jangan sampai hal ini memicu pertengkaran. Aku juga inginnya begitu, aku nggak akan menghakimi Mommy kalaupun dia bersalah. Aku akan berusaha meminta Mom mengakhiri hubungan dengan cara baik-baik.
***
Marco... Marco, sebenernya naksir siapa sih...
Hm... Mana nih... Komen and vote-nya 😂😁
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom and Me Without Daddy
RomansaBaby seorang anak tunggal yang hanya memiliki single Mom, ia dibesarkan tanpa ayah. Baby sama sekali tak tahu seperti apa sosok ayahnya. Sejak kecil ia mengenal om Martin, baginya gambaran seorang ayah adalah om Martin. Namun semua berubah ketika da...