#61__Apa? Salah Faham!

1.2K 35 0
                                    

Me...

Akhirnya muncul juga.... Dia, kini jauh lebih kebapakan, membuatku semakin ingin memanggilnya, Daddy. Aku harus menahan keinginan ini. "Nggak! Nggak perlu!" menatap angker padanya yang di antara Om dan Mama. Kenapa dia hanya diam mematung? Seolah nggak ada kesalahan sedikitpun pada dirinya. Aku mencoba berpikir ulang, karena emosiku ini berubah menjadi sesuatu yang bersifat dendam. Karena ada amarah lama yang kupendam dan saat ini aku merasa seperti bom waktu yang siap meledak. Sasarannya sudah ada di hadapanku.

"Kemarilah sayang!" pintanya tetap tenang.

Aku menggeleng. Entah kenapa melihatnya saja sudah membuatku tenang. Air mataku menetes, lalu aku hapus dengan cepat. "Kenapa Om? Kenapa Om pergi justru di saat aku semakin membutuhkan Om? Kenapa Om lebih memilih menghilang daripada melihatku menangis dan memeluk Om seandainya waktu itu Om pamit?! Apa segitu nggak pentingnya aku di mata Om? Kenapa Om ngelakuin hal yang melukai aku yang sekecil itu? Kenapa nyakitin aku?" tuduhku lirih.

"Nyakitin?" Om Martin kehilangan kesalahan sepertinya. "Oh, Om minta maaf. Tapi itu..."

"Kenapa Om muncul lagi? Kalau pergi, pergi aja! Jangan datang lalu pergi lagi! Jangan muncul lagi! Kemana Om selama bertahun-tahun? Kenapa nggak pernah menelponku? Kenapa Om menanam harapan begitu besar pada anak kecil lalu pergi membiarkannya tumbuh bersama harapan itu! Aku benci Om! Aku benci diriku sendiri yang begitu mengharapkan Om!" keluar sudah semua yang terpendam lama didiriku. Aku diam, napasku nggak beraturan menahan emosi. Kepalaku tertunduk. "Aku benci harapan ini... aku benci...!" rengekku air mata semakin deras.

"Baby..., Om tau kamu marah. Dengerin Om dulu, semua itu ada alasannya. Jadi tolong kasih Om waktu buat ngejelasin. Ayo ke sini, duduk dulu sayang." Pintanya tetap lembut.

"Apa pun alasannya Om!" menggeleng, tanda penolakanku apa pun alasan yang dia maksud untuk meninggalkanku setelah membuatku sayang padanya seperti memiliki Daddy. Aku liat Mama memandang iba padaku. Dan kamu kenapa ikut iba padaku aku nggak butuh itu! Andai aku punya keberanian lebih untuk memakinya juga--kali ini bukan lagi dia sumber kemarahanku, tapi tetap akan ada perhitungan untuknya yang telah membuat aku dan Mommy bertentangan.

"Maaf. Om pergi di saat ulang tahun kamu..."

"Asal Om tau, itu ulang tahun terakhir, setelah itu aku nggak pernah mau merayakan ulang tahunku. Dan Om mau tau itu karena apa, hm?" sekuat tenaga menahan air mata ini, "...itu semua, karena OM!" air mataku tumpah lagi. "Aku selalu merasa ada yang hilang setiap kali Om nggak ada, apalagi itu di hari ulang tahunku--hari spesial dalam hidupku. Justru Om memilih pergi." Menahan getaran dalam suaraku. Aku diam selama beberapa detik hanya menatap sejurus pada Om Martin. Sekilas aku menangkap bola matanya melihat sesuatu di belakangku, tapi aku nggak peduli. "Baby yang kecil dulu, yang belum mengerti banyak hal, yang selalu ngerasa orang tuanya utuh jika ada Om. Aku ngerasa seperti anak-anak lain yang punya ayah setiap kali Om datang. Kenapa pergi seenaknya? Ya, sekarang aku memang sudah mengerti posisi Om. Tapi nggak gitu caranya ninggalin aku, Om! Setidaknya kasih aku pengertian. Bukan meninggalkan begitu saja meski kami nggak berarti, aku dan... juga Mommy..."

"Oh... I'm so sory honey..."

"... Itu sebabnya aku kecewa dan nggak ada lagi perayaan ulang tahun-ku. Karena aku menganggap Om sama seperti Mommy, harus ada di sampingku. Om dan Mommy memiliki tempat yang sama di hatiku, tapi malah meninggalkan Mom sendiri, malah pergi dari tempat itu."
Suaraku kali ini terdengar lemah.

"Baby... Om sama sekali nggak berniat untuk nyakitin kamu juga Mommy kamu, tidak sama sekali. Om hanya..."

"Hanya menganggap kami nggak penting, kan?!" sergahku. Mataku membelalak di antara air mata.

"No no no...!" Om Martin seperti terluka mendengar ucapanku.

"Oke. Om nggak perlu merasa bersalah. Aku yang salah. Aku salah karena terlalu berharap. Harusnya aku nggak pernah berharap apa-apa!" menarik napas dalam-dalam, sepertinya kali ini Om nggak ingin menjawab, hanya mendengar, membiarkanku meluapkan segala emosi. "Memang sejak kecil setiap kali membayangkan sosok seorang Daddy, hanya ada Om dalam gambaranku. Aku nggak pernah menggambarkan sosok lain. Nggak pernah mengharapkan orang lain. Bahkan sampai detik ini." Air mataku mengalir lebih deras lagi. Kembali pada masalahku yang lain, yang membawaku ke sini, sesekali aku melihatnya, iya, dia yang harusnya menjadi sasaranku andai saja nggak ada Om Martin. Dan Mama, kubiarkan dulu pertanyaan untukmu. "Sampai detik ini aku nggak menginginkan siapa pun untuk ada di antara aku dan Mom yang akan kupanggil Daddy. Nggak siapa pun, apalagi DIA!" aku mengacung tegas telunjuk padanya yang langsung tersentak tak percaya.

"Apa maksud kamu sayang?" tanya Mama nggak kalah tersentak kaget.

"Mama sama Om sama aja! Kalian berkumpul untuk membicarakan itu, kan?" tuduhku.

"Membicarakan apa?" ulang Mama.

"Aku tau yang Mama bicarakan dengan Mom tadi di telepon. Aku tau kalian menyetujui Mom berhubungan dengan orang yang lebih pantas jadi anak buat Mommy. Nggak mungkin bisa jadi ayah buat aku, nggak mungkin aku panggil dia... Daddy, dia lebih pantas kupanggil kakak!"

"Kamu salah sayang." Mama mencoba menjelaskan, tangannya merangkul dia, si Marco itu. "Mommy kamu memang sedang mencoba berhubungan dengan seseorang yang dia... rahasiakan. Tapi bukan ini!" katanya menepuk pundak Marco yang sejak tadi hanya diam. "Mama dan Mommy tadi memang membicarakan
hubungan itu ... tapi kamu salah mengerti sayang..."

"APA?" aku terkejut. Apa yang barusan aku dengar, kalau memang begitu, siapa inisial 'M' yang kalian maksud? "Di telepon tadi Mommy menyebut Marc..., kalau bukan dia, lalu siapa?" tanyaku hati-hati, karena aku mulai merasa salah.

"Wait. Baby, apa benar kamu menganggap Om seistimewa itu?" Om Martin mendekat, "darling, sory. Mm, tuduhan kamu semua salah. Om minta maaf untuk 10 tahun itu. Tapi, Om nggak terima kalau... kamu menyangka Om seperti itu." Matanya berpaling lagi dariku seolah ada orang lain, melewatiku, seperti ada seseorang di belakangku. Tangannya terjulur melewatiku. "Om nggak terima dituduh menganggap kalian tak berarti, karena... kalian sangat berarti."

Kali ini pandanganku mengikutinya, "What?" gumamku, lalu berbalik cepat, "MOM?" aku nggak sadar ada Mom di belakang.

"Hmm!" Mom tersenyum kesal. Ya tampak sangat kesal padaku namun ditahan.

"Mom...!" gumamku

"Udah selesai marahnya?"

"Mom, sejak kapan di situ?" tanyaku lebih seperti gumaman. Saking emosi aku lupa Mom mengejarku, tentu saja sudah sampai.

"Sejak... kamu marah-marah nggak jelas dan ngomel nggak karuan!" jawab Mom sambil mendekat, berhenti di antara aku dan Om.

"Mom...?" aku bergetar karena takut. Karena Mom nggak pernah marah, nggak pernah menatapku begitu. Ada apa ini? Aku salah faham. Ya, oke. Lalu apalagi? Mommy plis jelaskan, dan jangan menatapku seperti itu....

***

My Mom and Me Without Daddy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang