Me...
Hari ini aku nggak begitu semangat di sekolah. Sahabat-sahabatku yakin pasti ada hubungannya dengan misi kedua yang akan aku jalani. Tapi aku bilang pada mereka, lagi nggak mood untuk ngomong, dan mereka mengerti.
Sepanjang pelajaran dimulai, aku tak konsentrasi, sampai Rasya menegurku beberapa kali.
Istirahat pun tiba. Aku menolak untuk ke kantin--pertama kalinya. Akhirnya mereka memilih menemaniku, nggak jadi ke kantin. Untungnya Mommy bawain aku risol dan nggak pernah lupa jatah untuk mereka.
Oke, aku lihat sekeliling kelas hanya ada kami berlima.
"Wah..., sayang nih, nggak ada saos sambal. Kalau ada, uumm... nikmatnya...!" kata Davina sambil mengarahkan risol ke mulut, dan si twin mengangguk.
"Heh, dasar lo bertiga gila makan pedes!" sembur Rasya.
"Cepet abisin, gue mau curhat nih!"
"Uhk...uhk! Minum...," Tania dengan wajah merah mengusap-usap lehernya yang jenjang."
"Beli, gih!" Kania mengeluarkan uang dari saku kemejanya.
Selama menunggu Tania membeli minum, yang lain ngobrol santai sementara aku hanya menjawab seperlunya sambil makan. Aku mengeluarkan tisu, risol ludes tak bersisa, jatah Tania dirampas Kania dan Davina. Membersihkan tangan dan mulut dengan tisu. Tania datang sembari menyedot minumannya, lalu membagikan susu kotak itu pada kami.
"Ya..., abis deh!" sesalnya, membalik kotak bekal yang jelas-jelas sudah kosong.
"Udah ah, duduk, Baby mau ngomong tuh, ntar keburu pada balik kelas!" Kania menarik adik kembarnya.
"Help me, please...! Aku nggak tau harus gimana...?"
"Mm, misi kedua gimana?" Davina.
"... GATOT!" menekan kepalaku. "Kacau...!"
"Gagal-Total?" ulang Davina tak yakin.
"Trus, gimana?" Rasya khawatir."Waktu gue nemuin nyokap buat ngejalanin misi kedua, ask my Mom, straigh to the point, tiba-tiba gue liat dia lagi... nangis. Nangis guys!" kataku menegaskan.
"Nangis?" Rasya terperanjat.
"Ya." Mengangguk sesal. "Dan gue tanya kenapa, awalnya sih... nyokap nutupin. Tapi setelah gue desak, akhirnya dia cerita. Dan, gue yakin karena dia..."
"Dia? Brondong itu?" sergah Davina.
"Iya. Dia!" jawabku kesal.
"Maksud lo..., Tante Bi ngomong terus terang gitu?" tanya Rasya lagi berhati-hati.
"Nggak gitu sih. Ya, intinya Mom ngerasa bersalah karena... nggak bisa, ngasih seseorang yang bisa gue jadiin pengganti... Daddy. Seseorang yang tepat, yang sesuai dengan impian gue. Jadi, gue yakin banget nyokap ngomong gitu karena... dia pasti berat untuk bilang semuanya. Makanya dia akhirnya cuma bisa nangis bombay. Pasti dia ngerasa sulit ngungkapin yang sebenarnya, terus terang. Dan apa lagi untuk dapet restu dari gue. Ity yang bikin dia cuma bisa minta maaf dan ... nangis di pelukan gue."
"Jadi sebenarnya nyokap udah memendam keinginan untuk cerita, tapi nggak sanggup. Itulah yang bikin dia nangis. Gitu maksudnya. Terus, sekarang, apa keputusan elo By?" tanya Rasya lagi.
"Sekarang gue makin bingung. Kacau. Kalian semua pasti bisa nebak, gimana sedihnya nyokap kalo gue nggak setuju pilihannya itu. Ya..., dia memang nyerahin keputusan sama gue, tapi gimana bisa ngambil keputusan yang kita tau banget itu bakal nyakitin hatinya," kataku lalu mengempaskan punggung.
Beberapa anak masuk kelas langsung duduk sambil terus sibuk dengan obrolan seru mereka. Otomatis kami harus menjaga suara.
"Terus gimana, dong?" tanya Kania pasrah.
"Mm, apa perlu menjalankan misi kedua dengan strategi beda?" usul Tania.
"Tujuannya?" tanya Davina.
"Ya, supaya Tante Bi, ngerti bahwa hubungannya nggak mungkin dapet restu. Oke mungkin dia udah tau itu, tapi kita harus ngeyakinin bahwa pilihannya itu... salah," meninggikan pundak, menengadah dua tangannya.
"Masuk akal!" imbuh Kania.
"Bisa jadi. Apalagi nyokap gue udah pernah gagal, otomatis kakek, nenek juga bakal lebih selektif."
"Kayaknya gue punya ide dari kesimpulan ucapan Tania tadi," Rasya tampak berpikir sejenak, mencondong agar lebih dekat. "Gini, kita fokus cari tau tentang brondong itu, mm...maksud gue cowok itu."
"Iya-iya. Gue bisa nangkep maksud Rasya!" Davina excited. "Kita harus buktiin dia itu nggak pantes dengan nyokap. Biasanya cowok yang ngedeketin tante-tante itu punya tujuan tertentu." Merendahkan suara.
"Maksudnya?" tanyaku singkat.
"Iya. Mereka itu rela pacaran dengan orang yang bahkan usianya sama seperti usia orangtuanya karena punya tujuan. Contohnya aja, apa lo nggak curiga, By?" Rasya menyatukan pikirannya dengan Davina.
"Curiga, apa?" aku bingung.
"Kata lo, cowok itu karyawan baru? Tapi jabatannya udah manajer kreatif aja, gitu! Mobilnya juga keren, inget nggak waktu dia nganter nyokap pake mobilnya? Udah gitu, memborong jas di JHONY COY. Singkat bangetkan apa yang dia dapet? Coba lo ceo, kali aja ada bukti kalo Mom atau kantor yang bayar!" bisiknya, yang lain menatap setuju termasuk aku.
Aku heran dengan sikap Rasya yang biasanya memintaku tenang, tapi kali ini justru mengungkapkan semuanya seolah nggak mau aku kecolongan lebih jauh.
"Jadi..., maksudnya..., dia deketin Mom supaya mendapatkan kemudahan, dan fasilitas yang lebih."
"Yup!" Davina menjentikkan jari. "Jadi jelas apa yang harus kita buktikan."
"Elo bener Vin, bahkan dia mungkin belum nerima gajih pertama, tapi udah punya mobil. Tapi, nyokap pernah bilang, dia itu memang dibutuhkan untuk sebagai manajer kreatif."
"Itu juga yang harus kita cari tau. Dan yang terakhir, kita harus bisa ngbuktiin bahwa cowok itu punya tujuan nggak benar," kata Davina lagi.
Kami terus mengobrol hingga istirahat usai. Sejujurnya... aku merasa nggak nyaman, membicara-kan orangtua sendiri. Tapi mau gimana lagi, aku nggak bisa menahannya sendiri, dan merekalah orang yang bisa kupercaya dan kuandalkan. Sory Mom....***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom and Me Without Daddy
RomanceBaby seorang anak tunggal yang hanya memiliki single Mom, ia dibesarkan tanpa ayah. Baby sama sekali tak tahu seperti apa sosok ayahnya. Sejak kecil ia mengenal om Martin, baginya gambaran seorang ayah adalah om Martin. Namun semua berubah ketika da...