Mom...
Selama kami tidak bertemu, banyak sekali yang ingin kudengar darinya dan yang akan kuceritakan padanya. Ketika melihatnya di bandara tadi--sadarlah aku betapa sangat merindukannya. Dan menerima rangkulannya meski sempat kutolak, sudah mewakili rasa rindu itu. Aku tau banyak hal baik yang kuambil dari keputusannya untuk menghindar dulu selama 10 tahun itu. Labih baik aku menuggu lama untuk mendapatkan satu keputusan matang lalu menghabiskan seluruh hidup untuk bersama, selamanya, sampai Allah yang memisahkan untuk disatukan lagi di surgaNya kelak.
Mengantarnya ke rumah Papa Santoso, rumah orang tua Lala. Seperti rumah keduaku. Sekarang hanya ada Marco di sana, dan Lala belum kembali sejak menjenguk mereka di Bogor. Ada Bi Sumi dan Mang Duloh, sepasang suami istri, pembantu setia di keluarga Santoso. Mereka membantu Martin membawa koper. Dan kamar untuk Martin sudah disiapkan sejak dua hari lalu.
Aku menelepon Lala, memberitahu bahwa Martin sudah sampai dan aku sudah mengantarnya sampai rumah. Lala memintaku mewakilinya membantu Martin membereskan barang-barang bawaannya. "Aku bantu membereskan," kataku ke kamarnya.
Martin yang sedang berjongkok di samping kopernya, melihatku dengan senyum. "Sebenarnya aku sudah biasa mengerjakan semua sendiri. Tapi karena aku masih ingin melihatmu, dan menghirup parfummu, silakan saja. Dengan senang hati, sayangku." Membuka koper, "ini peralatan mandi, biar aku yang letakkan di kamar mandi." Katanya sambil lalu.
Aku tersenyum melihatnya membawa satu tempat kecil peralatan mandi dan handuk putih yang terlipat rapi ke kamar mandi. Dilihat dari lipatan bajunya yang bertumpuk di koper, Martin orang yang sangat rapi. Aku menyusun t-shirt dan jeans yang masih rapi ke dalam lemari. Dan kemeja-kemeja aku pisahkan karena harus disetrika ulang. Aku menarik satu koper lainnya. Tiba-tiba Martin mengambilnya.
"Yang ini jangan!" cegahnya menggeser ke pojok.
"Oh, oke. Aku tau isinya pasti..."
"Kado. Isinya kado," sergahnya. Meletakkan kedua tangan di pinggang.
"Kado? Segitu banyak?" tanyaku ragu.
"Iya. Untuk..., someone special."
"Some-one special?" menatapnya curiga. "... Oh, pasti wanita?" sepertinya aku cemburu.
"Mm... ya. Kenapa, cemburu ya?" godanya.
"Ah, nggak. Sudahlah. Aku ke luar ya, biar ini aku bawa untuk disetrika ulang sama Bi Sumi." Aku pergi tanpa mempedulikan lagi tatapannya yang merasa menang melihatku yang jelas-jelas cemburu. Martin menahan lenganku, "apalagi? Jangan macem-macem, deh!" menepisnya pelan.
"Apanya yang macem-macem, memangnya aku ini laki-laki yang tak bermoral?!" memutar tubuhku menghadapnya. "Dulu, waktu aku sering ke rumahmu bersama Lala, kamu sering masak tumisan apapun
itu, aku selalu suka. Dan setelah aku di Australi, setiap kali mengingat itu aku pasti makan di restauran Indonesia. Tapi tetap tak ada yang seenak masakan kamu. Jadi...," meninggikan alisnya."Hhh..., iya aku masak dulu sebelum pulang. Puas?" membelalak.
"Oke. Aku mandi dulu. Thank you honey!"
Aku berjalan keluar memanggil Bi Sumi lalu menyerahkan pakaian yang harus disetrika ulang. "Mm..., Bi ini tolong disetrikain ya, soalnya ini kemeja kerja jadi harus rapi, tolong disetrika lagi lipatannya. Maaf ya Bi, ngerepotin," ucapku, setelah memberi tumpukan pakaian tadi.
"Ah, nggak papa Mbak..., wong namanya juga tugas, yo ndak repot toh...!" balasnya, berbalik tapi hanya sesaat kemudian berbalik lagi padaku, "Bibi seneng... banget loh...!" katanya dengan wajah sedikit genit.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom and Me Without Daddy
RomanceBaby seorang anak tunggal yang hanya memiliki single Mom, ia dibesarkan tanpa ayah. Baby sama sekali tak tahu seperti apa sosok ayahnya. Sejak kecil ia mengenal om Martin, baginya gambaran seorang ayah adalah om Martin. Namun semua berubah ketika da...