9# USANG

108 13 0
                                    

Jika ada hal yang bisa melampiaskan kekesalan Nara saat ini, maka secepat kilat ia akan melampiaskannya. Apapun itu. Barang atau pun orang.

Seperti kerikil-kerikil yang sedari tadi sudah menjadi sasaran Nara untuk di tendangi. Tak perduli sepatunya yang akan tipis karenanya.

Senja sudah menjemput. Sebentar lagi, malam sudah pasti akan tiba tanpa di minta. Tapi Nara masih berada di tengah jalan menuju rumahnya. Tidak ada yang mengantar, jalan kaki, sendiri. Mau naik kendaraan umum, tapi uang sedang tak bersahabat. Jadi terpaksa ia harus berjalan kaki sampai rumah dengan jarak yang sangat jauh.

Ini semua juga salahnya, yang menolak di antar oleh Kafin. Sebenarnya bukan Kafin yang menawarkan diri, melainkan mamanya. Tentu saja Nara tidak enak hati. Alias gengsi.

Baju seragamnya kini sudah tidak lagi rapih. Peluh membuatnya basah. Kemeja putihnya tidak masuk ke dalam rok, rambut yang tadinya terikat rapi kini sudah acak-acakan.
Bisa di bilang, Nara ini sudah seperti gembel yang memakai seragam.

Nara berjingkat saat suara klakson motor berbunyi nyaring mengangetkannya. Tanpa menoleh, Nara sudah tau pasti Kafin yang menjemputnya untuk mengantar pulang karena di marahi mamanya. Nara menyeringai dan mempersiapkan diri untuk jual mahal sebelum menerima ajakan Kafin.

Tetapi saat Nara membalikkan tubuhnya, ia terkejut kedua kalinya karena yang dilihatnya bukan Kafin, melainkan... Rafa.

Ya, pria itu menggunakan jas dengan kemeja di dalamnya. Meski tak lagi nampak rapi. Wajahnya juga tidak seriang saat ia bertemu Nara biasanya. Ia hanya menatap Nara dengan seulas senyum. Tak ada mulut lemes yang tak hentinya bicara seperti biasanya. Nara pun mengernyit.

"Apa?" Nara berucap sengit.

"kenapa?" balas Rafa singkat masih tersenyum lemah.

"Tau deh."

"Mau balik bareng?" tanya Rafa.

Nara semakin heran. Rafa terlihat aneh. Ia sekarang merasa lega dan waspada. Takut tiba-tiba Rafa kembali bringas seperti biasa.

"Lo kok aneh?" tanya Nara akhirnya.

"Aneh kenapa? Lo kangen ya sama gue? Mantan lo yang aduhai ini?" Rafa menaik-naikkan alisnya.

Aduh mulai deh nih. Batin Nara. Ia sungguh sangat menyesal telah membangunkan monyet tidur. Jadi reseh dong nih anak.

"Setres juga lo!" sinis Nara.

"Biar gini juga pernah buat lo ketawa." Rafa tertawa. Membuat Nara menahan hasrat untuk memukul wajah songongnya itu.

Mantan sih mantan aja. Dulu ya dulu. Jangan di ungkit-ungkit dong. Move on keles.

"Udah deh ayo gue anterin pulang!" Rafa menarik tangan Nara mendekat ke bagian belakang motornya. Dengan ragu dan sangat terpaksa akhirnya Nara naik. Ini juga demi kelangsungan kaki jenjangnya yang indah.

****

Dalam perjalanan sudah bisa Nara tebak. Rafa selalu mengoceh tidak jelas yang isinya adalah rayuan maut untuk Nara. Yang hanya di respon Nara sesekali dengan dengusan.

Motor Kafin sudah berbelok ke kompleks perumahan Nara. Tanpa di beritahu, Rafa tentu sudah hafal Nara tidak suka membawa teman berkunjung melihat rumahnya apalagi sampai masuk.

Setelah Nara turun dari motor, kemudian menyerahkan helm kepada Rafa.

"Sebenarnya dari dulu pengen maen ke rumah lo."

"Ngimpi aja sana!"

"Yaudah deh gue balik. Jangan lupa bilang makasih dong."

"Makasih."

Rafa mulai menjauh dari penglihatan Nara. Saat Mara hendak berbalik dan pulang ke rumahnya, matanya melihat Kafin sedang duduk tak jauh dari posisinya berdiri saat ini.

"Woy, ngaoain lo disitu?" teriak Nara kepada Kafin.

Akhirnya motor Kafin mendekat.
"Ngikutin lo lah. Males banget sebenernya."

"Oh." Kafin melotot. Ini maksudnya apa dia yang nanya kok cuma jawab oh.

"Lo diapain sama si Rafa, tumben banget mau di boncengin. Biasanya juga nolak." tanya Kafin. Penasaran. Tapi nadanya sama sekali tak memperlohatkan rasa penasaran melainkan seperti nada mengejek.

"Bukan urusan lo!" Kafin gelagapan. Sepertinya dia salah bertanya. Buktinya Nara malah menjawab dengan tampang sok cueknya.

"Yaudah deh gue balik aja." Kafin menyerah dan memakai helmnya kembali yang tadi sempat di lepasnya.

"Emang siapa yang nyuruh lo tetep disini?" oke Kafin sekarang sudah sangat emosi. Jadi ia dengan cepat menghidupkan mesin motornya dan melaju dengan cepat meninggalkan Nara.

Dan tanpa sadar, Nara tersenyum.

****

"Dari mana kamu?"

Suara berat nan dingin itu menyambut Nara sesaat setelah Nara membuka pintu rumahnya. Nara tidak mengira bila orang itu berada di rumah.

Nara membalikkan badannya. Berjalan santai tanpa niat menjawab pertanyaan itu.

"Nara!!" itu suara papanya. Suara yang selalu memanggil namanya dengan nada mengintimidasi. Dan Nara bencu suara itu. Suara yang membuatnya merasa tersisih di rumahnya sendiri.

Nara menghentikan langkahnya. Diam tanpa menoleh ke arah papanya yang kini sedang menatapnya tajam.

"Dari mana saja kamu?"

"Rumah teman." jawab Nara acuh.

"Setiap hari main. Sesekali pikirkan sekolah mu itu! Jadilah seperti kakakmu yang penurut dan cerdas. Kamu pikir dengan apa saya sekolahkan kamu?"

Brakk

Dengan keras Nara melempar pintu kamarnya. Tidak ingin papanya lebih panjang lagi mengoceh hal yang sangat di bencinya. Di banding-bandingkan.

Papanya memang hanya berbicara padanya jika sedang memarahi, atau memerlukan sesuatu dari Nara. Selebihnya tak ada interaksi di antara keduanya. Hanya diam dan diam.

Nara sendiri tak tahu kenapa papanha bersikap demikian padanya. Tepatnya setelah dua tahun yang lalu. Tepat setelah bundanya pergi meninggalkan keluarga kecilnya. Keluarga kecil yang penuh kebahagiaan.

Setelah kejadia itu. Papanya jadi tak ada sama sekali interkasi papa dan anak pada umumnya. Nara awalnya bersikap seperti biasa. Tetapi paoanya malah mengusirnya menjauh dari dekapan kasih sayang seorang ayah. Padahal saat mereka rapuh dulu.. Nara lah yang palinh membutuhkan perhatian dari seseorang. Lebih-lebih dari papanya sebagai pengganti dari ibunga. Tapi semuanya sama sekali tak ia dapatkan.

Sehingga ia tenggelam dalam gelapnya kesendirian hampir selama satu setengah bulan.

USANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang