17# USANG

125 9 2
                                    

Kafin mengantarkan Nara kembali ke kamar rawatnya. Tanpa Nara tau, Kafin sedari tadi terus saja senyum-senyum sendiri. Mengekspresikan perasaan nya. Betapa bahagianya dia saat ini.

Kafin mendorong kursi roda Nara masuk ke kamarnya. Nara sendiri memakai Kursi roda karena dirinya masih merasa lemas. Dan terus-terusan saja di marahi Retta.
Padahal walaupun lemas, Nara masih kuat.

Nara membuka pintu. Dan tanpa sengaja melihat Kafin dan Rafa dengan posisi duduk yang berdekatan. Tanpa mereka sadari Kafin dan Nara sudah masuk. Mereka tampak berbagi ponsel yang sama.

"Ehem. Ngapain tuh, dua-duaan aja," celetuk Kafin yang membuat kedua orang itu langsung berjauhan.

Fatin gugup. "Kaya situ nggak dua-duaan aja." Rafa mengangguk setuju.

"Kita mah beda ya, Ra. Di luar, banyak orang. Lah situ? Di kamar berdua, deket-deketan," ucap Kafin menyindir dan menahan tawa melihat wajah Fatin yang memerah karna malu dan Rafa yang dari tadi diam saja. Dia yakin ada apa-apa di antara mereka.

"Lo pikir gue apaan?" Fatin melotot di ikuti Nara dan Kafin yang tertawa melihat ekspresi nya.

"Biasa aja kali, dasar baperan." ejek Kafin lagi.

Kafin membantu Nara kembali ke tempat tidur, menyelimuti Nara dengan sangat perhatian. Nara kemudian tersenyum manis kepada Kafin.

Kafin mendekati Nara. Membisikkan sesuatu, "jangan senyum gitu dulu deh. Gue belum siap." kemudian menjauh lagi.

"Apaan sih!"

"Gue malah curiga yang ada apa-apa itu sebenernya kalian, bukan gue!" ucap Rafa.

"Kenapa? Lo cemburu Raf? Yee kasian banget," jawab Kafin. Sedangkan Nara hanya senyum-senyum.

"Jadi kalian beneran jadian nih?" tanya Fatin heboh.

"Kepo!"

"Awas aja lo. Keluar dari sini harus traktir kita makan ya,Ra," Fatin berucap.

"Noh minta Kafin," jawab Nara kemudian berbalik posisi tidur miring ke kiri.

"Cie. Abang Kafin jadian!" ejek Fatin.

"Ra. Gue cemburu, Ra. Ayo balikan sama gue aja jangan Kafin."

"Dih, siapa lo siapa gue?" jawab Nara tanpa melihat Rafa.

"Gue mantan lo dong.

"Bodo gue ngga inget."

"Udah deh. Nara mau istirahat besok kan dia balik. Ayo kita pulang sekarang!" Aja Kafin.

"Ayo. Rafa anterin aku pulang ya." Fatin mengumpulkan sampah makanan mereka.

"Oke."

****

Retta terburu-buru keluar dari kamar. Ia memasukkan buku-buku yang belum ia masukkan sambil jalan keluar kamarnya. Ia tengah menelepon sekarang.

"Lo bolos sekolah ya hari ini, atau berangkat agak siangan deh. Izin dulu, jemput Nara. Gue nggak bisa karena deket ujian gue nggak boleh bolos sekolah biar lulus."

"Iya, oke. Gue pesen taksi dulu deh kak."

"Yah. Yaudah deh jangan kelamaan." Retta sampai di depan rumah. Sudah ada sopir yang menunggunya.

Tak lama, Abraham juga keluar dari rumah dengan setelan jas yang rapi.
"Adikmu pulang hari ini?"

"Iya, pa." Retta menjauhkan ponselnya sejenak.

"Pakai mobil Papa. Papa ada jemputan dari kantor hari ini," ucapnya dingin.

"Serius Pa?" Abraham berdehem sebagai jawaban.

"Makasih Papa. Love you." Retta mencium pipinya. Kemudian Abraham tersenyum dan mengusap kepala Retta.

Retta kembali menelpon Kafin. "Halo Fin? Lo masih dengerkan? Lo kesini aja ya bawa mobil gue."

"Hah? Iya kak. Oke."

****

"Pagi Nara." Kafin berteriak sambil membuka pintu kamar Nara. Kafin sendiri memakai seragam sekolah, membuat Nara langsung tahu Kafin pasti bolos.

"Pagi Fin. Kok lo yang kesini? Lo nggak sekolah? Kakak gue mana?"

"Lo nggak suka gue yag jemput ya?"

"Bukan gitu, masa lo bolos sekolah cuma buat jemput gue?"

"Apasih yang nggak buat kamu."

"Najisin."

"Kak Retta kan bentar lagi ujian. Nggak bisa bolos sekolah dong. Jadi dia nelpon gue minta tolong jemput lo," jelasnya.

"Harusnya gue bisa pulang sendiri kok. Nggak mau ngrepotin, lo."

"Gue suka lo repotin kok Nara. Hahaha."

"Apaan sih Kafin," Nara tersipu.

"Oh iya, Ra. Papa lo pinjemin mobilnya buat jemput lo."

Nara tampak berbinar. Ia tersenyum dan senyuman itu membuat Kafin tersentuh. Ia seperti melihat sebuah kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.

"Beneran? Ya ampun gue seneng banget, Fin." Nara tersenyum sesekai tertawa bahagia. Ini kali pertama ayahnya memedulikannya. Sebahagia ini rasanya.

Kafin ikut tersenyum melihat Nara bahagia. Apakah benar Nara sama sekali tidak pernah di perhatikan oleh Papanya?
Kafin sendiri merasa malu karena setiap hari di manjakan oleh mamanya. Ternyata ada orang yang bahkan sangat menginginkan perhatian dan di manjakan oleh orang tuanya. Kafin seharusnya bersyukur.

Tapi kemudian senyumnya sirna. Nara kembali berwajah lesu. "Apa papa terpaksa karena kak Retta ya?"

"Udahlah nggak penting,Ra. Yang penting kan papa lo udah perhatian sama lo. Sekarang gue bantu lo beres-beres pakaian, ya. Kita pulang terus gue balik ke sekolah."

Nara mengangguk. "Oke."

"Jangan sedih gitu dong. Nanti sepulag sekolah gue jemput lo main ke tempat anak-anak. Gimana?"

Nara mengangguk antusias. "Mau banget."

"Nah gitu dong. Kan kalo le senyum gitu enak di lihat nya. Adem di ati."

"Geli baget gue dengernya," Nara bergidik.

"Ah, tapi lo suka kan?"

USANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang