16

9.6K 670 32
                                    

Kamu menjauh, aku mendekat. Kamu melangkah, aku ikut. Kamu lari, aku mengejar. Kan aku magnetnya kamu-Patrick-

-

"Cantik." Sebuah kata, berbentuk pujian terdengar di telinga. Siapa lagi, yang berkata kalau bukan dia si pemaksa, Patrick Alardo.

"Yah, aku memang cantik." Aku menyahut sambil mengedipkan mata jenaka.

"Haha..." Patrick tertawa.

Emangnya apa yang salah?

"Kamu-" dia melangkah, mendekatiku yang sibuk menata rambut. Lalu, lanjut berkata,"udah mulai pinter menggoda!"

Seperti magnet, dan ikut terseret. Aku menimpali tawanya dengan suara ngakak yang tidak jauh berbeda.

Geli, itu yang kurasakan akhirnya. Menuntaskan tataaan rambut, serta menyudahi tawa. Aku mengambil small bag milikku yang berada tepat diatas nakas.

"Yuk!" Patrick mengajak, lalu tersenyum.

Seperti sepasang manusia yang sedang dilanda asmara, mungkin itu yang kurasakan. Tidak tahu dengannya, aku takut memikirkannya.

"Sini!" Dia menarik tanganku, menautkan jari-jari kami.

"Lepasin." balasku pelan.

Beberapa pegawai hotel, memandang kami dengan pandangan geli. Selalu, pasti seperti ini. Aku benci jadi pusat perhatian, maksudku aku benci dipandang beda.

Contohnya, para pegawai wanita ini memandang Patrick dengan mata terpana. Lalu pada saat menatapku, tatapan mencemoh Itu keluar.

Sebenarnya, sejelek itukah aku?

Kulitku berwarna kuning langsat, tidak kasar karena aku sesekali masih memakai body lotion. Juga wajahku, kupikir masih beberapa orang yang bilang jelek.

Jujur, aku merasa rendah. Merasa bahwa aku hanya manusia dengan banyak kekurangan, dan tidak layak disandingkan dengannya yang hampir memiliki segalanya.

Aku berhenti berjalan, tepat kami keluar dari pintu hotel. Patrick menatapku bingung, sedangkan aku menatapnya dalam.

Memejamkan mata perlahan, lalu dengan lancang bibirku berkata.

"Aku cantik, gak sih?"

Sudah lebih dari 60 detik, kami diam dalam kebisuan. Oh sudah ke 65 detik masih diam.

"Kamu cantik, sangat."

"Aku mau kejujuran kamu!" ketusku.

"Siti Alisha, kamu cantik, manis makanya aku tergila-gila sama kamu." Dia berucap cukup keras, hingga beberapa orang memandangi kami.

Buru-buru aku berlari kecil, sambil menarik tangannya menjauh dari sana.

"Kamu ih, ngomongnya keras banget." dumelku padanya, lalu mencubit tangannya pelan.

"Kan, kamu yang mau aku jawab jujur." balasnya lalu tersenyum.

Kumohon hentikan senyum itu, aku bisa gila berada di dekatnya. Seketika suasana jadi kembali hening. Menyebalkan bagiku!

"Mobilnya udah dateng."

Lega rasanya, saat dia berkata. Kami menaiki mobil, jantungku berdebar. Sangat keras kurasa, bahkan aku yakin tubuhku sudah mendadak panas dingin.

Kenapa? Aku baru sadar bahwa tautan tangan kami belum terlepas.

Oksigen mana oksigen!

*

Medan. Kota besar penuh kenangan kota impian, yang sangat ingin kujalani lalu memberi kenangan.

Ada beberapa hal yang membuatku, begitu menggilai kota ini. Kota berbeda dengan segala macam bentuk didalamnya, disini toleransinya sangat tinggi. Manusianya keras, juga ramah mayoritas. Dan aku menyukainya.

Boss And Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang