1 🎼

15K 721 49
                                    


Hidupku seperti orang normal lainnya. Bernapas, makan, tidur dan bekerja. Aku menjalani rutinitas yang menyenangkan, karna apa? Karna aku menyukai setiap yang aku lakukan.

"Cukup untuk hari ini. " kata Hana sang pelatih vokal.

Perempuan berambut pirang didepanku menghela napas. Dia menatapku lama, lalu membereskan tasnya, kemudian pamit keluar. Aku tidak habis pikir, dengan skill yang masih harus terus diasah, kenapa dia ingin cepat-cepat membawakan laguku? Dia masih harus banyak latihan. 

"Sebenarnya Ferlyn gadis yang berbakat. Kamu maklum saja, dia hanya masih terlalu muda. "

Aku menangguk paham atas ucapan Pak Robert—atasanku.

Ferlyn gadis yang menarik menurutku dalam industri musik, melihat dari segi penampilan dan suaranya, aku yakin karna alasan itu Pak Robert me-recruit-nya. Tapi perempuan tujuh belas tahun itu terlalu merasa di atas angin sehingga dia merasa tidak perlu berlatih terlalu keras. Jika dia mempertahankan sikapnya yang seperti itu, aku tidak tau berapa agensi yang akan menolak kerja sama dengannya nanti.

"Aku sungguh lelah dengan penyanyi satu itu. " ujar Hana setelah atasanku tadi keluar.

Aku tau Hana, dia lebih tua tiga tahun di atasku. Seniorku ketika kuliah, dan Hana merupakan perempuan tangguh yang jarang sekali mengeluh. Tapi akhir-akhir ini dia sering berkeluh kesah tentang Ferlyn, penyanyi yang populer tahun ini, ditambah wajah cantik serta bakat aktingnya yang bagus.

"Aku cuma berharap dia menyanyikan laguku sesuai dengan harapanku saja. " ucapku mengambil tas, bersiap keluar studio.

"Dia menggoda kamu 'kan Ax? "

Aku menghentikan langkahku, berbalik sambil terkekeh.

"Ya, itu benar. Tapi aku nggak tertarik, kak. "

Hana memutar mata jengkel. Aku semakin tertawa ketika dia mencoba mendorongku keluar dari pintu.

Dia mengetahui aku seorang lesbian dan dia memang sering—dengan kata lain— menjodohkanku dengan beberapa penyanyi wanita yang bekerja sama di agensi. Dan seringnya juga aku menolak. Mungkin Hana kesal bagaimana bisa aku menolak penyanyi cantik seperti Ferlyn di luar sifat menyebalkannya.

Ketika Pak Robert menawarkanku menulis lagu untuk seorang penyanyi muda populer, aku menerima tawaran itu segera.

Dan Ferlyn benar menggodaku, itu memang sering terjadi pada penyanyi-penyanyi lain, tapi hanya tidak menyangka seorang gadis kelas dua Sma menggodaku.

Aku tidak tertarik, demi apapun aku tidak tertarik sama sekali.

Cinta hanya ada dalam setiap lirik-lirik laguku.

Aku keluar dari lift, agak terheran melihat Keno duduk di kursi lobby. Ngapai anak itu ke sini?

"Amanat dari mama, aku harus menyeret kakak untuk ke rumah karna malam ini kita akan merayakan pesta kelulusanku. "

Pesta? Bahkan dia wisuda masih dua bulan lagi!

"Kakak nggak bisa, Ken. Untuk saat ini kakak sibuk. " ucapku membuat Keno mengerang kesal.

"Pokoknya kakak harus ikut! Sudah satu bulan loh kakak nggak ke rumah. "

Oke sepertinya memang benar. Mungkin ini waktu yang tepat untuk aku ke rumah.

Aku memakai hoody ku, lalu masker hitam untuk menutupi separuh wajahku. Aku tidak ingin orang-orang mengenaliku mengingat banyak sekali poster-poster ku yang sedang bermain alat musik hitam putih itu di mana-mana.

"Sekarang kakak sudah sangat terkenal. Hampir teman-temanku di kampus mengidolakan kakak karna penampilan spektakuler kakak minggu lalu."

Sesekali laki-laki bermata sipit itu menoleh ke jalanan melirik gambar wajahku dimana-mana. Aku hanya tersenyum menanggapi, percuma sih, toh senyumanku tidak akan terlihat.

"Dibuka dong maskernya. Udah dalam mobil juga." ucap keno bersungut kesal. Aku hanya tertawa tanpa mengikuti perintahnya.

Lampu merah membuat laju mobil berhenti. Dua orang remaja laki-laki berdiri di sebelah kaca mobilku yang setengah terbuka. Si kulit hitam bernyanyi, sedangkan si kepala plontos bertepuk tangan. Tidak ada alat musik sama sekali, suaranya pun bisa dibilang pas-pas an.

Setelah mereka selesai dengan pertunjukan singkatnya, salah satunya menyodorkan tangan padaku. Otomatis membuatku mengambil uang dua puluh ribuan dari dompet, menurunkan maskerku dan memberikan uang tadi sembari tersenyum. Mereka sempat melotot melihat wajahku dengan ekspresi tegang.

"Axelle Pranata!! Gila, dia musisi terkenal. Kalau saja tadi aku punya hp, pasti aku akan berfoto sama dia."

Samar aku mendengar teriakan mereka sesudah mobil kembali berjalan.

"Ngapain di kasih duit sih, kak. Ngamen tapi nggak modal." ucap Keno.

"Setidaknya mereka usaha, daripada duduk diam terus ulurin tangan minta uang atau jadi pencuri." jawabku.

Rumah sederhana dengan beberapa bunga terawat di terasnya, halamannya menjadi tempat mobil kami berhenti. Sudah sering aku meminta mereka pindah ke rumah lebih mewah yang mampu aku belikan. Sering juga mereka menolak.

Seseorang yang aku panggil mama berdiri menyambutku di pintu. Walaupun beliau tidak sedarah denganku, tapi aku tau dia menyayangiku lebih dari siapapun.

"Kamu jarang ke sini. Mama kangen banget tau nggak. " ucap mama setelah melepas pelukannya.

Laki-laki paruh baya berjalan menghampiriku membuatku setengah berlari untuk memeluknya.

"Papa kira kamu sudah lupa dengan kami." ucap papa dengan nada bercandanya.

"Nggak mungkin lupa. Kalian adalah hal paling penting dalam hidup Axel." ucapku membuat mereka bertiga tersenyum haru.

Kami masuk ke dalam rumah, Keno memperkenalkan beberapa temannya padaku. Beberapa kali dia menegur temannya dengan kesal karna mereka hanya sibuk ingin berfoto denganku dan malah mengabaikannya.

Semua menoleh ketika bell rumah berbunyi.

"Itu pasti Aira, dia datang agak telat katanya." ucap salah satu teman perempuan Keno yang sedari tadi menempel padaku.

Keno membuka pintu mempersilakan seorang perempuan masuk dan sekarang dia berdiri canggung di depan kami sambil mengatakan sesuatu yang entah kenapa aku tidak bisa mendengarnya.

Indra pendengaranku seperti teralihkan pada suara jantung di dada sebelah kiri dan indra penglihatanku menajam.

Aku melihat jelas mulut mungilnya berbicara, tapi aku tidak mendengar sepatah kata pun suaranya.

"Kak! Ayo ke meja makan. " ucap keno. Aku melihat semua orang sudah berjalan menuju ruang makan.

Apa-apa an ini, kenapa aku merasa seperti tidak di bumi?

Meja makan panjang ini cukup untuk aku, Keno, mama, papa dan lima orang temannya. Keno duduk di sebelahku dan di depannya temannya yang bernama Aira tadi, wanita yang membuatku merasa di planet lain.

"Kakak liatin Aira mulu deh dari tadi." bisik Keno, lalu menyuap sup iga ke mulutnya.

"Dia.. " ucapku sedikit memberi jeda, "Cantik. "

"Kakak suka sama Aira?" tanya Keno membuatku mengangguk.

Apa? Kenapa aku mengangguk? Tapi degub jantungku memang tidak bisa mengingkari sih.

"Axel, makanannya di makan dong sayang. " suruh mama.

Kirain Aira yang nyuruh.







--------------------------------------------


Yuhuu... I'm come back again!!!

Dengan kisah Axel dan Aira.

Menulis itu sama sulitnya dengan melupakan. Eh??
Jadi dibutuhkan vote dan komennya.
Readersqu..

LOVE MUSICIAN (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang