Bab 5
How to Start a Marriage Life?
Menjelang waktu makan siang, Raka berniat untuk memesan dari restoran hotel. Masalahnya, jarak dari hotel ke villa tempat mereka tinggal tidak begitu dekat. Raka tahu, jika ia yang meminta, mereka pasti akan mengantarkannya. Namun, mengingat ia berada di sini karena hadiah dari Lyra, Raka tentu perlu memikirkan reputasi nama itu juga.
Meski Raka bukan orang yang biasa memikirkan nasib atau reputasi orang lain, tapi ia tak bisa melakukan itu pada Lyra. Terlebih, wanita itu sudah punya reputasi yang cukup buruk. Raka melirik ke arah kamar tempat Febi berada, entah apa yang dilakukan wanita itu.
Sepertinya, Raka memang harus membawa wanita itu ke restoran. Masalahnya, jika Febi tidur di dalam sana, Raka tak mungkin membangunkannya. Ia bisa menunggu Febi untuk ke restoran. Hanya saja ... Raka sudah lapar. Ia tidak makan apa pun di pesawat saat sarapan tadi. Karena Febi sepertinya sangat suka menunya, Raka memberikan bagiannya pada wanita itu tadi. Beralasan ia tidak lapar.
Raka merebahkan tubuh di atas karpet di ruang tengah itu. Memutuskan untuk menahan lapar, Raka menggunakan waktunya untuk mengamati interior villa. Milla tadi menjelaskan jika ini villa khusus untuk honeymoon. Dari suasanya pun sudah tampak jelas.
Bunga mawar merah, lukisan romantis, lampu yang redup, hingga kamar tidur yang hanya satu. Mengingat Lyra pasti sudah tahu alasan Raka menikahi Febi, jelas wanita itu mengerjai Raka dengan mengirimnya kemari. Raka akan membuat perhitungan untuk ini.
Suara pintu dari kamar tempat Febi berada membuat Raka seketika terduduk. Wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu melongokkan kepala melewati pintu dan melongok ke arah dapur, tampak mencari.
"Kenapa?" Raka bertanya, sekaligus memberitahukan keberadaannya.
Febi tersentak kaget ketika menoleh padanya. "Ah ... kamu di situ?"
Raka mengangguk. "Kamu butuh sesuatu?"
Febi lalu membuka pintu semakin lebar dan berjalan keluar. "Buat makan siangnya ... kamu nggak berharap aku masak, kan?" tanya wanita itu hati-hati.
Raka menggeleng. "Kamu nggak bisa masak?" Raka memastikan.
Febi mengangguk mengakui tanpa malu-malu.
Raka tidak terkejut. Pun tidak kecewa. Ia tidak sedikit pun berharap pada Febi. Mengingat, wanita itu tumbuh persis seperti Dera. Sama seperti Raka, papa Febi tidak mungkin mengajari atau mewajibkan Febi melakukan hal-hal seperti itu. Sama seperti Raka, papa Febi juga pasti membesarkan putrinya layaknya seorang putri. Bahkan mungkin, seumur hidupnya, Febi tak pernah memegang sapu.
"Kamu ... nggak akan maksa aku ikut kelas masak, kan?" Febi bertanya takut-takut.
Raka menggeleng. "Aku bisa masak. Tapi, nggak ada apa-apa di kulkas." Lyra memang kurang ajar. "Dan aku masih terlalu capek buat belanja dan masak. Jadi, gimana kalau siang ini kita makan di restoran hotel aja?"
"Oke." Febi tak butuh lebih dari sedetik untuk menjawab. Wanita itu lalu masuk ke dalam, hanya untuk mengambil ponsel, dan menutup pintu kamar setelah keluar. "Aku udah siap," ucapnya.
Raka tersenyum kecil. Ia lantas berdiri. Namun, langkahnya terhenti ketika teringat sesuatu.
"Nggak ada mobil," ucapnya sembari menatap Febi.
Wanita itu menatap Raka, terlongo.
"Aku telepon Milla dulu," ucap Raka lagi.
"Restorannya jauh banget?" tanya Febi yang menghampiri Raka.
"Mungkin sekitar tiga ratus atau empat ratus meter dari sini," sebut Raka. Ia tidak keberatan berjalan menempuh jarak itu. Tidak jauh juga. Namun, Febi ...
"Gimana kalau kita jalan aja?"
Penawaran Febi membuat Raka melotot kaget.
"Kalau menurutmu itu kejauhan ..."
"Nggak, nggak," tukas Raka. "Kalau kamu mau jalan, kita jalan aja. Nanti biar Milla antar mobilnya ke restoran."
Febi mengangguk. Namun, Raka mengamati ekspresi wanita itu selama beberapa saat. Ia mencari tanda kesal, tapi tak ada. Febi tak sedikit pun tampak kesal. Malah ... ia tampak bersemangat.
Raka tersenyum kecil ketika menatap ke depan. Diam-diam ia bersyukur. Sepertinya, Febi tidak mengeluh atau meributkan masalah seperti ini.***
Meski sebenarnya Febi lelah setelah perjalanan panjangnya, tapi acara jalan kaki dari villa ke restoran hotel cukup menghiburnya. Febi tak bisa berhenti menatap kanan-kiri, ke arah pepohonan di sepanjang jalan yang ia lewati menuju hotel. Ditambah lagi, udara di sini yang segar dan sejuk. Padahal ini di siang hari.
"Omong-omong, kemarin Milla ngomong tentang hiking track," singgung Febi.
Ia menoleh untuk menatap Raka. Namun, ternyata pria itu juga menatapnya. Ia bahkan tampak terkejut ketika Febi memergokinya.
Raka berdehem. "Iya. Ada."
"Kamu ada yang mau diomongin sama aku?" Febi penasaran.
Raka menggeleng. Namun, pria itu tiba-tiba berkata, "Kalau kamu capek, kamu bilang aja. Aku bisa nyuruh Milla jemput kita di sini."
Febi mengerutkan kening. "Kamu capek jalan, ya?" tebaknya.
Raka menggeleng.
"Kalau kamu capek jalan, kita berhenti di sini aja nungguin Milla," tawar Febi.
Raka menggeleng keras. "Aku justru khawatir kamu capek."
Febi tertegun. Ia mengerjap. "Aku ... baik-baik aja. Makasih."
Lagi-lagi ia menciptakan kecanggungan yang menyebalkan itu.
Meski itu tak berlangsung lama, karena dalam seratus meter, mereka sudah tiba di hotel. Milla menyambut mereka di pintu masuk hotel, lalu mengantarkan ke restoran.
Setelah Raka dan Febi selesai memesan makanan, Milla pamit. Namun, sebelum pergi ia memberitahukan Raka jika ia akan meninggalkan sebuah mobil untuk transportasi Raka dan Febi selama di sini.
"Terima kasih, Milla. Tolong sampaikan juga terima kasih saya untuk Lyra," balas Raka sopan.
Namun, ketika Milla hendak pergi, Febi menahan tangannya. Milla tampak kaget saat menatap Febi.
"Apa aku juga boleh pakai mobilnya?" tanya Febi hati-hati.
Milla kembali melemparkan tatapan bergantian ke arah Febi dan Raka.
"Aku suka driving," Febi beralasan.
Milla tersenyum. "Tentu boleh, Bu. Kalau nanti ada mobil model lain yang Bu Febi ingin, hubungi saya saja."
Febi tersenyum. "Makasih, tapi aku oke sama model apa pun." Meski Febi lebih suka mobil sport, tapi saat ini ia sudah berterima kasih jika bisa menyetir sendiri selama di sini. Ia sudah tak sabar untuk berkeliling Vancouver besok. Papanya tak pernah mengizinkan Febi membawa mobil sendiri jika ke luar negeri.
Milla sekali lagi pamit pada mereka sebelum pergi.
Sepeninggal Milla, Raka bertanya, "Kamu suka driving?"
Febi mengangguk. "Kamu nggak keberatan kan, kalau aku driving?"
"Nggak masalah," jawab Raka pendek.
Syukurlah.
"Apa rencanamu selama di sini selama seminggu ke depan?" Raka bertanya.
"Kamu?" Febi balik bertanya.
Raka mengedik. "Kerja, mungkin."
Febi bahkan tak terkejut. "Enjoy my life as your wife," Febi memberikan jawabannya.
"Kalau kamu butuh sesuatu ..."
"Aku pasti akan bilang ke kamu," potong Febi. "Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Aku bisa ngurus diriku sendiri. Jadi, kamu bisa fokus sama pekerjaanmu."
Raka mengernyit.
"Kenapa? Kamu pikir, karena aku anak papaku, aku nggak akan bisa apa-apa?"
Raka tampak bingung untuk memberikan jawaban.
"Aku nggak bisa ngurusin rumah, itu benar. Tapi, di luar sana, aku bisa ngurus diriku sendiri, kok. Aku udah nyiapin diri selama belasan tahun untuk hari ini. Hari di mana aku nikah dan bisa ngelakuin apa pun yang aku pengen. Jadi, kamu nggak perlu khawatir tentang aku di luar sana." Febi menenangkan Raka.
Raka hendak berbicara, tapi seorang pelayan restoran datang mengantar pesanan mereka. Meski begitu, setelah pelayan itu pergi, Raka berkata,
"Ayo makan."
Febi tentu menyambut itu dengan anggukan antusias. Ia juga sudah lapar.
***
Dalam perjalanan ke villa, Febi tiba-tiba menyinggung tentang hal yang tak terduga sama sekali.
"Kamu mau malam pertama kapan?"
Raka tak tahu harus menjawab apa selama beberapa saat. Ia melirik Febi sekilas, lalu kembali menatap ke jalan. Ia mencengkeram roda kemudi erat.
Febi lalu melanjutkan, "Malam pertama kita nanti ..."
"Tunggu," Raka memotong. "Apa maksudmu, malam pertama?"
Febi mengerutkan kening bingung. "Kita udah nikah, jadi pasti ada ritual itu, kan?"
Raka tak menjawab. Ia menunggu sampai tiba di depan villa dan memarkirkan mobil.
"Kamu ... mau malam pertama sama aku?" Raka bertanya pelan sembari menatap Febi.
"Karena aku udah jadi istrimu, jadi itu kewajibanku. Karena itu ..."
"Kamu nggak perlu ngelakuin itu kalau kamu nggak mau," sela Raka.
Febi mengerjap. "Kamu ... nggak mau?"
Raka mengecek AC mobil. Kenapa mendadak panas sekali di sini? Ia memutuskan untuk membuka jendela mobil. Raka menarik napas dalam, lalu berkata,
"Kalau kamu nggak mau tidur sama aku, jangan pernah ngungkit masalah ini lagi, oke? Aku baik-baik aja. Dan aku nggak akan pernah maksa kamu tentang itu. Jadi, kamu nggak perlu lagi khawatir tentang itu."Raka tak bisa mengartikan tatapan Febi, tapi mata abu-abu wanita itu seolah membius Raka.
"Trus, kamu ngelakuin itu sama siapa?" Pertanyaan Febi membuat Raka memutus kontak dengan mata abu-abunya.
"Aku terlalu sibuk sama kerjaanku dan nggak ada waktu buat hal-hal kayak gitu, jadi ..."
"Kamu normal, kan?" Pertanyaan penuh keraguan Febi itu membuat kepala Raka mendadak pening.
Ia kembali menarik napas dalam, lalu menatap Febi. "Nggak perlu khawatir tentang itu. Detik kamu bilang, kamu mau ngelakuin itu sama aku, aku akan ngasih jawabannya."
Febi ternganga kaget. "Itu ... oke, nanti kalau aku mau ngelakuin itu, aku akan bilang ke kamu."
Raka merasa semakin gerah. Tanpa menunggu Febi, ia turun lebih dulu. Apa wanita itu bahkan tahu apa yang dikatakannya tadi?
Namun, itu belum selesai. Ketika Febi menyusul Raka ke villa, wanita itu kembali melempar pertanyaan berbahaya,
"Trus, nanti malam kamu tidur di mana?"
"Aku tidur di luar," balas Raka tanpa menatap Febi.
"Di mana? Di hotel?"
"Di luar sini, di luar kamar tidur. Di ruang tengah, di ruang tamu, di sofa, di karpet. Di mana pun, yang jelas, nggak di atas tempat tidur di kamar tidur." Raka bahkan bisa mendengar suaranya meninggi.
"Kamu marah karena harus tidur di luar sini? Di atas karpet atau di atas sofa?"
Raka bahkan tak tahu kenapa suaranya terdengar seperti ini. "Aku baik-baik aja di luar sini. Aku cuma capek."
"Kamu bisa tidur di kamar, kalau mau. Biar aku yang tidur di luar sini," Febi menawarkan dengan murah hatinya.
Raka memejamkan mata, lalu memutar tubuh menatap Febi yang sedari tadi berdiri di belakangnya.
"Aku benar-benar baik-baik aja di luar sini. Aku udah capek banget dan aku mau istirahat. Di luar sini. Jadi, lakuin apa pun yang kamu pengen, tapi tolong jangan ganggu aku."
Setelah mengatakan itu, Raka berbaring di sofa ruang tengah dan memejamkan mata. Ia melipat satu lengan di belakang kepalanya dan lengan lainnya terlipat menutupi matanya.
Oh, kenapa di sini panas sekali?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to Marry You (End)
RomanceDesakan menikah mulai membuat Raka jengah. Memang, sebentar lagi usianya akan mencapai kepala empat, tapi sampai saat ini ia masih tak punya seorang wanita di sisinya. Bahkan, adik bungsunya sudah menikah. Raka bukannya tidak mau menikah. Hanya saj...