Bab 9
Just The Two of Us
Sudah hampir satu jam Raka dan Febi berbaring di atas tempat tidur yang sama, tapi tak ada yang terjadi. Raka berbaring di sisi kanan, sementara Febi berbaring di sisi lainnya. Mereka sama-sama berbaring menatap langit-langit kamar, tanpa ada yang bicara.
Febi tak tahu harus melakukan apa, sementara Raka juga entah kenapa ... tak melakukan apa pun. Jangan-jangan, pria itu tak tahu bagaimana ...?
"Kamu nggak tahu ya, gimana caranya?" Febi tak bisa menahan rasa penasarannya. Seketika, Raka menoleh ke samping, tampak terkejut, lalu kesal.
"Kamu yakin, kamu nggak akan nyesal?" tanya pria itu.
"Sama kayak kamu. Aku tahu apa yang aku lakuin. Aku tahu, dalam pernikahanku, baik itu sama kamu atau siapa pun itu, aku harus ngelakuin ini," balas Febi.
"Meski gitu, kamu bisa aja nyesal setelah ini," singgung Raka.
Febi mendengus pelan. "Bukannya sebaliknya? Kamu tahu, kamu akan nyesal setelah ngelakuin ini. Atau, kamu takut? Atau ..." Kalimat Febi terputus kesiap kaget ketika tiba-tiba Raka berguling ke arahnya, lalu membungkuk di atas tubuhnya.
Febi menelan ludah, sementara kedua tangannya yang terpaut di atas perutnya saling menggenggam erat. Febi memejamkan mata rapat-rapat ketika Raka menunduk. Febi bisa merasakan panas napas pria itu, sebelum ranjangnya bergoyang dan ia tak lagi merasakan kehadiran Raka di atasnya. Febi membuka mata.
Ia menoleh ke samping ketika tak menemukan Raka di atasnya. Pria itu sudah turun dari tempat tidur, berdiri di sisi Febi berbaring dengan satu tangan di saku celana dan tangan yang lain menyusur rambutnya.
"Nanti," ia berkata. "Nanti, begitu kita udah terbiasa satu sama lain."
Setelah mengatakan itu, Raka berbalik dan berjalan ke arah pintu. Febi memanggil nama pria itu sebelum ia keluar.
"Kenapa?" Febi menanyakan keputusan Raka.
Bahu Raka bergerak ketika ia menarik napas dalam. "Bukan aku yang takut. Dan aku nggak mau maksa kamu, bahkan meski kita sama-sama tahu ini adalah apa yang harus kita lakuin. Aku nggak mau buat hubungan kita lebih buruk lagi."
Febi tertegun. Ia lalu merasakan kebas di tangannya, membuatnya segera melepaskan genggaman eratnya, sekaligus menyadari maksud kata-kata Raka. Ia juga tak bisa membantah itu. Karena ia tahu, Raka benar.
Ia hanya tak menyangka, pria itu akan mempertimbangkan perasaannya di sini. Ia tak sedikit pun mengira, menduga, berharap, ada perasaan yang terlibat di sini. Meski begitu, ia tak ingin berharap. Ia pernah percaya, berharap, dan kecewa.
***
Raka sedang menata sarapan di meja makan ketika mendengar pintu kamar Febi terbuka. Namun, wanita itu tak langsung keluar. Raka refleks tersenyum geli melihat bagaimana wanita itu menyembulkan kepala melewati pintu, mencari Raka. Ketika akhirnya Febi menemukannya, Raka melenyapkan senyumnya.
"Kalau mau sarapan, sini," Raka berkata dengan nada datar.
Febi berdehem, sebelum dengan sangat pelan, berjalan menghampiri meja makan.
"Tentang semalam, nggak perlu dipikirin," singgung Raka, tahu itulah alasan Febi bersikap seperti ini. Terbukti dari keterkejutan Febi ketika mendengar kalimat Raka itu.
Febi berdehem. "Aku nggak mikirin tentang semalam, kok," bantahnya.
"Terus?" tuntut Raka.
"Aku lapar." Febi lantas duduk. "Dan habis sarapan, aku mau jalan-jalan. Ke Vancouver."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to Marry You (End)
RomanceDesakan menikah mulai membuat Raka jengah. Memang, sebentar lagi usianya akan mencapai kepala empat, tapi sampai saat ini ia masih tak punya seorang wanita di sisinya. Bahkan, adik bungsunya sudah menikah. Raka bukannya tidak mau menikah. Hanya saj...