Mimpi

126 11 8
                                    

Sore ini pukul 3.30 aku pulang sekolah bersama dengan Kiki. Menebeng sekalian dengan mobil jemputan pribadinya. Aku duduk di kursi belakang berdampingan dengan Kiki. Dan Kiki masih berkutat dengan ponselnya sejak beberapa menit yang lalu sambil kadang tersenyum senyum sendiri. Bisa di tebak kalau dia sedang chat dengan pacarnya, Hilmi.

Selama perjalanan mataku selalu memandang keluar jendela sebelahku. Terus melihat langit sore berwarna orange, merah, abu-abu, dan jingga yang kontras dan terlihat sangat cantik. Tak luput pula dari pandangan mata perumahan nun jauh di sana dan sawah-sawah yang hijau.

"Li, nanti ke mall yuk" ajak Kiki membuat pandangan yang awalnya melihat keluar jendela beralih ke arah Kiki yang barusan berbicara. Ponselnya lalu di letakkannya di kursi mobil.

Aku melirik ke bawah. Melihat ke arah jam tangan coklatku yang sudah menunjukkan pukul 3. 48, sepertinya tidak ada waktu. "Nggak ah, males" elakku.

"Kok gitu siiih... Nanti aku yang jemput deh. Pliiiiis" rengek Kiki kepadaku dengan tangannya menggoyang-nggoyangkan tanganku.

"Sama Seli aja, aku–"

"Nggak asik. Biasanya juga mau" jawab Kiki sebelum kalimat tuntas ku ucapkan. Tangannya di lipat di depan dada dan melihat ke depan. Ke arah sopir dan sesekali melirik ke arahku.

"Jangan manja gitu deh. Besok aja. Kalo nanti, aku ada urusan" balasku, menutupi rencanaku ke danau nanti dengan Topan.

"Tapi kan aku–"

"Udah sampe! Makasi ya Kiki, dahhh" balasku kepada Kiki, saat mobil ini mulai melemahkan lajunya dan berhenti di depan rumahku. Aku segera menggeser pintunya dan keluar.

Kalau Kiki aku ladeni terus bisa-bisa aku akan terpojok dan térbongkar semua rencanaku. Dan hal paling buruk yang bisa ku bayangkan adalah : di ejek sampai satu kelas tau cuma gara-gara salah faham.

"Yaudah, sampai ketemu besok!" jawab Kiki dari dalam mobil hitamnya sambil melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku. Aku masih diam di pinggir halaman rumahku melihat mobil Kiki yang lama-lama berjalan menjauh dan akhirnya menghilang berbelok di pertigaan depan.

Tas yang berisi buku pelajaran, buku paket dan lks aku letakkan di sebelah meja belajar. Badan ku yang lelah seharian bersekolah aku rehatkan sejenak dengan berbaring di kasur. Ya, kasur. Hal yang paling aku rindukan saat daya mataku tinggal 5 watt di sekolah. Walaupun aku biasa dan biasa tidur di meja, tapi tentu tidak akan bisa senyaman kasur di kamar sendiri.

Melamun sejenak dengan mata terfokus pada flapon di atasku. Entah apa yang ku fikiran. Tidak ada. Tiba tiba dengan gerak refleks aku  terbangun dari lamunan  dan duduk, ketika aku mendengar kaca yang di lempari batu kerikil dari luar.

Pandangan langsung ku lemparkan ke arah jendela kamarku yang posisinya langsung menghadap ke arah halaman rumah. Memastikan apa yang ku dengar tadi benar adanya atau tidak. Dua detik, lima detik. Suara itu ada lagi, tapi kali ini mataku sempat menangkap ada batu kerikil yang seperti sengaja di lemparkan ke arah jendela kamarku.

Badanku yang semula duduk ku tegakkan berdiri. Langsung melangkah ke arah jendela yang semakin lama jeda lemparannya semakin sedikit. Mataku melihat ke bawah mencari-cari sumber kekacauan kecil ini berasal.

"Ngapain?!" teriakku dari dalam kamar setelah aku membuka jendela dan melihat Topan sedang berdiri di balik pagar dan ada sepeda BMX  yang disandarkan pada besi pagar rumahku.

"Kamu lupa?!" dahi Topan terlihat berkerut, dan terlihat dari atas dia berdecak kesal. Karena pagar tidak di kunci, Topan melangkah masuk ke areal halaman rumah.

Aku langsung menarik diri melangkah menuju pintu keluar kamar, menuruni tangga dan berlari ke pintu depan melewati ibu yang sedang bersantai ria di sofa sambil menonton tv. Sebelum Topan mengetuk pintu aku sudah membukanya. Yang ku lihat pertama kali, Topan tepat sedang berdiri di depan pintu dengan tangan seperti hendak mengetuk pintu tapi tertahan karena sudah terbuka.

LiliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang