Tik tok tik tok tik tok
Suara jam dinding memecah kesunyian dan sukses membangunkanku dari tidur siang. Aku terdiam, seakan akan hanya jam itu yang hidup dalam ruangan ini.
Lagi-lagi aku bangun dalam keadaan sunyi dan sepi. Tidak ada orang, tidak ada manusia lain selain aku di rumah ini. Aku menatap lurus ke arah atap, berfikir apapun yang bisa aku fikiran selain kesedihan. Tidak bisa, ini sulit bagiku.
Sekuat apapun usaha untuk melupakannya akan sia-sia kalau ibu semakin sering meninggalkanku seorang diri. Dan itu pula yang akan membuatku selalu teringat akan hal itu.
Dari posisi tiduran, kini aku beranjak dan duduk di tepi ranjangku. Menatap nanar sebuah foto berbingkai yang tergantung rapi didinding biru tepat di hadapanku. Ada aku, ayah, ibu dan Kak Gina. Semuanya sedang tersenyum gembira.
Aku menghela nafas panjang. "Tolong, Kembali. Buat aku"
Suaraku parau bahkan hanya terdengar seperti desiran angin. Ada sesuatu yang menyat-nyayat hatiku saat ini, luka itu kembali teriris tepat di tempat yang sama.
Semakin lama aku menatap foto itu semakin larut pula aku dalam kesedihan yang tak berujung. Kini airmataku keluar juga, pilu rasanya menyadari semua ini.
Di saat anak seusiaku yang lain sedang menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta saat weekend seperti ini. Mengobrol, bercanda ria, makan bersama, ataupun jalan-jalan. Aku malah sendirian.
Terhitung beberapa bulan belakangan ini ibu menjadi semakin jarang lagi menghabiskan waktu berdua bersamaku. Awalnya yang hanya pulang bekerja telat, bahkan sekarang terlalu sering untuk telat, ada pertemuan ini dan ada acara itu. Ibu seakan-akan punya banyak kesibukan dan urusan yang membuatnya tidak betah berlama-lama di rumahnya sendiri. Kalau aku ingin ikut pergi, ibu tidak pernah mengijinkannya. Alhasil ibu akan membentakku kalau aku tetap bersikeras.
Selama ini, cukup bagiku menyibukkan diri dengan belajar untuk persiapan menghadapi ulangan tengah semester dua, yang akan di laksanakan minggu depan. Dan selama itu pula ibu sudah tidak pernah mendampingiku belajar di rumah. Topan lah yang selama ini mengajariku.
"Lebih baik kalian pergi saja sekalian"
Aku mengambil foto keluarga ber-frame di dinding itu dengan kasar dan melemparnya ke bawah kolong tempat tidur. Berharap bisa membantu untuk menghilangkan rasa sakit ini.
Wajahku kutenggelamkan ke dalam dekapan lutut. Bersandarkan pinggiran ranjang tangisku malah semakin menjadi, airmataku semakin deras bercucuran. Aku tidak tahan dengan semua ini.
Kalau aku hanya menangis, aku tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali bekasnya. Maka dari itu, aku segera mengambil ponsel di meja dan berniat menelepon kak Gina. Sudah lama aku tidak menanyakan kabarnya. Siapa tau fikiranku akan lebih ringan kalau aku memberitahunya.
Terdengar suara sambungan telfon sebelum akhirnya suara halus perempuan menyapa lebih awal.
"Oh, hallo kak. Kakak, aku kangen sama kakak"
Sambung ku beruntun, masih menahan sesenggukan. Padahal kak Gina hanya menyapa 'hallo' sebelumnya."Iya, kakak juga. Kamu kok tumben pagi-pagi udah telfon?"
Mendengar jawaban kakak, aku menghela nafas panjang sambil memutar bola mata. "Kak, aku di Indonesia. Beda waktu, di sini kan udah siang. Kakak lupa ya? "
Terdengar suara tawa renyah dari sebrang sebelum menjawabnya. "Ah, iya. Kakak lupa. Ini kakak baru sarapan. Eh, gimana kabarnya baik semua? Ibu mana Li?"
Aku diam sejenak. 'ibu pergi terus dan aku selalu sendiri di rumah kak, aku nggak lagi baik'. Jawaban itu yang harusnya aku lontarkan saat ini juga. Tapi nyatanya hanya menggantung di tenggorokan. Pikiranku berkecamuk. Antara jujur dan berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lili
Teen FictionVanezi Nataliliana, itu aku. Sebagai anak yang hanya tinggal bersama Ibu aku menjadi anak penurut. Ayah? Ayah dan kakakku pergi sejak orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Dengan sehari hari yang menjadi pribadi kurang rajin. Topan selalu membantu...