Hanya Sebuah Rasa

68 5 1
                                    

Sebelumnya, cuma mau ngasih tau. Cerita "Lili" Aku buatnya dari tiga  (Lili, Topan & author) sudut pandang sekaligus, so, jangan bingung ya.

Selamat membaca dengan tenang :')

***

Aku tidak faham kenapa tadi malam Lili begitu bersikeras ingin berangkat lebih pagi sendirian. Bagiku itu adalah hal konyol yang aku yakini tidak akan bertahan lamai. Mau tidak mau hari ini aku juga ikut berangkat pagi tanpa sepengetahuan Lili.

Aku khawatir kalau nanti terjadi apa-apa dengannya, mengingat dia sendirian dan berangkat jam enam pagi saat keadaan masih sepi. Bisa saja segala kemungkinan buruk terjadi disaat-saat seperti itu.

Mungkin apa yang kulakukan saat ini terkesan terlalu berlebihan dan aneh, tapi aku merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan Lili.

Mengingat ayah Lili yang memberi pesan kepadaku secara langsung ke rumahku sebelum ia berangkat ke luar negeri bersama anak pertamanya, delapan tahun yang lalu. Masih kuat tertanam di otakku sampai saat ini.


Dia berjongkok menyamakan tinnginya denganku yang masih kecil. “Topan, om bisa minta tolong sama kamu sesuatu?”.katanya dengan suara bass yang khas.

Aku menatapnya dengan penuh minat. “Apa om?”.

Lalu Om Juna memegang kedua pundakku dengan kedua tangannya yang besar. “Jagain Lili ya? Om mau Lili terus tersenyum. Bisa ?” kemudia dia tersenyum kepadaku penuh harap.

Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. “Siap Om. Ultramen Topan akan selalu menjaga Lili. Om nggak usah khawatir ya Om” aku menunjukkan mainan Ultramen yang ku genggam dari tadi ke hadapan Om Juna.

“Makasih ya” dan dia berpamitan lalu pergi megendarai taxi yang sudah menunggunya dari tadi, menerobos hujan deras malam itu.

Mungkin karena aku sedikit kesal dengan sikap keras kepala Lili, membuatku pagi ini terlihat lebih jutek dan cenderung seperti orang yang sedang marah.

Tapi itu lebih baik daripada aku benar-benar memarahi Lili hari ini. Pasti akan membuatnya menangis.

Aku masih ingat kapan terakhir kali aku memarahinya dan membuatnya menangis, gara-gara dia nekat pergi dengan teman sekelasnya ke toko buku saat aku tidak bisa mengantarnya. Membuat Lili dimarahi ibunya juga.

“Topan, gue buatin ini. lo mau kan” Fara menyodorkan sekotak brownies bekal makan siangnya. Aku langsung menutup buku fisika yang sebenarnya aku tinggal melamun dan menaruhnya di laci meja.

“Boleh”. Satu potong brownis baru saja masuk ke dalam mulutku.

Mata Fara memancarkan binar bahagia dan percaya diri. “Enak nggak?”

Mataku terpejam sebentar untuk lebih dalam lagi merasakan brownis nya. “Ya, lumayan lah. Mama lo yang buat?”

“Ih, aku buat sendiri tau tadi malem. Ya tapi emang dibantuin Mama dikit sih”.

Kemudian Fara mengambil alih kursi kosong di sampingku, tempat duduk Reno yang  ditinggalkan si empunya ke kantin sekitar tiga menit yang lalu.

Aku yang menyaksikannya langsung melirik tajam ke arahnya kaget. “Apa nggak seharusnya lo duduk di situ?”

Fara menoleh santai. “Nggak boleh ya gue duduk di samping lo? Kalo boncengan sama lo boleh?”

Cewek ini benar-benar gila, setiap hari aku harus menahan emosi terhadap tingkahnya yang membuatku sangat tidak nyaman.

LiliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang