dhuha³

3.1K 187 6
                                    

Hari mulai larut. Tapi untunglah malam minggu. Ada yang tidak perlu sekolah, kuliah, atau bekerja besok. Seperti pria muda yang sedang duduk di angkringan di pinggiran kota Jogja ini. Ia ditemani seorang gadis berusia 16 tahun yang tengah menata gorengan yang baru saja diangkat dari wajan tergenang minyak panas. Gadis yang berbalut baju lengan panjang kuning dan hijab navy blue itu bernama Any. Dia anak pemilik angkringan yang masih SMA dan kerap membantu orang tuanya bila malam minggu begini. Pria itu tahu, karena ia sudah sering nongkrong di angkringan ini sejak masih SMA bersama teman yang sekarang masih ia tunggu.

Di luar memang hujan, tapi yang ditunggu belum datang juga, padahal naik mobil, tidak neduh dulu kan? Harusnya sudah sampai beberapa menit lalu. Alasan yang mungkin dipakai adalah macet, kalau tidak, ada urusan mendadak sebentar.

Nama pria yang sedang duduk itu adalah Fathurahman Abidal aka Fathur, mahasiswa pasca sarjana Psikologi di Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun lalu ia lulus dari Politeknik Kesehatan Surakarta jurusan Okupasi Terapi, jadi ia bisa mengambil S2 Psikologi sekarang.

Beberapa kali, untuk menghilangkan bosan ia mengajak ngobrol orang yang ada di sana. Ada beberapa dari mereka yang ia kenal karena sama-sama sering main ke angkringan. Beberapa kali juga ia melihat sosial medianya, terutama WhatsApp untuk mengecek kontak sahabatnya itu, tapi statusnya sudah seperempat jam lebih terakhir dilihat setelah chat terakhir tertulis OTW.

🚲🚲🚲

Gilbar memarkir mobilnya di tepi jalan lalu keluar menyeberang jalan menuju rumah semacam kedai di seberang sana. Ia berjalan tergopoh-gopoh bukan karena badannya ditimpuki air dari langit,  hujan mulai reda, melainkan karena ada yang sedang menunggunya dengan perasaan kesal di dalam sana.

Benar saja, ketika ia sampai mengucap salam, orang yang hendak ia temui memasang raut wajah asem.

"Assalamualaikum, Tur." Sapa Gilbar duduk sambil menjabat tangan Fathur.

"Waalaikumsalam. Alasan seperti biasa?" Sindir Fathur.

"Ngga, kali ini ada halangan di jalan." Kata Gilbar sambil mencomot sebuah tempe goreng panas di depannya. "Tadi itu ada sepeda motor jatuh di depanku, aku bawa ke klinik dulu makanya lama."

"Kok ngga ngabarin?"

"Hp-ku jatuh tadi pas mau aku taruh dasbor, belum sempet tak ambil juga sekarang." Gilbar mulai mengunyah tempenya.

"Kenapa ngga kamu ambil?"

"Halah nanti aja." Abai Gilbar.

"Kamu ya, Bar soal ibadah, salat, zakat, skripsi itu ngga pernah nunda-nunda, giliran kaya gini ditunda terus."

"Bagus dong, menunda urusan dunia dan lebih mendahulukan akhirat."

"Pantesan jodohmu juga ketunda." Celetuk Fathur lalu menyesap kopi hitamnya sampai habis. "Kamu tahu kan orang yang suka nunda-nunda urusan, maka Allah akan menunda rezekinya juga."

"Itu hadits rowinya siapa? Jangan ngarang ayat sendiri lah. dosa! Kalau yang nunda salat hidupnya dipersulit, aku percaya."

"Sama aja."

"Beda! Kamu sendiri yang bilang kalau masalah ibadah aku ngga pernah nunda-nunda." Gilbar lalu memesan segelas kopi hitam favoritnya. Sedangkan Fathur memesan susu panas sebagai penawar kopi yang sudah dihabiskannya. Kalau tidak begitu, besok ia akan ngorok sampai pagi karena kopi hitam yang diminumnya tadi adalah kopi hasil tumbukan Pak Slamet sendiri, jadi sangat asli dan alami.

Pak Slamet adalah nama pemilik angkringan.

Setelah sama-sama memesan, Gilbar dan Fathur melanjutkan obrolan mereka sembari menunggu pesanannya jadi.

mencarimu lewat ISTIKHARAH menemukanmu dalam DHUHA (SEASON1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang