ketakutan😫😫

2K 138 20
                                    

"Ibuk percaya kalian ngga pegangan tangan, tahu batas, dan ngga akan lakuin hal di luar batas. Tapi Ibuk ngga percaya setan ngga akan goda kalian,"
Suara Maryam terdengar tegas menguasai ruangan. Suasana lengang sejenak. "Bukannya Ibuk curiga, apalagi ngga percaya sama kalian, Ibuk cuma ngga mau kalian berdua nantinya malah terjerumus ke dalam zina. Paham?"

Tidak ada jawaban dari keduanya selain anggukan pelan pertanda setuju.

"Gilbar!" panggil Maryam. Seketika kepala Gilbar tegak memandang lurus Maryam, sedang Zahira melirik lewat ekor matanya. "Sampai kamu menikah sama Zahira, Ibuk rasa kamu ngga perlu terlibat apa pun  urusan Zahira. Ibuk ngga mau kalian keluar-keluar lagi. Itu yang utama,

"Mau ramai-ramai atau cuma berdua Ibuk ngga izinin. Kalau bisa hindari juga pertemuan yang menimbulkan kecurigaan di kampus."

‘Pertemuan yang seperti apa?’ Mereka bahkan jarang ketemu di kampus. Tapi baiklah, yang diperingatkan mengiyakan.

"Gilbar juga jangan dateng ke tempat kerjanya Zahira, walaupun Ibuk tahu keluargamu deket sama Kakung Wiro. Kecuali ada acara di rumah dan kamu yang harus ambil makanannya." Imbau Maryam.

"Zahira juga. Kamu masih jadi tanggung jawab Bapak Ibuk. Itu berarti kita akan tetep minta hasil  IP kamu. Ibuk ngga mau IP kamu yang 3,0 itu turun. Kalau bisa naik. Jadi gimana caranya, kamu kurangi kegiatan kamu, termasuk kerja. Ibuk yakin Kakung bisa paham."

"Iya, Buk." Jawab Zahira pasrah. Meskipun di dalam hati, ia sangat ingin memberontak.

Suasana lengang selama tiga puluh detik. Sampai Maryam kembali buka suara.
Ia sempat berdeham sebelum memulau bicara.

"Gilbar maaf ya, Ibuk ngga bermaksud mengusir, tapi berhubung udah hampir Maghrib, kamu mending pulang." Maryam hati-hati menata kata.

Gilbar menilik arlojinya yang menunjukkan pukul 17.22.

"O..iya, kalau gitu, Gilbar pamit dulu ya, Buk." Gilbar berdiri diikuti Zahira.
Gilbar menghampiri Maryam yang duduk di seberangnya. Berpamitan kemudian balik kanan lagi dan berpapasan dengan Zahira.

"Kak." Panggil Zahira.
Kedua mata mereka bertautan, lalu kompak melirik Maryam yang juga menatap penasaran ke arah mereka.

"Nanti di pertigaan, belok kanan ke arah rumahnya kakak, di seberang jalan ada apotek, bangunan di belakangnya itu Mushola. Maghrib kan waktunya pendek, mending kakak salat aja dulu di situ. Takutnya nanti di jalan macet, malah ngga keburu atau mepet Isya." Zahira memberitahu.

Gilbar mengulas senyum, lalu menghembuskan nafas lega. Terujar kata terima kasih karena Zahira telah perhatian memberikan informasi yang sedemikian bermanfaat.

"Gilbar pamit dulu ya, Buk, Zaa. Assalamualaikum." Pamit Gilbar bergantian menatap Maryam dan Zahira. Ia kemudian melangkah keluar rumah usai Zahira dan Maryam menjawab salamnya.

Giliran Zahira sekarang yang disuruh segera masuk untuk membersihkan diri lalu salat. Sekali lagi Zahira menjalankan perintah ibunya dengan pasrah.

🚲🚲🚲

‘Kak nanti kalau udah sampai rumah kabarin Zaa.’

Begitulah pesan singkat yang Zahira kirimkan pada Gilbar melalui WhatsApp. Tapi sudah lebih dari sejam, WA Gilbar masih offline, dan menunjukkan pukul 17.30. Itu delapan menit setelah Gilbar pulang dari rumahnya.
Pesan yang ia kirim juga masih centang satu. Fix HP Gilbar mati.

Pikiran-pikiran negatif mulai menghantui Zahira. Mulai dari berpikir terjadi suatu hal  buruk pada Gilbar di jalan. Entah itu kecelakaan atau perampokan. Tapi Zahira segera bisa menepis semua pikiran negatif itu, dengan doa, Zahira harap Allah menjaga pria itu.

Akan tetapi sejujurnya ada ketakutan yang lebih besar menyelimuti hatinya. Zahira khawatir Gilbar tersinggung dengan sikap Maryam hari ini yang memperingatkannya secara tegas, bahkan mengusirnya secara halus.

🚲🚲🚲

Zahira hanya duduk berjam-jam di dalam kamar, beringsut salat, membuka WA, geser kanan nonton story, segera membuka saat ada chat masuk, berharap itu Gilbar, tapi rupanya bukan. Hingga akhirnya, setengah jam setelah salat Isya, satu pesan panjang masuk melegakan hatinya..

‘Kakak udah nyampe rumah dari tadi, Zaa .Maaf ya kakak baru balas. Habis salat. Tadi HP-nya mati.’

‘Zaa baik-baik aja?’

Zahira segera menelepon Gilbar. Ia harus memastikan Gilbar baik-baik saja setelah dari rumahnya, terutama keadaan hatinya.
Gilbar di seberang sana juga segera menjawab panggilannya.

"Assalamualaikum, Zaa." Salam Gilbar lebih dulu.

Zahira menjawab salamnya dengan tergesa-gesa. "Waalaikumsalam. Kak Gilbar baik-baik aja, kan?"

Gilbar seketika merasa bersalah. Pasti karena terlalu lama HP-nya mati Zahira jadi khawatir begini.
Tapi bukannya aneh? Zahira sudah barang tentu tahu berapa jarak tempuh rumah mereka. Kenapa harus mengabari ketika sampai rumah. Seperti dari luar kota atau negeri saja.

"Kak!" pekik Zahira menyadarkan Gilbar.

"Hmm.." jawab Gilbar terkesiap.

"Ngalamun ya?"

"Ngga, cuma lagi mikir aja, kamu ngga biasanya minta kakak kabari kalau udah sampai rumah. Kamu tahu persis berapa jarak rumah kita, kecuali kalau aku baru dari rumah kamu yang di Tulungagung, masuk akal kamu nanya itu." Ungkap Gilbar dengan santainya.

"Zaa pengin mastiin aja kak Gilbar—," belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar Zahira berderit, kemudian memunculkan sosok Maryam dari balik situ.

Maryam mendapati Zahira memandangnya kuat-kuat dengan ponsel di telinga. Tanpa harus bertanya, Maryam jelas tahu siapa yang sedang bicara dengan putrinya itu.

"Zaa, kamu udah makan?" tanya Maryam.
Zahira menjawab melalui gelengan lemas.

"Makan dulu sana!" suruh Maryam.

"Lima menit lagi ya." Tawar Zahira.
Maryam menatapnya dingin, pertanda tidak terima. Zahira tahu itu. Sekarang ia hanya ingin kembali ke telepon untuk pamit pada Gilbar, tapi rupanya Gilbar lebih dulu mengakhiri panggilan. Entahlah, apakah Gilbar yang mengakhiri panggilan atau Zahira tidak sadar telah menekan ikon pengakhir panggilan itu.

Itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang jauh lebih baik menuruti Maryam yang menyuruhnya makan malam.

mencarimu lewat ISTIKHARAH menemukanmu dalam DHUHA (SEASON1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang