Throwback🎥

2K 137 11
                                    

Fathur antara percaya dan tidak percaya saat mendengar langsung dari Gilbar telah menyatakan perasaannya pada Zahira. Kalau dipikir-pikir buat apa juga Gilbar bohong? Supaya bisa curhat dengannya?  tidak mungkin.

Fathur  menanyakan bagaimana respons Zahira.
Gilbar menjelaskan bahwa Zahira belum memberi jawaban, baik itu menolak apalagi menerima, Gilbar juga tidak mendesak Zahira untuk segera menjawab, ia hanya menyarankan agar Zahira istikharah, lagi pula Gilbar paham, Zahira tentu kaget  tiba-tiba dilamar pria yang  saat ia sedang asik menikmati masa muda dan fokus pada pendidikannya.

"Tapi yang kamu lakuin  udah yang paling bener loh, Bar. Kamu ngga desak Zahira, terutama yang kamu bilang mau nunggu Zahira sampai lulus kuliah." Puji Fathur. Tak lama kemudian pikirannya berubah. "Tapi kamu yakin mau nunggu dia sampai lulus kuliah?"

"Kalau Zahira mintanya begitu," Gilbar kembali termenung. "Itu juga kalau diterima."

Fathur memeluk pundak Gilbar untuk memberinya suntikan semangat. "Yo jangan down lagi, Mas Bro. Spesies bernama perempuan emang begitu, kaya burung dara. Jinak, sih, tapi susah ditangkap. Begitulah cinta, dia bisa pergi kemana pun, sejauh apa pun, tapi cinta selalu tau kemana harus pulang."

Gilbar mengerenyit geli. "Wong gendeng kaya kamu ternyata bisa ya ngeluarin kata-kata sebagus itu."

"Kampret!" umpat Fathur menahan tawa.
Loss... keduanya tertawa bersama.

🚲🚲🚲


Zahira kembali ke rutinitas paginya seperti dahulu,  salat duha di masjid bersama Nina, dan Maria yang setia menunggu di luar.

Sehabis salat, memakai sepatu masing-masing, Zahira dan Nina menemui Maria untuk kembali ke kelas.
Perjalanan mereka diisi dengan Zahira yang membicarakan pengajian yang ia ikuti hari minggu kemarin.

Nina sangat antusias mendengarkan, Maria yang non-muslim pun tertarik menyimak.
Keseruan itu tiba-tiba hilang, tepatnya bagi Zahira, saat berpapasan dengan Gilbar yang menuju arah masjid.

"Assalamualaikum." Salam Gilbar.

Zahira, Nina, dan Maria serentak menjawab salam dari Gilbar.
Hati Nina berdebar, malu-malu menundukkan pandangan. Zahira lebih sadis lagi, ia bukan cuma menunduk, malah memalingkan pandangan, namun jantungnya jauh lebih berdebar, harap-harap cemas. Jangan sampai Gilbar meminta jawaban sekarang di depan teman-temannya.

"Habis salat?" tunjuk Gilbar.

Nina mengangguk pelan dengan jawaban iya.
Zahira gugup, menggoyangkan kaki kanannya seperti orang yang sedang menahan buang air. Coba tanya Zahira, pasti lebih baik menahan pipis daripada salting begini.

"Kalau boleh tahu, kalian ngobrolin apa, kok seru banget kayanya?" selidik Gilbar, mencoba mencari perhatian Zahira, tapi justru dua temannya yang terus menanggapi.

"Ini, Bapak Dosen, Kaka Zaa kemarin pergi ke apa itu namanya.." Maria mengingat-ingat.

"Pengajian." Sahut Nina.

"Iya itu!" Maria setuju.

"Apa tadi, Zaa judul pengajiannya bagus banget?" Nina mengingat.

"Apa, Zaa judulnya?" Gilbar mengulang pertanyaan Nina.
Kebangetan Gilbar, sampai harus membuat Zahira mengutuknya dalam hati. Kenapa pula harus bertanya.

"Hmm..apa ya? Saking panjangnya lupa." Ujar Zahira yang masih memalingkan wajah.

"Itu Kaka..pacarin halal, atau apa tadi itu." Maria ikut mengingat-ingat.

"Eh...kayanya kalau nggak salah, Halalin pacaran sama macarin yang halal, kan? Nina.

"Versus!" Zahira membenarkan dengan malas. Malas melihat Gilbar.

"Bagus banget, siapa pengisinya?" selidik Gilbar.

"Ustadzah Halimah dari Malang." Jawab Zahira terpaksa dan masih dalam posisi wajah sama.

"Cuma dihadiri perempuan berarti ya?" ujar Gilbar. Dia masih berharap mendapat perhatian Zahira.

"Kalau boleh tahu, isi kajiannya apa ya, Zaa?" tanya Gilbar terus.

Ah Gilbar! Please deh berhenti nanya.

"Kan buat perempuan, Pak." Gumam Zahira.

"Tapi, Zaa. Isi kajiannya tentang nikah muda." Sela Nina. Ini adalah cara supaya dia punya ruang bicara dengan Gilbar. Memanfaatkan sikap cueknya Zahira. Padahal bukan begitu kenyataannya. Nina saja yang tidak tahu. “Bukannya bisa buat laki-laki juga?”

Kenapa Nina mesti bilang isi kajiannya mengenai nikah muda? Gilbar jadi berpikir Zahira mulai mempertimbangkan lamarannya. Itu yang Zahira khawatirkan, dan itu yang sedang terjadi.

Diskusi yang tidak terstruktur. Siapa yang ditanya, siapa yang jawab.

"Pengajian kaya gitu bagus, apalagi buat perempuan. Insya Allah jadi salah satu ciri Perempuan soleha." Sanjung Gilbar. Paham kan siapa yang dimaksud?

"Alhamdulillah, makasih." Balas Zahira.

"Aku juga suka ke pengajian, Zaa. Kenapa kemarin nggak ngajak aku?" sela Nina.

"Aku aja dadakan diajak Septi." Sahut Zahira.

"Lain kali aku diajak ya?" pinta Nina.

"Hmm.." Jawab Zahira.

Apa kabar Maria? Sejak tadi diam, bukan berarti ia tidak paham. Sebaliknya, Maria justru paling tertarik dengan pembicaraan mereka, terutama Zahira dan Gilbar. Maria menjadi pengamat terbaik mereka.

Ini bukan Zahira yang Maria kenal. Setahunya, Zahira adalah orang paling dermawan membicarakan seputar ilmu pengetahuan pada siapa pun, terutama hal-hal yang baru ia ketahui.

Tapi kenapa dengan Gilbar yang tiba-tiba muncul ia tampak marah? Padahal sebelumnya mereka pernah diskusi, kan?

"Nanti kalau ada pengajian lagi, saya info ya. Sekalian berangkat bareng. Mau kan?" Tawar Gilbar.

"Pasti mau, Pak!" Sahut Nina bersemangat.

"Nggak perlu, Pak. Ngerepotin." Tolak Zahira datar.
Semangat Nina down, kenapa Zahira tidak peka sama sekali.

"Oh tenang, ngga ngerepotin kok. Kan cari ilmu bareng-bareng itu bagus." Sangkal Gilbar.

"Cari ilmu, apa cari calon istri soleha?" Celetuk Zahira asal.
Nina menyikut Zahira. Itu kurang sopan, atau tidak sama sekali.

"Apa, sih, Nin!" keluh Zahira.

" Oh kalau itu saya udah ketemu, ngga perlu nyari-nyari lagi, tinggal nunggu jawaban aja." Papar Gilbar.

DEG!
Zahira salah nyeletuk. Sekilas ia melihat Gilbar tersenyum memandangnya setelah mengatakan itu.
Zahira makin salah tingkah. Gilbar menggombalinya? Tapi sukses. Zahira baper. Bukan dirinya, kan yang dimaksud?

Nina bak disambar petir mendengar itu. Jadi Gilbar sudah punya calon istri? Siapa? Dan apakah mereka akan menikah?
Siapa pun itu, Nina jelas sudah patah harapan. Ia juga tidak punya pikiran sedikit pun orang yang Gilbar maksud adalah Zahira.

Maria girang. Bertanya dalam hati, ada apa ini? Zahira, kakinya gemetar. Pipinya merah padam. Dari tadi tidak mau memandang Gilbar. Sebaliknya, Gilbar malah mesam-mesem tak karuan melirik, eh malah lurus memandang Zahira.

Satu..dua..tiga.. empat sampai tiga puluh detik tidak ada yang bicara.
Zahira kadang-kadang melirik. Dia ingin segera pergi, tapi Zahira terlalu malu untuk pergi begitu saja.

Think smart, Zaa. Ah buntu! Langit bantulah Zahira!
Masih pagi, belum terlalu silau untuk memandang langit pagi ini. Zahira sedang gugup—berpikir.

"Ngelihat apa, Zaa?" goda Gilbar.

Zahira pura-pura tidak mendengar. Gilbar tahu itu.

"Oh ya, Zaa. Gimana soal..." Gilbar Belum habis bicara, tapi Zahira sudah panik duluan.

"PESAWAT!" seru Zahira girang sambil telunjuknya tertuju ke langit.
"Mar, Nin,, pesawat, lihat, kan!" Nina dan Maria mengikuti seruan Zahira. Setidaknya benar, memang barusan ada pesawat yang lewat. Zahira lantas melambaikan tangannya ke atas. "PESAWAT MINTA UANG DONG!" seru Zahira tanpa malu. "Kamu tahu ngga, mar. Jaman kecilku dulu, kalo lihat pesawat, pasti dadah dadah sambil teriak minta duit. Duh masa kecil kurang seru kalau nggak ngerasain itu."

Zahira tidak tahu betapa gemasnya Gilbar melihatnya.
Maria semakin bingung melihat Zahira sekarang.
Nina masih berkutat dengan patah hatinya.

Zahira melirik ke arah Gilbar lagi. Sialnya ia mendapati Gilbar tersenyum padanya. Apa tidak kering itu gigi? Untung manis.

"Kenapa, Zaa? Kok ngeliatin saya?" tanya Gilbar bangga.

Zahira terkesiap. Terlebih Nina dan Maria langsung menatap tajam padanya. Ia membulatkan matanya dengan perasaan gugup yang masih bisa ia sembunyikan.

"Kamu mau..." Gilbar.

"Mau pergi iya, mau pergi. Pak Gilbar mau salat duha, kan?" tukas Zahira cepat.

"Iya." Gilbar santai.

Zahira memeluk punggung  kedua temannya. "Tuh denger! Pak Gilbar mau slaat duha, jangan kelamaan djiajak ngobrol, entar keburu zubur lho." Kata Zahira. Ia bermaksud membawa Nina dan Maria pergi, namun kedua gadis itu malah mematung, memandang heran Zahira yang berada satu langkah di depan mereka.

Zahira balik kanan, menunjuk kedua temannya. "Kalian ngga ikut? Mau diem aja di situ?" tanya Zahira gugup.
Nina dan Maria masih di posisi yang sama, memandang Zahira tanpa sepatah kata pun.

"Yakin nggak ikut? Ya udah aku pergi sendiri. Waalaikumsalam. Eh Assalamualaikum." Pamit Zahira buru-buru pergi.
Berjalan cepat tanpa kedua temannya, Zahira terus merutuki kelakuan konyolnya barusan.

Maria dan Nina saling lempar pandangan. Tatapan keduanya seakan mengisyaratkan pertanyaan; "Ada apa dengan Zahira?" Begitupun juga mengisyaratkan jawaban "Tidak tahu."

Nina sempat memandang Gilbar yang tampak memasang senyum, namun ia tidak peduli makna senyum itu. Akhirnya Nina mengajak Maria pamit sebelum sakit hatinya makin jadi.

Saat Nina dan Maria melewatinya begitu saja, Gilbar tidak memperhatikan sama sekali wajah kusut Nina, apalagi peduli alasannya. Dasar laki-laki tidak peka.

mencarimu lewat ISTIKHARAH menemukanmu dalam DHUHA (SEASON1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang