permintaan🍁

2.3K 146 49
                                    

Setelah dua jam menjenguk Mutia di rumah sakit, Zahira dan Gilbar pamit pulang. Tapi karena terlalu nyaman dengan Zahira, Mutia melarang keduanya, terutama Zahira untuk pulang. Gilbar sampai harus turun tangan, berjanji akan membawa Zahira ke rumah Lukman saat akikahan Ziyad nanti. Mutia menyerah, lalu membiarkan Zahira dan Gilbar pulang.

Zahira merasa lega sekaligus bahagia. Ia sempat takut tidak bisa diterima keluarga Lukman, karena menyadari ia tipikal orang introvert yang sulit akrab dengan orang lain, apalagi orang baru. Tapi semua berjalan dengan baik hari ini. Semua itu karena Gilbar.
Bahkan Zahira yang memberikan nama untuk Ziyad.

Keduanya tidak langsung pulang, Gilbar mengajaknya ke sebuah kedai jus. Mereka duduk di meja kosong yang baru saja selesai dibersihkan pelayan, sekaligus pelayan itulah yang mencatat pesanan keduanya.

Gilbar memesan dua jus alpukat. Dari banyaknya obrolan, mereka banyak menemukan kecocokan. Salah satunya dalam hal minuman, mereka sama-sama menyukai jus alpukat.

Pelayan yang mencatat pesanan itu pergi.
Gilbar memperhatikan Zahira yang tampak resah sejak sampai—duduk di meja mereka sekarang ini.

"Kamu kenapa, Zaa? kaya bingung gitu? Ngga senang Kakak ajak kesini?" tanya Gilbar memecah keheningan.

Zahira menggeleng cepat. "Ngga begitu. Zahira cuma kepikiran Ibuk."

"Emang Ibuk kenapa?"

"Ngga kenapa-kenapa, sih. Zaa cuma takut Ibuk marah ke kakak kalau tahu Kak Gilbar ajak Zaa kesini."

Gilbar tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Kamu tenang aja, aku udah izin Ibuk kok." 
Mata Zahira mendelik. Tangannya terlipat di meja. "Izin? Kok bisa?"

"Tinggal ngomong, Zaa." Jawab Gilbar santai.

Zahira juga tahu tinggal ngomong. Maksudnya itu, bagaimana bisa Maryam mengizinkan, Maryam sendiri yang tegas melarang.

Gilbar ber-oh pelan saat Zahira menjelaskan apa maksudnya. Ia merasa dungu sekali karena tidak memahami maksud Zahira sejak awal.

"Mungkin karena bapak sama Ibuk ada di rumah, makanya diizinin." Ungkap Gilbar.

"Jadi mereka bisa awasin gitu ya?"

"Bukan. Soalnya bapak sama Ibuk mau berduaan, jadi ngga ada yang ganggu di rumah."

"Udah hampir setahun Zaa kuliah di Jogja, kalau ngga pulang dua bulan aja, dicariin tahu!" Zahira berseru tidak terima.

Gilbar terkekeh. Mereka hampir bertengkar kalau saja pelayan tidak datang mengantar pesanan.
Zahira tetap memasang wajah cemberut. Namun Gilbar tahu itu bukan berita buruk.

Soal izin Maryam. Sebenarnya Gilbar tidak pernah meminta izin.
Sebaliknya, malah Maryam yang memintanya mengajak keluar Zahira sehari ini. Syaratnya, Zahira tidak boleh tahu. Gilbar setuju. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk memperkenalkan Zahira ke keluarga Lukman.

"Hmm, Zaa. Ada yang kakak mau omongin," Buka Gilbar. Wajahnya mendadak serius.
Zahira otomatis menyesuaikan.

"Soal kemarin aku ngga ada kabar."

Ini memang serius. Meski Zahira tak lagi mempermasalahkan, tapi ia tetap penasaran.

"Tapi kamu jangan panik, ya." Imbau Gilbar.
Zahira mengerenyit. "Panik?"

"Oke, aku ganti. Karena kamu pasti otomatis panik, sih. Tapi kamu harus yakin that everything's already okay."

Zahira memincingkan mata—makin bingung. "Apa, sih?"
Gilbar menarik nafas panjang dan mulai bercerita.

"Kemarin waktu aku keluar dari bandara, aku kena musibah, tas aku dijambret—,"

"Hah! Kok bisa?" Zahira berseru seketika. "Tapi kak Gilbar ngga apa-apa, kan?"
Gilbar sudah duga, Zahira akan sepanik ini.

"Aku baik, Zaa. Kaya yang kamu lihat sekarang." Gilbar meyakinkan. Tapi Zahira? Mana ada yang tetap tenang setelah mendengar berita semacam itu?

"Sempat dikejar, tapi ngga dapat. Apes! Karena semua barang-barang aku ada di sana. Hp, charger, sampai dompet yang isinya KTP, ATM, sampai kartu mahasiswa hilang," Gilbar berhitung dengan jari. "Untungnya cuma aku yang kena jambret. Temenku ngga, jadi ngga terlalu repot pulang,

"Kabar baiknya lagi, ngga semua ATM aku bawa, jadi aku ngga bokek untuk sekarang."

Zahira mengernyit. Membatin kesal. Di mana untung dan kabar baiknya?
Begitulah Gilbar, selalu bisa mengambil hikmah di balik musibah.

"Jadi selama ini, Kak Gilbar sering keluar rumah pulang sore, karena harus urus itu semua?"

Gilbar mengangguk tegas sambil tersenyum memuji.

"Aku bolak-balik ke kantor Polisi, BANK, GRAPARI, sama rumah sakit," wajah Gilbar berubah seolah sedang berpikir. "Harusnya aku dapat payung cantik, ya?"

Zahira hampir tertawa, sebelum ia menyadari bahwa ini merupakan taktik Gilbar untuk mengurangi  paniknya. Setidaknya untuk saat ini,  hal itu cukup berhasil.

"Terus gimana, udah selesai semua?" selidik Zahira.

Gilbar menggeleng sambil tersenyum simpul. "Sejauh ini masih on process. Satu-satunya yang udah klir cuma HP. Aku beli HP baru dan daftarin nomor aku yang lama. Karena  ngga mungkin banget ganti nomor, ribet harus sebar nomor terus ditanya ini itu,"

Zahira paham. Pastilah Gilbar lebih memprioritaskan mengurus kartu-kartu penting yang hilang, baru mengurus masalah HP,  makanya berhari-hari tidak ada kabar. Zahira tidak bisa membayangkan  bagaimana kagetnya Gilbar saat mendapati chat cengeng darinya.

"Bapak sama Ibuknya, Kakak tahu?" tanya Zahira.

Gilbar menggeleng. " Ngga. Aku cuma kasih tahu kamu."

Mendengar pengakuan Gilbar barusan, Zahira terkejut. Bagaimana bisa keluarganya tidak tahu?

Zahira segera mendapat jawaban, Gilbar sendiri sengaja tidak memberitahu keluarganya karena tidak ingin merusak kebahagiaan mereka atas lahirnya Ziyad.

Zahira kagum mengetahui fakta Gilbar begitu mencintai keluarganya. Sehingga ketika ia punya masalah, ia memilih memendam dan menyelesaikannya sendiri.

Zahira turut menyesal. Selain karena tidak mampu membantu banyak, dirinya juga sempat berpikir macam-macam kemarin saat Gilbar hilang kabar.

"Maaf ya, Kak." Hatur Zahira penuh sesal.

"Kenapa kamu minta maaf? Kan bukan kamu yang curi barang-barang aku," heran Gilbar.
"Satu-satunya yang kamu ambil dari aku tuh cuma hatiku, Zaa. Makanya aku penjarain kamu di hatiku juga."

Zahira terkekeh pelan, kemudian menyedot jus alpukat-nya. Meski paham betul Gilbar gombal, tapi masih saja bisa kena.
Seperti yang sudah-sudah, Gilbar selalu bisa membuat pipinya merah.

"Kak," panggil Zahira. Gilbar memperhatikan. "Sama Zaa aja."
Gilbar mengulas senyum. Menunggu apa pun yang akan Zahira sampaikan pastilah menarik.

"Apanya?"

"Sama Zaa aja jadi Gilbar yang gombal, perhatian, dan hangat. Jangan sama perempuan lain. Boleh sama Ibuk, tapi kalau sama perempuan lain, harus jadi Pak Gilbar yang cuek dan susah disentuh hatinya." Pinta Zahira.

Gilbar lagi-lagi mengulas senyum. "Itu emang aku, Zaa. Cuma kamu yang bisa runah aku sampai kaya gini," terang Gilbar. "Oke, permintaan dikabulkan. Sekarang gantian aku. Boleh aku minta sesuatu?"

"Minta apa?"

"Boleh ngga mulai sekarang kamu berhenti kerja?" pinta Gilbar dengan sangat hati-hati. Ia tidak mau Zahira tersinggung.
Zahira tidak tersinggung. Ia hanya kaget mendengar permintaan Gilbar barusan.

"Aku tahu, aku emang belum ada hak atas kamu. Anggap aja ini permintaan dari seorang Kakak ke adeknya, temen, atau dosen ke mahasiswa kesayangannya," Gilbar sebisa mungkin menata kata supaya Zahira tidak tersinggung.

"Karena aku tahu banget seberapa banyak kegiatan kamu. Tapi aku salut, semua bermanfaat dan baik. Dan aku juga tahu, semua kegiatan itu kamu manage dengan baik juga,
“Tapi tetep aja, semua itu cepat atau lambat bakal berpengaruh ke kesehatan kamu, ujung-ujungnya, kuliah kamu juga yang terganggu. Aku ngga mau itu."

Zahira membuang nafas pelan. Meresapi kata-kata Gilbar yang ada benarnya. Akhir-akhir ini ia merasakan sendiri kelelahan yang lebih dari sebelum-sebelumnya. Ia juga sudah sangat jarang membantu mengajar di Mushola. Selain karena kesibukan kuliah, juga karena ia kini tinggal di rumahnya yang jauh dari Mushola.

"Ngga apa-apa kamu aktif jadi  jurnalis kampus. Baik buat sosialisasi dan holistik kamu. Juga ngajar ngaji, malah jadi ilmu yang bermanfaat. Tapi kerja, kamu cuma mau nunjukin kalau kamu bisa survive tanpa banyak bergantung sama orang tua. Cukup ya. Plis berhenti bikin aku kagum sama kamu,"

Zahira menaikkan sebelah alisnya, kemudian tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. Gilbar selalu punya cara unik untuk memuji dan membuatnya malu-malu.
Gilbar tersenyum senang. Joke-nya berhasil membuat suasana kembali tenang.
Zahira rupanya tidak marah. Tapi Gilbar masih menunggu Zahira bersuara. Sejak tadi gadis di depannya ini hanya memasang wajah datar, kadang juga tersenyum dan memicingkan mata. Tapi bukan Gilbar namanya kalau menyerah sekarang.

"Atau gini, anggap aja kamu jadi pengangguran volenter buat kasih kesempatan teman-teman mahasiswa lain yang mungkin jauh lebih butuh kerjaan," saran Gilbar.

Bagi Zahira, yang barusan itu adalah saran terbaik yang pernah ia dengar. Dan entah kenapa, kali ini Zahira diam, enggan mengeluarkan sikap keras kepalanya seperti biasa. Dasar Zahira bucin!

"Atau kamu perlu istikharah dulu?" tawar Gilbar.

"Iya." Jawab Zahira menggantung.

"Butuh istikharah?" Gilbar memastikan.

"Iya  Zaa berhenti kerja mulai sekarang." Zahira memperjelas.

Gilbar mendelik. Semudah ini? Pikirnya. Tidak mudah, sih, hanya saja Zahira takzim tanpa mengeluarkan argumen penolakan sedikit pun.

"Benaran?" Gilbar memastikan sekali.
Zahira mengangguk dengan yakin.

"Ngga terpaksa, kan?" Gilbar memastikan sekali lagi.
Respons Zahira sama—mengangguk. Meski tanpa Gilbar tanya, ia jelas tahu ini terpaksa. Tidak masalah, demi kebaikan juga.

"Alhamdulillah," ucap Gilbar. "Nah ini baru namanya calon istri solehah." Gilbar memuji.

"Amiinn." Balas Zahira. Keduanya saling lempar senyum.

CALON ISTRI. Ya. Zahira menuruti permintaan Gilbar sebagai calon istri, karena, mulai hari ini ia berjanji akan menekan sikap keras kepalanya. Walaupun terkadang sikap itu bisa jadi menunjukkan kecerdasan, tetap saja, tidak ada laki-laki yang mau punya istri keras kepala.

"O iya, penelitiannya Kak Gilbar gimana? Lancar, kan?" tanya Zahira. Mencomot topik lain agar obrolan kembali ke tensi yang normal. Namun, masalah baru justru timbul dari pertanyaannya barusan.

"Belum. Aku masih harus berangkat  lagi ke Kalimantan." Jawab Gilbar.

"Berangkat lagi?" seru Zahira. "Kali ini seriusan mau pindahin tugu Monas ke sana?" Zahira bertanya kaget.

"Bukan cuma tugu Monas, Zaa. Tugu Jogja, tugu pahlawan sampai tugu Kartonyono juga mau aku pindahin ke sana," jawab Gilbar tak kalah sinis.

"Kak serius!" desak Zahira.

"Sstt.." Gilbar menaruh telunjuknya di bibir, meminta Zahira mengecilkan suaranya agar mereka tidak dikira bertengkar oleh pengunjung yang lain.

"Lagian kamu lucu, dari kemarin tiap denger nama Kalimantan yang dibahas pemindahan ibu kota aja." Gerutu Gilbar.

"Kenapa kemarin ngga sekalian aja diselesaiin?" protes Zahira. Masih ngotot tapi dengan nada lebih rendah.

"Keponakan pertamaku lahir, Zaa. Aku pulang karena ngga mau ketinggalan momen bersejarah ini sama keluarga." Jelas Gilbar

Andai suasananya lebih baik, Zahira harusnya kagum pada Gilbar dengan sifat family man-nya.

Gilbar paham. Zahira tentu mengkhawatirkan masalah komunikasi mereka nanti. Bagaimanapun, komunikasi perlu bagi dua orang yang sedang berjauhan. Sekalipun tahu pasti keberadaannya, tetap saja, kan, rindu.

"Kenapa? Kamu takut kangen?" goda Gilbar.

"Iyalah!" jawab Zahira ketus.

Zahira memang beda. Padahal Gilbar mengharapkan Zahira gengsi, bilang tidak akan rindu. Karena menurut Fathur, perempuan jika sedang ngambek gengsinya akan naik sepuluh kali lipat. Tapi Zahira malah mengaku.

"Zaa, kamu tahu media komunikasi paling canggih sepanjang masa itu apa?" tanya Gilbar.

"Apa?" sahut Zahira datar.

"Doa," jawab Gilbar. "Doa tuh canggih, Zaa. Kamu bisikin di bumi, tembusnya ke langit. Kerennya lagi, doa ngga perlu jaringan, kuota, pulsa, jadi bener-bener free,

"Kamu juga ngga perlu bikin password supaya doa kamu ngga dia, karena doa hanya antara kamu dan Allah,

"Dan yang paling keren dari berdoa adalah, Allah suka. Allah menyukai orang-orang yang berdoa padanya penuh keyakinan dan kesabaran. Karena, doa adalah bentuk pengabdian, di mana seorang hamba selalu ingat pada tuhannya,

"Kalau Zaa kangen sama kakak, Zaa berdoa aja buat kakak, kaya kakak yang selalu berdoa buat kamu. Karena doa orang yang saling mengasihi itu ngga kalah mustajab dengan doa orang yang terzalimi.”

Zahira terdiam. Ini mengharukan sekaligus menyebalkan baginya.

"Kakak tahu ngga? Jus buah itu ngga boleh diminum lebih dari dua puluh menit." kata Zahira.

"Kenapa?" sahut Gilbar. Tidak nyambung pembahasan, pikirnya.

"Karena lima belas menit pertama itu proses fermentasi, selebihnya proses pembusukan. Karena udah setengah jam kita di sini,  itu berarti jusnya udah busuk, ngga boleh diminum. Ayo pulang!" tanpa aba-aba apalagi izin, Zahira beranjak pergi.

Gilbar menilik dua gelas jus di depannya. Apanya yang mau diminum? Bukannya sudah habis sejak tadi?
Ah Zahira! Gadis itu, tingkahnya selalu saja menggemaskan.

Zahira tidak peduli seberapa merah pipinya, dan salah tingkahnya ia. Gilbar sudah keterlaluan membuatnya terbawa perasaan. Lihat saja, Zahira tidak akan mengajaknya bicara selama di jalan.

mencarimu lewat ISTIKHARAH menemukanmu dalam DHUHA (SEASON1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang