Part 3

8.5K 231 7
                                    


Ainun si muka kacamata itu, berjalan melewati lorong-lorong jalan untuk menuju kamar kos yang ia sewa. Ia kembali dari toko pukul 9 malam, jarak antara toko dengan kamar kosnya hanya 300 meter. Langkah kakinya yang begitu tenang berbanding terbalik, dengan pikirannya akan uang yang ia miliki.

Pikirannya terus berputar, seratus rupiah hingga ratusan ribu rupiah, ia terus menghitung pendapatannya. Setidaknya Ainun harus bertahan hidup, sampai ia lulus dan mendapat gelar yang orang tuanya harapkan. Biaya kos-kosan, biaya makan, dan biaya kuliah yang terkadang harus ia tambahkan dari hasil tabungan ke dua orang tuanya.

15 ribu ditambah 28 ribu, uuuh masih kurang gumamnya. Tabungannya kini baru berjumlah 385 ribu rupiah. Ainun sampai di kamar kosnya, kos-kosan berlantai dua yang berada di lorong jalan sekitar Pramuka Rawamangun. Dengan kamar yang begitu sempit hanya berukuran 2 kali 3 meter, setiap kamar hanya dibatasi pembatas kayu, ada sebuah kasur lipat dan lemari bahan milik ibu kos.

"Ainun ... kamu sudah beberes?"

"Beberes?" tanyanya heran, pada salah satu teman kosnya bernama Miftah.

"Iya, memangnya kamu belum dengar?"

"Belum, kenapa?"

"Rumah ini sudah dijual oleh Bu septi, Suaminya terlibat hutang dengan rentenir. Kita diminta pindah besok."

Degg, ya Allah cobaan apa lagi ini! bisik Ainun dalam hati. Padahal Bu septi adalah ibu kos terbaik yang pernah ia temui, bahkan Ainun masih berhutang padanya, untuk biaya sewa bulan lalu.

Ainun masuk ke dalam kamar. Ia duduk diam di sudut kamar. Ainun berfikir keras, kemana besok ia akan mencari tempat, sedangkan uang 385 ribu sudah pasti akan ia berikan ke Bu septi untuk meringankan bebannya. Bu septi adalah orang baik, ia sangat memahami kondisi keuangan Ainun yang tak menentu, bahkan Ibu itu pun tak sungkan jika ia meminjam dapurnya untuk membuat keripik.

Kacamatanya Ainun lepas, kedua jarinya ia apitkan ke hidung, Ainun resah, ia bingung. Harus kemana lagi ia mencari tempat kos, senyaman di tempat Bu Septi.

Ainun memakai lagi kaca matanya, ia mengambil Mushaf yang ia selalu bawa di tasnya. Ainun bermunajat, surat Yasin ia baca. Surat Yasin ia baca, karena menurut hadistnya surat yasin adalah doa untuk memohon pada Allah atas sebuah kepasrahan, saat ia lapar akan diberi makanan, saat ia dingin akan diberikan pakain, saat ia miskin akan diberi kaya,dan saat ia sakit akan diberi putusan yang baik.

"Shadaqallahul Adzim," (Maha benar Allah Yang Maha Agung) ucapnya terakhir seraya mencium mushaf bersampul hitam yang ada digenggamannya .

Duuh, lapar! gumamnya dalam hati, suara perut sampai terdengar di telinganya, stok mi instantnya tinggal 1 buah, Ainun bergegas memasak mie instant dengan mini magiccom bekas, pemberian sahabatnya dulu. Ainun makan dengan lahap, tak lama air matanya menetes, ia hampir lemah, meratapi nasibnya. Setelahnya ainun merapikan barang bawaannya. Buku-buku dan beberapa helai pakaian. Ainun menangis, hanya Allah kini yang bisa membantunya besok.

"Tok ... tok" ... "Nun!" suara Bu Septi, wanita itu kini berada di depan pintu kamarnya.

"Bu ... maaf, agak lama."

"Tidak apa-apa Nun, kamu pasti kelelahan."

"Bu, maaf Ainun baru dengar dari Miftah barusan."

"Ibu yang minta maaf, Nun. Ibu sudah tidak bisa membantumu lagi, hutang suami ibu sudah menumpuk, apa lagi saat ini suami ibu sakit-sakitan. Ibu tidak mau, hutang membebani hidupnya, Ibu terpaksa menjual rumah ini. Kamu sudah dapat tempat belum?"

"Belum, bu. Tapi insyaAllah besok Nun pasti dapat. Oh ya bu sebentar."

"Ini uang 300 ribu bu, untuk biaya sewa bulan lalu, besok InsyaAllah Ainun lunasi untuk sewa bulan ini."

Comblang Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang