Part 22

10K 641 92
                                    


Sepanjang perjalanan Radit terus menempel di tubuh Ainun, begitu besar penyesalan atas apa yang Ainun putuskan. Mendadak hati terasa perih, tersayat, memikirkan perasaannya akan Bimo perlahan terbang. Ainun menangis, hatinya pun sakit ia tak tahu berapa lama ia bisa bertahan menahan perihnya hati membuat sebuah keputusan hanya demi memikirkan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Lelaki bernama Raiyan terus fokus menyetir tiada rasa iba di wajahnya, ia hanya fokus menjalani hidup dan membahagiakan anak-anaknya.  Deras air mata mengalir, namun Raiyan tak terenyuh.

“Nun!” sapa Marni kaget saat melihat Ainun kembali ke kediaman Raiyan.

“Mbok … antar Ainun kekamarnya!” ucap  Raiyan seraya naik lantai atas tanpa menoleh ke arah Ainun dan Radit.

Ainun diam, ia mengantar Radit ke kamar. Rania gadis kecil sudah terlelap, Ainun usap lembut peluh di wajah dan kepala mereka. Ainun ciumi wajah mereka. “Kakak disini sayang ….”

“Nun … sejak kamu pergi, Tuan jadi pemarah lagi. Radit selalu kena sasaran amarahnya. Nun, kasihanilah Radit, menikah saja dengan Tuan.”

Ainun diam, kelopak mata Radit sama besar dengan kelopak matanya, gelap dan hitam entah sudah berapa lama putra Raiyan ini menangis atau bahkan tak tidur.

Ainun diam, ia pun pasrah atas kehendak Allah. Allah yang menggiring hati Ainun, entah kemana Allah akan sandarkan dirinya. Ainun yakin, Bimo adalah lekaki yang kuat, ia pasti mampu menjalani hidup tanpa Ainun. Ainun turun,  semua pintu tertutup rapat tiada satupun orang yang bisa mengantarkannya untuk kembali pulang. Raiyan seperti tak mengizinkannya untuk kembali pulang. Ainun beranjak menuju kamarnya di belakang.

“Nun … bukan disitu,” ucap Marni membuat Ainun semakin heran.

Marni membawa Ainun menuju kamar tamu di lantai bawah bersebelahan dengan ruang keluarga, sebuah kamar yang tak pernah Ainun tahu.

“Kenapa kesini, Mbok?” lirih Ainun.

“Tuan sudah minta sama si Mbok, untuk merapikan kamar ini. Masuk Nun!”

Ainun edarkan pandangan, sebuah kamar yang lima kali lebih besar dari kamar dia sebelumnya, ranjang ala Itali berada persis di tengah ruangan dua buah nakas dengan vas bunga diatasnya menghiasi isi ruang, setiap dinding dipenuhi dengan hiasan wallpaper bunga berwarna merah, TV LED, lemari pakaian penuh dengan pakaian dan gaun peninggalan Malika dan sebuah kamar mandi di dalam.

“Istirahat ya, Nun,” ucap Marni seraya meninggalkan Ainun.

Pelan Ainun melangkah menuju ranjang, ia duduk di bawah dan bersandar pada ranjang, kedua lutut bertemu dengan dada, Ainun menangis. Ia membayangkan betapa kecewanya Bimo dengan keputusannya. Hati pun sakit, memikirkan Bimo namun lebih sakit saat melihat Radit menagisi kepergiannya.   
Dering ponsel terdengar, Ainun diam ia tak sanggup mengangkat panggilan telepon dari Bimo. Ia hanya terpaku memandangi layar ponsel dan menangis. “Maafkan Ainun, Kak …”

Setelah beberapa menit Ainun mengangkat teleponnya, tak ada suara hanya embusan napas Bimo dari ujung telepon, hal sama yang Ainun lakukan Ainun menangis, tak sanggup ia berkata hati begitu berat, Ainun mulai menyadari betapa dirinya mencintai Bimo.  Ainun biarkan telepon itu terangkat tanpa suara hanya embusan napas dan suara hati yang terdengar. Bimo diam begitu pun dirinya, hanya hampa dan perasaan sakit terasa.

“Maafkan ainun Kak … maaf, Ainun sayang Kakak. Tapi maaf Ainun memang bodoh, Ainun tak tahu mana yang benar atau salah untuk Ainun. Sungguh dalam hati Ainun, Ainun sayang Kakak,” gumam Ainun.

Pelan suara tangisan Ainun semakin kencang, isak tangis berubah menjadi suara. Buru-buru Ainun menutup teleponnya, ia menangis. Ia tak sanggup mendengar embusan napas Bimo yang semakin melemah dan berubah menjadi isak tangis. Ainun hanya bisa berharap, Bimo tak goyah. Entah hati ini ingin rasa berlari dan merengkuh sang pemilik, namun tak bisa. Jawaban Istikhoroh Ainun membawa Ainun kepada Raiyan, lelaki yang tak pernah hadir di hati. Hanya karena seorang anak lelaki bernama Radit.

Comblang Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang