Part 21

8.8K 604 151
                                    


____
Hari ini adalah hari terakhir Bimo menjadi Sales kosmetik, sejak Ainun membantunya lelaki yang tak tahu banyak ilmu dagang ini menjadi lebih bersemangat, Bimo tak malu untuk masuk ke dalam salon dan menawarkan beberapa produk perusahaannya. Ia pun semakin bergairah untuk membuktikkan pada Sastro bahwa la sanggup dan telah berubah.

Terik mentari begitu terasa menyinari tubuh Bimo, peluh menetes di setiap langkah. Lelaki itu berusaha mengikis malu demi sebuah harapan. Anak lelaki Sastro Dharaya itu sudah berubah dan semakin dewasa, ia belajar bagaimana bertahan dengan uang seadanya. Ia juga belajar bagaimana cara menjaga waktu salat. Belajar bagaimana menyikapi tatapan sinis orang-orang yang memandang rendah akan pekerjannya.

Bimo duduk diam, di bawah atap masjid tengah kota. Seusai Salat dzuhur ia rebahkan tubuhnya, letih begitu terasa setelah seharian berjalan menawarkan barang. Ia ambil ponsel di genggaman, suara Ainun mendadak melipir di telinga hingga ke hati. Rindu akan cerianya membuat perutnya terasa lapar. Saat lapar yang ia ingat hanya gadis berkacamata yang kini bertengger di hati. Ainun Safa, wanita unik yang senantiasa mengisi ruang hatinya yang sepi.

“Assalamualaikum, Nun ….”

“Waalaikumsalam!”

“Nun … kamu sudah makan?”

“Sudah Kak,” jawab Ainun datar.

“Nun …”

“Hmm, Oh ya … Kak sudah dulu ya. Ainun ada kelas.”

“Tunggu Nun,” sergah Bimo.

“Nun … hari ini aku bekerja sendiri, aku bisa menjual semua barang dagangan aku.”

“Selamat Kak! Sudah ya Kak,” jawab Ainun seraya menutup teleponnya. Ainun bukanlah wanita yang mudah mengumbar kata-kata manja seperti gadis kebanyakan. Ia begitu menjaga diri dari serangan desiran hati.

“Aku cuma mau bilang kangen Nun …,” gumam Bimo.

“Bimo Dharaya!” sapa seorang lelaki bertubuh tegap menghampirinya. Lelaki yang tak lain adalah suruhan orang tuanya.

“Ya Saya …,” jawabnya.

“Ikut kami!”

Bimo ikuti kemana lelaki itu akan membawanya, kini ia tiba di perusahaan milik Ayahnya, anak muda itu duduk seraya memeluk tas kerjanya. Ia tahu benar bagaimana kekecewaan Sastro. Lelaki itu pasti akan membuat sebuah aturan baru untuknya. Bimo hanya bisa bersiap dan menunggu perintah darinya.

Tak lama lelaki itu masuk ke ruangan, lelaki paruh baya, sebagian rambutnya sudah bewarna putih namun tubuhnya masih tegap dan terlihat kuat. Sorot matanya tajam tak berbeda dengannya.

“Bagaimana pekerjaan kamu?” tanyanya seraya mengambil secangkir kopi di atas meja kerjanya.

“Baik …,” jawab Bimo ragu.

“Papah dengar kamu sudah behasil menjual semua produk kemarin!”

“Ya!”

“Bagaimana bisa? Bantuan teman? Atau pinjam uang dari teman?”

Bimo geram, Ayahnya tak pernah mempercayainya.

“Saya berjualan di pasar dan berkeliling salon!” jawab Bimo seraya mendongakkan kepala.

“Oh ya … lalu apa yang kamu temukan di lapangan?”

“Produk ini kalah saing dengan produk lain, Iklan yang di berikan juga kurang sehingga banyak yang tak tahu produk ini!”

“Oh ya … lalu kenapa bisa laku?”

“Karena saya menawarkan potongan harga dan jaminan!”

Comblang Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang