Part 6

8.5K 419 18
                                    

Bimo langkahkan kakinya mengikuti Ainun, wanita itu terlihat mencoba untuk kuat. Ainun berjalan menundukkan kepala, sesekali ia menendang kerikil yang menghalangi jalannya. Jakarta sudah nampak sepi, hanya satu dua kendaraan saja yang melintas di hadapan, mereka menyusuri beberapa rumah yang rata-rata memiliki dua lantai bahkan tiga lantai, wilayah ini adalah pusatnya kos-kosan mahasiswa. Hampir semua rumah berlomba-lomba meninggikan rumahnya, untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Bimo terus memperhatikan langkah Ainun, wanita itu terlihat limbung. Pelan, Ainun berhenti ia diam, lalu duduk ia sandarkan kepalanya pada koper yang ia bawa. Hati Bimo semakin terenyuh, ingin rasanya memeluk gadis mungil itu, membiarkannya menangis di pundaknya. Bimo diam, ia terus memperhatikan Ainun. Bimo tahu, Ainun akan marah jika ia menghampiri.

‘Satu … dua, bangkit!’ gumam Bimo. Laki-laki ini mulai resah melihat keadaannya.

Ainun bangkit, ia kembali melangkah, Ainun limbung, tubuhnya seperti tak seimbang. Tak tahan, laki-laki itu akhirnya berlari mendekatinya.

“Sini!” ucap Bimo seraya merampas koper dari tangannya.

Ainun limbung, tubuhnya bergemetar, wajahnya pucat dan berkeringat.

“Nun!”

Ainun oleng.

“Nun!” Bimo spontan menangkap tubuhnya yang oleng dan hampir terjatuh ke aspal.

“AHH!” teriak Ainun seraya menghempaskan tubuh Bimo, Ainun tak suka dengan apa yang baru saja menimpanya.

“Jangan mentang-mentang saya susah, kakak bisa berbuat seenaknya saja dengan saya! Hijab saya ini bukan pajangan! Ainun akan ganti uang kakak secepatnya!" rutuk Ainun sesaat setelah Pampodeur merangkulnya. Mata Ainun memerah, nafasnya tersengal-sengal, Ainun nampak lemah seperti orang kelaparan. Sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin, dan matanya …

‘Ainun akhirnya kamu berani menangis di depanku’ bisik Bimo.

“Nun! saya tidak akan menyentuhmu, jika saja tubuhmu ini tidak oleng!” rutuk Bimo jengkel.

“Sini!” rampas Ainun. Ainun, perasaannya sedang berapi-api. Emosinya tak terkontrol, wanita itu memiliki harga diri yang tinggi, ia tak ingin siapapun meremehkannya. Permasalahan yang begitu banyak menimpanya, tak mampu mengeluarkan keceriaan yang selalu hadir di wajahnya. Malam ini, Ainun kalah, ia kalah dengan emosi yang mencengkram hati juga pikirannya.

Bimo begitu terkejut melihat keteguhannya, wanita di hadapannya begitu menjaga diri akan sentuhan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ainun terus melangkah menuju rumahnya yang jaraknya hanya tinggal 100 meter di depan. Bimo mengikutinya dari belakang, tak lama ia sudah tiba. Pelan Bimo mendekat, ia bukakan pintu untuknya.

“Assalamualaikum!” ucap Ainun lemah, buru-buru wanita itu menuju kamar belakang. Tak lama ia berhenti, ia diam di depan kamar.

“Terimakasih, Kak,” ucapnya pelan.

Bimo diam, ia menarik nafas lega. Tak lama ia pun masuk ke dalam kamarnya. Hari ini adalah hari pertamanya jadian dengan Syahira, sudah seharusnya hanya Syahira yang ada dipikirannya. Tapi lagi-lagi si Kacamata Ainun memenuhi isi otak juga hatinya. Bimo terenyuh, ia merasa iba dengan Ainun.

‘Nun, kamu sudah makan belum? sejak kapan kamu tidak makan? kenapa wajahmu berubah menjadi biru seperti itu?’ gumam Bimo. Laki-laki itu termenung, ia rebahkan tubuhnya di atas kasur dan menghadap ke langit-langit.

"Ahhhh" rintih Ainun. Wanita itu menahan sakit pada perutnya. Air mata terus menetes, mendadak nyeri di perutnya semakin terasa. "Ambuuu!" rintihnya kembali. Ainun tak sanggup, nyeri di perutnya semakin hebat.

Comblang Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang