Part 4

8.8K 383 12
                                    

Plak! delapan … Plak! Sembilan, gumam Ainun seraya menepuk nyamuk yang terus menganggu tidurnya. Ya Allah bagaimana aku bisa tidur. keluh Ainun. Wanita itu kini bersandar di balik meja kasir beralaskan kardus buku yang ia bentangkan. Ia hanya bisa duduk, rasa takut juga resah menguasai pikirannya. 

Ainun terjaga hingga tengah malam. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut toko buku, langit-langit yang sudah berjamur, lantai keramik putih yang warnanya sudah sedikit coklat, rak-rak  buku yang sudah hampir lapuk membuatnya berfikir, sebenarnya Pak Madi pun mungkin juga sedang kesulitan uang, toko bukunya selalu mengalami penyusutan. Ainun iba, tak seharusnya ia meminjam uang padanya, bisa berteduh di ruangan ini saja Ainun sudah sangat bersyukur.

Ainun menangis, ia melipat kedua tangan, dan wajahnya berpangku diatasnya. Ainun tak kuasa menahan sulitnya hidup di Jakarta, ingin rasanya ia menyerah, kembali pulang tanpa membawa ijazah, atau apapun. Namun perjuangannya sudah sampai tengah jalan. Ia harus bertahan hingga semua ini berakhir.

Ainun terlelap, udara malam yang masuk melalui sela-sela rolling door akhirnya menghantarkannya untuk tidur. Malaikat-malaikat mungkin iba dengannya, wanita itu terlelap tanpa satupun serangga yang mendekati, udara malam mendadak menjadi temannya, ia begitu pulas hingga ia merasa sedang terlelap di kamar kos-kosannya yang baru, atau terlelap di ranjang milik Kakak Pampodeur.

Sementara jauh darinya, Bimo terus memikirkannya. Dalam hidupnya ia belum pernah berjumpa dengan wanita setegar Ainun, semangatnya, cerianya, membuat hatinya terenyuh. Sedang apa kau, Nun! gumamnya dalam hati. Bimo merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia melihat ke langit-langit, membayangkan langit-langit toko yang sudah hampir roboh karena lapuk. Semoga hari ini tidak hujan! gumamnya lagi. Laki-laki itu menutup wajahnya dengan bantal, dan mencoba untuk tidak memikirkan wanita yang ia bayar untuk menjodohkannya dengan wanita impiannya.

Syahira, wanita yang ia sukai dua bulan terakhir ini. Bimo begitu tertarik dengannya, kecantikkannya, hijabnya yang rapih meskipun tak serapih Ainun, cara ia berbicara dan banyak lagi. Laki-laki itu menaruh hati dan merasa minder dengannya. Bimo adalah anak fakultas seni, yang asik dengan dunianya. Laki-laki itu bahkan tak bisa membaca quran, ia pun tak pernah sholat seperti yang di ketahui Ainun. Beberapa hari ini ia terus mencari perhatian Syahira, bahkan tak segan berpura-pura menjadi imam sholat saat mereka rapat organisasi bersama hanya waktu Dzuhur dan Ashar, pemuda itu berani menampakkan diri.

Ainun adalah kutu baginya, sangat menganggu, Ainun tahu bahwa Bimo tak bisa sholat, ia khawatir kutu itu akan meracuni pikiran Syahira, namun kini kutu itu semakin membuatnya resah. Harusnya sudah ia buang jauh-jauh, dan kini kutu itu menjalar ke pikirannya.
______
Gemuruh kendaraan terdengar jelas di telinga Ainun. Buru-buru Ainun bangkit dan melihat jam di telepon genggam miliknya. 4.30 pagi, pada jam itu semua warga Jakarta sudah bangun untuk berebut lenggangnya kota Jakarta, semakin pagi mereka berangkat kerja semakin lenggang pula jalanan yang akan mereka dapatkan.

OK Ainun, berhenti bersedih! Semangat Ainun! teriak wanita yang kini berusia 20 tahun itu.  Ainun bergegas mandi lalu sholat. Wanita itu lalu membuka toko buku miliknya, ia tinggalkan semua barang-barangnya di toko dan berlari kecil menuju warung Bu Ecih.

Ooh Garlic, Im Coming!!! teriaknya seraya berlari. Ainun tak rapuh, ia bukan wanita ringkih yang mudah menangis, semua kesedihan ia simpan di hati, ia akan menangis jika tiada satupun tahu akan kesulitannya. Baginya dikasihani lebih menyedihkan dari pada berjuang.

“Assalamualaikum, Bu ecih!”

“Nun! kamu kemana aja?”

“Pindah Bu.”

“Ibu banyak pesanan, Nun. 20 kg sanggup nggak?”

20 kg? kemarin 10 kg jari-jari panas dan terkelupas, gumamnya dalam hati.

Comblang Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang