Part 14

8K 517 27
                                    


Bimo kembali ke rumah yang ia sewa. Setidaknya masih ada waktu dua minggu untuk ia tinggal dari biaya sewa yang sudah ia berikan. Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit. Tak lama bulir bening menetes di pelipis.

Bimo sesak memikirkan keputusan Sastro. Ia merasa dibuang, diacuhkan. Namun lebih baik begitu, jika ini yang bisa membuat Ayahnya senang dan melupakan kesalahan Bimo dulu, dengan tenang Bimo bisa menerima.

Bimo adalah penyebab adik bungsunya meninggal dunia, 5 tahun lalu. Satu minggu setelah ia bebas dari penjara. Bimo mengantar Sasya adik perempuan yang terkecil untuk teraphy. Sasya adalah anak berkebutuhan khusus, ia tak bisa berbicara lancar, pupil di mata pun tak karuan. Jika melihat dan mengingatnya Bimo selalu berderai air mata.

Diantara saudara perempuan lainnya. Sasya adalah adik yang teramat menyayanginya, ia selalu senang di peluk dan bermain dengan Bimo. Sasya tidak sekolah, seumur hidupnya hanya ia habiskan untuk teraphy. Hingga suatu hari, Motor yang dikendarai Bimo juga Sasya terlempar. Motor Bimo terhantam keras dengan sebuah mobil berkecepatan tinggi, tubuh Sasya terbentur keras di atas aspal, dan Bimo hanya bisa melihat tubuh adiknya bersimbah darah, tubuh dia pun kaku tak berdaya. Berulang kali ia memanggil-manggil nama adiknya namun Sasya tak bersuara, adik kecilnya tak bernapas.

Bimo rapuh ia kacau dan tak sadarkan diri.
Di kamar kosnya Bimo tersadar, ia mengingat Sasya dan menangis sesegukan. “Maafkan Kakak Sya!”

Ia kembali termenung, Selama satu bulan dulu ia diopname karena kondisi tubuh juga trauma berat yang Bimo alami. Bimo begitu terguncang mendegar kematian Sasya. Selama satu bulan di Opname selama itu pula, Sastro tak pernah melihatnya. Sastro begitu kecewa dengan Bimo.

Sastro mengira Bimo tak bisa menjaga Sasya dengan baik, Sastro mengira Bimo kembali ke arena balap dan bertingkah di jalan.

Bimo menangis, ia menyesali perbuatannya. Seandainya saja ia lebih berhati-hati. Seandainya saja ia lebih memikirkan keselamatan adiknya, tentu hal itu tak akan terjadi.

Sedangkan Ainun terus berusaha tersenyum menjaga Radit. Wanita itu tetap ingin terlihat tegar meskipun hati perih memikirkan nasib Bimo juga dirinya yang diambang DO. Ainun selalu berkeyakinan bahwa Allah mengikuti setiap pikiran hamba-hambanya. Ainun berkhusnudzon akan ada pertolongan untuknya.

Radit yang terus setia dengan mainan barunya, terus sibuk memanggil-manggil nama Inoon. Anak itu begitu lucu, hingga membuat kesedihan Ainun berkurang. Ainun bernyanyi, Ainun menghibur Rania juga Radit dengan wajah yang tersenyum lebar tiada satupun yang tahu hatinya terluka, kecuali Raiyan yang sejak tadi memperhatikannya.

“Ainun … bisa kita bicara?” ucap Raiyan, saat melihat Ainun sibuk dengan anak-anaknya.

Ainun mengangguk, tak biasanya wanita itu terlihat kacau dan lemah. Ia mengekor pada tubuh Raiyan, mengikuti hingga ke ruang kerja. Raiyan duduk di kursi, diikuti Ainun yang duduk berhadapan dengannya. Ainun terus menunduk.

“Maafkan Ainun, Pak. Terima kasih, karena Bapak sudah membantu Ainun.”

“Katakan, apa hubunganmu dengan lelaki itu?”

“Hanya teman, Pak. Malam itu dia membantu saya. Saya tak ada tempat tinggal, setelah Bapak memutuskan membeli toko Pak Madi, tiada tempat untuk saya berlindung.”

“Kamu tinggal di toko Pak Madi?” tanya Raiyan terharu, hatinya sesak mendengar cerita Ainun.

Berat Ainun mengangguk, tak lama air mata itu kembali jatuh. Ainun tak kuasa menghadapi cobaan yang ia terima, ia tak ingin kampus mengeluarkannya.

“Berapa lama kamu tinggal dengan lelaki itu?”

“Hanya dua malam Pak, setelah saya bekerja dengan Bapak. Barulah saya pindah, saya bersumpah Pak.”

Comblang Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang