Perkataannya mungkin menyakiti perasaan Marvin membuat Risa merasa menyesal. Dia tidak berpikir jika di sini yang paling terluka adalah Marvin adiknya sendiri.
Kenakalannya mungkin saja cara agar kakaknya kembali memperhatikannya seperti dulu. Orang tuanya yang selalu pilih kasih dan lebih menyayangi kakaknya, membuat mental Marvin sebenarnya sudah bermasalah.
"Masuk." Kata seorang pemuda di balik pintu kamarnya.
Risa akhirnya memberanikan dirinya untuk menemui Theo di kamarnya malam-malam. Dia mengira jika yang mengetuk pintu adalah adiknya, tapi melainkan gadis asing yang harus hidup seatap dengannya.
Mereka tidak pernah bicara berdua selama bertahun-tahun dan kini Risa menemuinya. Perlahan melangkahkan kakinya, berjalan menghampiri pemuda yang duduk menatap fokus ke layar laptopnya.
"Aku memang tidak punya hak untuk mengatakan ini. Tapi-"
"Dia adikku dan aku sedang mendidiknya." Sela Theo yang sudah tahu apa yang akan di katakan gadis itu.
"Ya, dia adikmu. Aku tidak punya hak atas dirinya," ucap Risa setelah bertahun-tahun, baru kali ini dia bicara banyak dengan suaminya.
"Lalu?" tanya Theo masih fokus dengan mengetik di laptopnya, tanpa memperdulikan orang yang bicara di dekatnya.
"Jangan terlalu keras padanya, sudah banyak hal yang hilang darinya. Mungkin, kamu tidak melihatnya tapi aku merasakan apa yang Adikmu rasakan."
"Aku juga di berikan tanggung jawab dan tugas untuk menjaganya oleh orang tuamu. Tindakanmu kali ini, bukan membuat dia merenungi kesalahannya, melainkan membuatnya terluka." Jelas Risa membuat pemuda itu menghentikan jarinya yang sedang mengetik itu.
"Kamu hanya orang asing, tahu apa tentang Adikku." Kata Theo dengan menatap dingin sepasang mata bening milik Risa.
Langkah kaki Marvin terhenti ketika akan melewati kamar kakaknya dan mendengar percakapan mereka. Di sini dia mendengar jelas nada suara datar kakaknya. Dia menganggap istrinya yang hidup bersamanya bertahun-tahun ini adalah orang asing.
Perkataan Theo baru saja seperti tamparan keras di hati gadis mungil itu. Suara khas Theo terdengar menggema di kamar. Adiknya berdiri dengan kaki yang seperti melemah saat mendengarnya.
"Orang asing ini harus bersujud pada pihak guru agar tidak mengeluarkan Adikmu dari sekolah. Uangmu pun tidak bisa menyelamatkan Adikmu." Ungkap Risa dengan mata berkaca-kaca, membuat Marvin tertegun mendengarnya.
Theo masih menatap dingin Risa yang kini menahan air matanya untuk tidak jatuh. Bertahun-tahun lamanya dia menahan unek-uneknya. Sekarang, emosinya meledak ketika Theo bersikap seperti itu pada adiknya.
"Marvin memang nakal, tapi aku tidak pernah menghukumnya seperti yang kamu lakukan. Kamu memang Kakaknya, tapi dia merasa kamu adalah orang asing." Jelas Risa memberanikan diri untuk bicara terang-terangan pada Theo.
Gadis itu melihat kunci motornya Marvin di dekat laptop Theo. Ia langsung dengan cepat mengambilnya dan berjalan pergi untuk keluar dari kamarnya.
Theo beranjak berdiri dari duduknya, Marvin melihat di sela pintu terlihat jelas wajah kesal juga marah Theo kakaknya. Dia tidak tahu apa yang akan di lakukan kakaknya.
"Berapa yang kamu inginkan? Aku akan mengganti kerugianmu menjaga Adikku selama ini dan pergilah dari rumah ini." Kata Theo menghalangi jalan gadis itu.
"K-kamu mengusirku?" tanya Risa menatap pemuda berpostur tinggi besar di hadapannya.
"Untuk apa kamu mempertahankan rumah tangga yang tidak pernah ada itu. Ibu sudah tidak ada di sini, kamu boleh pergi tugasmu menjadi Istri di atas kertasku sudah selesai." Kata Theo mampu meruntuhkan kesabaran dari Risa yang selama ini ada.
Tetesan bening semakin menggenang di pelupuk matanya, perlahan sepasang mata bening itu berubah memerah. Ia memegang erat kunci motor Marvin sekuat-kuatnya.
"A-apa kamu berpikir aku bertahan di sini karena Ibumu?" tanya Risa dengan matanya berkaca-kaca.
"Lalu? Apa karena uangku?" tanya Theo membuat gadis itu semakin erat memegang kunci motor di tangannya.
"A-aku beritahu, aku bertahan bukan karena Ibumu atau uangmu. Tapi, karena aku mencintaimu dan karena cintaku itu, aku mampu bertahan sejauh ini. Bersamamu yang tidak pernah menganggap ku sebagai Istrimu." Ungkap Risa dengan tangisannya yang pecah.
Marvin menoleh ke sela pintu kembali, untuk pertama kalinya dia melihat kakak iparnya menangis. Hatinya seperti ikut sakit mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut Risa dan terluka mendengar respon kakaknya.
"Berhenti mencintaiku, karena aku tidak akan pernah mencintaimu." Pinta Theo dengan santai sambil berjalan melewatinya.
Risa tertegun ketika mendengar jelas apa yang di katakan Theo baru saja. Dia berusaha berjalan di tengah runtuhnya perasaannya, perlahan pergi dan Marvin buru-buru kembali ke kamarnya.
Gadis itu menuruni tangga sambil menangis dan keluar dari rumah untuk menenangkan dirinya. Ia menangis sejadi-jadinya di luar rumah dan tidak bisa menjelaskan seberapa sakitnya hatinya saat ini.
Di balkon kamarnya Marvin dapat melihat tangisan kakak iparnya, ia menangis di halaman rumah. Memeluk lukanya sendirian, ia seperti merasa bersalah telah membuat pertengkaran hebat itu terjadi antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In The Past
Teen FictionAku hanya punya cinta untuk mempertahankan rumah tangga kita. Mungkinkah, cinta yang ku miliki dapat mengubahmu untuk mencintaiku balik. ~Risa Adrianii