Aku mencintai mu, namun kau memperjuangkan nya. Lantas apakah aku harus tetap mempertahankan mu?
***
Fardhan menatap bukunya tanpa minat. Namun, ia juga tak ingin untuk keluar kelas. Yang dilakukannya hanya berdiam diri sembari menatap datar ke segala arah dari posisi bangkunya.
"Dhan, mau ke kantin nggak lo?"
"Nggak."
"Yaelah apaan sih lo sok galau kayak cewek pms aja." cibir Naren. Sejak tadi pagi Fardhan tak menyahuti apapun yang diucapkan oleh orang lain. Kedua sahabatnya aja sudah tak habis pikir dengan jalan pikiran cowok itu. Sejak Fardhan berpacaran lagi, ia justru terlihat sering gelisah tak jelas.
Naren dan Randi bukan bermaksud tidak setuju dengan keputusan yang sahabatnya jalani. Namun, mereka sangat tahu bahwa Fardhan tidak benar-benar serius pada gadis yang menjadi pacarnya itu. Cowok itu masih saja mengharapkan masa lalu nya terulang walau itu jelas tak mungkin. Sebagai sahabat, mereka hanya tak ingin Fardhan bertindak salah dan menyakiti orang lain juga.
"Dhan, lo kenapa sih makin nggak jelas gitu? Galau? Mikirin siapa? Nara? Bunga?" tanya Randi. Ia sudah duduk di atas meja Fardhan. Namun si empu belum juga memberi respon apapun, "Kalau lo memang masih ada rasa sama Bunga, jangan sakitin Nara." lanjutnya.
"Gue juga pengen hidup bebas." Akhirnya Fardhan membuka suara. Cowok itu melirik sekilas ke arah sahabatnya.
Terdengar suara helaan napas panjang dari kedua remaja laki-laki itu. Harus berapa kali mereka memberi tahu si keras kepala ini? Mereka mungkin tidak pernah menjadi Fardhan, namun bukan berati mereka tidak tahu penderitaan sahabatnya itu.
"Lo nggak mau nemuin Nara? Nggak kasihan kalau dia nyariin lo?" pancing Randi.
"Bilang aja gue masih sibuk." sahutnya enteng. Ia tidak ingin bertemu siapa-siapa termasuk pacarnya sendiri.
"Lo kenapa sih?"
"Yaudah lah Ran, yuk ke kantin gue laper." putus Naren, percuma saja mereka memaksa jika Fardhan tidak ingin dibantu.
"Yukk, gue keluar dulu Dhan, tiati kangen." pekik Randi melambaikan tangan manja ke arah Fardhan.
Sepeninggalan kedua sahabatnya Fardhan kembali termenung. Semua ucapan mereka benar. Ia tidak bisa jika hanya menjadikan Nara sebagai pelampisan sebab dirinya memang belum bisa terbebas dari belenggu masa lalu.
***
"Nar?"
"Apa?"
"Lo masih pacaran nggak sih sama kak Fardhan?"
Huk. Huk. Huk.
Nara tersedak, buru-buru Vanda mengambilkannya minum. Diteguknya minuman itu hingga separuh."Kok lo tanya gitu sih?"
"Yah habisnya kalian tuh aneh, udah 2 minggu lebih pacaran tapi kak Fardhan masih jarang nemuin lo, ngajakin makan kek, apa gitu. Yah kali cuma antar jemput kayak tukang ojek." jelas Zoya sembari mengaduk es tehnya.
"Yah mungkin kak Fardhan harus adaptasi sama gue. Lagipula dia kan sibuk." bela Nara. Jelas saja ia tidak ingin pacarnya di olok-olok walaupun oleh sahabatnya sendiri. Ia tidak ingin membenarkan Fardhan, hanya saja ia tak ingin sahabatnya salah paham dengan cowok itu. Terlebih jika keadaannya sudah begini.
"Yah kali sibuk mulu, Nar." Lagi-lagi Zoya berceletuk. Vanda yang melihat itu menginjak keras kaki sahabatnya untuk berhenti menghakimi Fardhan.
"Aw... Apaan sih lo Van." protes Zoya tak terima. Vanda hanya mendesah tak habis pikir. Menurut gadis itu biarlah Nara yang menentukan pilihannya sendiri. Sebagai sahabat, ia hanya bertugas mendukung apapun selama itu yang terbaik untuk sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice [Completed]
Teen FictionSelalu ada balasan di setiap luka yang kau buat. Sadar ataupun tidak, kita hanya mementingkan keinginan diri tanpa memikirkan rasa orang lain. Atau mungkin saja kita mengorbankan suatu untuk hal yang mungkin tak ditakdirkan Tuhan supaya kita miliki...