Part 40

3.1K 103 5
                                    

Ceklek!

Pintu terbuka. Semua mata menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.

"Dok gimana anak saya? Gimana Fardhan?"

Laki-laki berkepala empat itu menghela napas. Ia membuka masker yang menutupi sebagian wajah. Terlihat lelah. Juga bersalah.

"Jadi bagaimana keadaannya dok?" Fena bergerak maju selangkah. Ia menatap cemas dengan di temani suaminya yang terus berbisik menenangkan.

Sedangkan gadis itu tak menunjukkan pergerakan apapun. Ia diam. Hatinya seolah takut tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Walaupun ia harus tetap optimis untuk kesembuhan kekasih tercintanya.

"Alhamdulillah operasinya lancar..." semua tercengang. Bola mata berbinar menunjukkan kebahagiaan. "Tapi Fardhan masih koma dan saya nggak bisa memastikan itu."

Mencelos.

Dibawa ke awang-awang lalu di hempaskan ke dasar jurang. Sakit. Perih. Pilu. Semua berkobar dalam hati ingin di suarakan. Ingin meraung pada Tuhan meminta keajaiban untuk mereka.

"Dok..."

"Saya sudah memaksimalkan agar dia lekas sadar. Saya harap kita semua berdoa untuk kesembuhannya." jelas Devan, dokter Fardhan.

"Terima kasih dok." akhirnya Deon, papanya Fardha membuka suara. Pria dewasa itu terus mengelus pundak istrinya. Tersenyum tipis dibalik luka yang menyayat hatinya sebagai seorang ayah.

"Mas, aku khawatir sama kondisi anak kita." Fena berbalik menatap suaminya. Sorot sendu itu membuat sepasang mata lain menundukkan kepala dalam.

"Sayang kita lihat dulu perkembangan Fardhan gimana, kalau dia belum sadar kita bawa ke Singapura aja," putus Deon.

Fena hanya mengangguk pasra. Wanita itu kemudian melihat ke arah Nara. Gadis itu terlihat diam saja ditemani kedua sahabatnya yang terus memberikan semangat. Mengusap bahu guna menyalurkan semangat.

"Nara"

Gadis itu tidak manyahut. Langkah Fena semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu mengelus puncak kepala Nara. Ya, Fena memang sudah merestui hubungan antara keduanya. "Sebentar lagi Fardhan bakalan di pindahin ke ruang inap biasa, kamu yang pertama jengukin dia ya?"

Nara mematung. Ia berkedip, mengembalikan kesadarannya. "Kalau kamu yang jenguk duluan, tante yakin Fardhan bakalan cepet sadar," ucap Fena yang hanya di angguki oleh Nara.

Setelah mengatakan itu, wanita berbaju hijau itu berbalik. Hendak pergi. Namun di tangannya di cekal oleh Nara, "Tante..."

"Ya sayang?"

Nara menunduk. Ia meremas tangannya yang berkeringat. "Kamu mau bicara apa, Nar?" tanya Fena.

"Kalau tante mau bawa kak Fardhan ke Singapura demi kesembuhan kak Fardhan, aku— aku nggak apa-apa kok."

Fena menghela napas. Sepertinya gadis ini masih pada persepsi pertamanya. Menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada sosok lelaki yang terbaring lemah dengan bantuan alat medis disana. Padahal, Fena sendiri sebagai ibunya tidak akan menyalahkan gadis itu.

"Tante kalau marahin—" sebelum Nara menyelesaikan ucapannya, wanita itu menyela. "Nggak ada yang perlu kamu khawatir in sayang. Tante yakin Fardhan sebentar lagi udah sadar. Kamu jengukin dia ya? Tante mau pulang dulu sebentar."

"Iya." akhirnya Nara mengalah.

***

Terdengar pilu dan menyakitkan. Nara hanya duduk tak bersuara di ruang bernuansa putih itu. Bau obat-obatan menyengat, suara monitor berdengung, entahlah ia merasa sangat lemas.

The Choice [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang