BAGIAN LIMA

1.6K 108 0
                                    

Pelajaran olahraga akan dimulai 15 menit lagi jika sudah seperti ini para murid yang belum berganti pakaian akan tergesa gesa menuju ruang ganti, hal itu juga dilakukan sang badut kelas, Anggi Novianti, sang badut kelas kenapa julukannya badut karena dia memang suka mengumbar leluconnya pada semua orang, tertawa seakan dia orang paling bahagia disini.

"Pisau." wajahnya berseri saat melihat benda tajam itu, persis seperti psikopat, jika Hamdi sang dokter bahagia ketika melihat mayat maka Anggi akan bahagia ketika melihat benda tajam seperti itu.

"Jika wajahnya seperti itu Anggi terlihat seperti akan membunuh seseorang. Mengerikan." Lita tidak bisa diam ketika matanya melihat sesuatu yang kurang normal menurutnya. Dan itu bisa jadi ancaman.

"Jika kamu membiarkannya tanpa ikut campur maka itu tidak akan mengerikan." Nada malas yang biasa digunakannya saat berbicara benar benar menandakan dia lelah berhadapan dengan makhluk didepannya ini.

Anggi mengambil pisau yang sudah berkarat itu, memegangnya kemudian meletakkannya kembali.
"Ini menyakitkan." setelah mengatakan itu dia langsung bergegas keluar.

"Apa dia gila?" Maya memang memiliki mulut yang tajam, blak blakan dan tidak pernah disaring.

"Diamlah May, kamu sama gilanya dengan dia." setelah itu Dea mengambil pakaiannya dan pergi dari ruang itu.

**

Sebuah pesan masuk pada ponsel yang tergeletak diatas meja itu

Cukup sulit untuk menemukanku bukan? Jangan terlalu berusaha, orang orang akan menghilang dengan perlahan jika kau terlalu berusaha. Hanya sebentar dan keadaan akan kembali seperti semula.

Keyra memijit pelipisnya sesudah membaca pesan itu, jangan terlalu berusaha katanya? Menghilang? Apa akan ada korban lain lagi? Seberapa psikopat sebenarnya orang yang sedang dihadapinya ini? Semua seakan sudah terencana dengan sangat rapi. Keyra tidak menyangka jika sebuah kasus yang dialami anak sekolah akan serumit ini. Motif apa yang dijadikan pelaku ini untuk membunuh para korbannya? Dendamkah? Tapi mengingat semua korban yang meninggal secara misterius ini hanya orang orang yang dikenal ramah dan disenangi kebanyakan orang rasanya akan sedikit kemungkinan mereka memiliki musuh.

"Ferdi! Tolong cek dimana ponsel dengan nomor ini berada, setidaknya kita akan menemukan sedikit petunjuk dari sana." Keyra memberikan ponselnya pada Ferdi.

"Baik bu." setelahnya Ferdi pergi dari hadapannya.

Keyra kembali memegang map yang diberikan laki laki yang ditemuinya kemarin dan tersenyum, sebuah petunjuk sudah didapatkannya walau masih belum menemui titik terangnya setidaknya apa yang ada didalam map ini akan membantunya menemukan pembunuh sebenarnya.

"Mari kita lihat seberapa banyak lagi yang akan menghilang setelah ini." Keyra pergi dari ruangannya.

**

"Aku pulang." Ucap Dea sambil masuk kedalam rumah dengan tangan yang berdarah.

"Kamu kenapa An?"

"Seekor kucing." Jawab Dea. Dia menunjuk kearah gerbang rumah mereka.

Karin bergegas keluar melihat kucing yang Dea maksud, mungkin saja kucing itu sedang sekarat atau apapun.

Tapi yang didapatinya adalah seekor kucing yang tergeletak dengan kepala terkulai, kucing itu mati. Karin kemudian masuk kedalam setelah menyuruh seseorang untuk mengubur kucing yang mati itu.

"Aku hanya memegang kepalanya seperti ini."
Peraganya dengan tangan yang sibuk menekan kepala boneka yang berada didekatnya.

"Kenapa kamu mencekiknya An?" Tanya Karin, ibunya.

"Dia menggigitku, lihat, tanganku mempunyai lubang sekarang, lalu dia juga mencakarku, tanganku mempunyai garis panjang." Dea memperlihatkan tangannya pada Karin.

"Itu karena dia takut sayang, kucing itu mungkin terkejut karena kamu mendekatinya." Jelas Karin.

Dia terkejut, anaknya yang baru berumur sebelas tahun sudah membunuh seekor kucing. Itu mengerikan.

**

"Para detektif itu belum juga menemukan apa apa, kalau begini terus aku yakin akan ada berita menggemparkan lagi untuk sekolah kita yang sudah terkutuk ini." Lita menusuk baksonya dengan masih berceloteh tentang kasus pembunuhan yang masih belum diketahui siapa pembunuhnya itu.

Dengan wajah malas seperti biasa Beti mengamati seseorang yang baru saja melewatinya, walau sedikit menunduk Beti bisa melihat orang itu melirik kearahnya walau sebentar.

"Ah!! Iya!!! Aku punya sedikit kabar untukmu." Lita masih belum menyerah untuk membuat Beti merespon setiap ucapannya.

"Apa?" Walaupun terdengar malas tapi Beti kadang membutuhkan informasi yang diberikan Lita untuknya.

"Kamu tau Dea bukan? Ketua organisasi dengan wajah es itu?"

Beti mengangguk, lalu mengaduk minumannya.

"Ternyata dia berpacaran dengan salah seorang pemilik bar. Awalnya aku tidak terlalu percaya, tapi setelah melihat beberapa kali orang itu menjemput Dea kesekolah aku akhirnya percaya jika semua itu bukan bualan saja."

Alis Beti sedikit terangkat, jika diteliti lebih dalam ada perubahan dari ekspresi wajah Beti ini, tapi Lita sepertinya bukan orang yang akan memperhatikan sekitar dengan teliti.

"Tapi mereka sangat aneh, beberapa kali berbicara kemudian saling mendahului satu sama lain dan pergi. Hanya itu. Padahal aku berharap akan melihat ekspresi bahagia diwajah Dea itu, tapi ternyata tidak, walaupun saat tangannya digenggam oleh laki laki itu dia hanya diam. Tidak seperti orang berpacaran." setelah menyelesaikan kalimatnya Lita menghabiskan baksonya.

Sudut bibir Beti terangkat sedikit
"Seperti dirimu pernah berpacaran saja." setelahnya mereka hanya diam
Lita cemberut tapi tidak mengatakan apa apa.

Lorong sekolah memang selalu sepi ketika jam jam pulang sekolah sudah berakhir. Bel sudah berbunyi lebih dari satu jam yang lalu tapi Beti masih saja duduk dikursinya. Lima menit kemudian dia beranjak dari sana menuju gerbang sekolah.

"Kamu benar benar akan mengakhirinya?" Suara dingin dari seorang perempuan itu terdengar lebih jelas karena sekolah sudah sangat sepi.

"Aku sudah tidak bisa mengerti semuanya lagi, jadi kita akhiri saja" laki laki yang menjadi lawan bicara perempuan itu membalas ucapannya.

Laki laki itu benar, semua yang dilakukan perempuan itu sudah tidak bisa dimengerti lagi, oleh dirinya dan orang diluar sana.

"Aku tidak ingin berakhir." perempuan itu menyadari sesuatu "kita bicarakan lagi nanti." setelah melanjutkan ucapannya perempuan itu menarik tangan laki laki itu dan pergi dari sana.

Beti yang berdiri sambil bersandar pada sebuah dinding disana tersenyum.
"Hanya saling menguntungkan. Atau memanfaatkan?"

Setelah itu dia meninggalkan sekolah itu menuju rumahnya.

**

6 Desember 2018

Tc.

THE SINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang