BAGIAN TIGABELAS

938 70 1
                                    

Jisty duduk dengan gelisah didalam ruangan dengan cat hitam itu, menambah kesan suram, degup jantungnya semakin tak beraturan ketika pintu itu dibuka secara perlahan, seolah ingin membuatnya semakin takut. Sosok wanita anggun dan juga tegas masuk dengan secangkir kopi ditangannya.

"Anda pasti terkejut karena dibawa dengan paksa kesini." Ucap Keyra sambil menyodorkan kopi itu pada Jisty.

"Benar! Seharusnya sebagai seorang yang menaati aturan anda bisa mendidik anak buah anda untuk tidak bersikap dengan seenaknya seperti tadi." Balas Jisty dengan nada sedikit tinggi, napasnya terengah karena emosinya.

"Maafkan dia. Ah, seharusnya saya saja yang pergi kesana tadi." Ucap Keyra dengan mata yang masih memandang Jisty.

Benar apa yang dikatakan Ferdi sebelumnya, kadang dalam waktu seperti ini otaknya cukup berguna juga. Keyra membersihkan tenggorokannya, kemudian meletakkan kedua tangannya diatas meja.

"Begini saja. Saya hanya akan bertanya sedikit pada anda, jika anda tidak keberatan."

Jisty mengangguk, jika dia tidak membantu para penegak hukum ini maka dirinya akan semakin dicurigai bukan?

"Malam tanggal 25 Januari anda berada dimana?"

"Saya bekerja seperti biasa, di bar biasa. Anda bisa mengkonfirmasinya pada atasan saya."

"Bagaimana hubungan anda dengan korban?"

"Seminggu ini kami memang terlibat pertengkaran yang memang tidak bisa saya jelaskan kenapa." Ucap Jisty, Keyra mengangguk, karena memang ada beberapa hal yang tidak dapat dikatakan.

"Apa ada hal yang mencurigakan pada korban? Apa dia memiliki musuh?"

Seharusnya pertanyaan terakhir itu tidak ditanyakan, karena tanpa bertanya pun semua orang akan tau jika Joana sang penulis sombong itu pasti memiliki musuh.

"Anda tau tanpa harus bertanya pada saya."

Memang benar benar tidak ingin membuang waktu. Keyra berdehem sedikit, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu menatap tepat pada kedua mata Jisty.

"Anda juga bisa menjadi musuhnya bukan?"

"Tidak mungkin." Jisty tertawa sumbang yang tampak seperti menutupi kegugupannya dimata Keyra.

"Kami berteman cukup lama. Tidak mungkin saya menjadi musuhnya."

"Baiklah. Apa anda tau sesuatu tentang siapa orang yang berpeluang besar yang bisa membunuh korban?"

"Saya.. tidak tau." Jawab Jisty dengan nada pelan, dia menundukkan kepalanya yang sebelumnya terangkat tinggi seakan menantang Keyra.

Keyra mengernyit dengan perubahan sikap Jisty. Mungkin sedikit memancingnya akan memudahkan Keyra.

"Anda tau sesuatu tentang pembunuhan itu, benar?"

"Aku tidak tau apa apa. Juga, seharusnya anda tidak mencurigai seseorang seperti itu. Walaupun kami bertengkar seminggu sebelum pembunuhan itu terjadi, bukan berarti saya membunuh korban."

Sudut bibir Keyra berkedut, menahan senyum yang akan keluar.

"Saya tidak bilang anda pembunuhnya."

Wajah Jisty yang semula sudah santai menjadi pucat, sepertinya dia membuat kesalahan fatal.

"Tapi anda mencurigai saya seakan saya yang membunuh korban."

"Itu tugas kami sebagai penyidik untuk mencurigai siapa saja yang tampak mencurigakan, termasuk anda."

"Kalau begitu terimakasih untuk waktu yang sudah anda luangkan. Anda bisa kembali."

Jisty dengan cepat berdiri dan keluar dari ruangan itu saat Keyra membukakan pinyu untuknya. Keyra memandang punggung Jisty yang semakin menjauh dan hilang. Dia bisa memanggil Jisty lagi, kapan kapan.

***

Keluarga Anggi menolak untuk melakukan otopsi pada mayatnya, alasannya cukup untuk membuat Hamdi berdecak kesal karena kegiatan untuk bermain dengan mainan barunya sedikit tertunda karena keluarga korban yang keras kepala itu. Mereka tidak ingin mengotopsi karena kasihan dengan tubuh Anggi yang akan dibedah-bedah oleh dokter gila itu.

Hamdi melirik Keyra yang baru saja tiba ditempatnya, memberikan sedikit kode agar Keyra membujuk keluarga korban untuk melakukan otopsi. Keyra juga tidak bisa berbuat apa apa karena sepertinya keluarga korban sangat keras kepala.

"Jika otopsi tidak dilakukan kita tidak akan pernah tau apa penyebab korban meninggal pak." Ucap Keyra pada Herman-ayah anggi.

Herman mendongak melihat Keyra yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.

"Saya tetap tidak mengijinkan otopsi."

"Apa alasan bapak tidak mengijinkan otopsi pada korban?"

Kening Herman berkerut, dia tidak menyukai kepala detektif ini. Dia terlalu ingin tau banyak hal.

"Kamu mau saya mengijinkan dokter dengan wajah gila itu membedah tubuh anak saya? Saya sebagai orangtua tidak tega melihat itu. Dia sudah cukup menderita." Satu air mata menetes dipipi Herman.

"Jadi anda sebagai orangtua menginginkan pembunuh anak anda masih bebas berkeliaran diluaran sana? Anda mungkin tidak tau jika pembunuh iu bisa saja membunuh oranglain jika dia belum ditangkap." Ucap Keyra, masih mencoba untuk membujuk Herman melakukan otopsi.

Karena jika otopsi tidak dilakukan akan menghambat proses penyelidikan, dan Keyra tidak ingin pekerjaannya terhambat hanya karena satu orang korban.

Akhirnya setelah terdiam selama sepuluh menit Herman mengangguk, menyetujui otopsi pada anaknya. Hamdi berdecak, jika yang membujuknya seorang wanita cantik seperti Keyra Herman tidak membutuhkan waktu berjam jam untuk mengangguk menyetujui otopsi ini. Kemudian Hamdi tersenyum cerah. Akhirnya dia punya mainan baru.

Setelah mendapat anggukan dari Keyra Hamdi membawa mayat Anggi masuk kedalam ruang otopsi, memulai pekerjaannya.

***

Sekolah swasta X diliburkan selama dua hari akibat kejadian yang terjadi saat acara camping. Beberapa wali murid sudah merencanakan untuk memindahkan anak anak mereka kesekolah lain karena takut jika anak mereka akan jadi korban dari pembunuh berantai itu. Beti akan mengunjungi seseorang dirumah sakit, jika saja orang yang akan dikunjunginya tidak datang kerumahnya. Lelaki ini memang tidak pernah berubah, selalu seenaknya.

"Aku barusaja akan kesana." Ucap Beti sambil mendudukkan diri disamping laki laki itu.

"Terlalu lama. Aku tidak bisa menunggu."
Balas Levan, dia tersenyum tenang kearah Beti.

"Aku menemukannya. Orang itu. Kejiwaannya sedikit terganggu, yah, tidak heran, lima tahun dalam kurungan yang gelap akan membuat jiwa seseorang terguncang." Beti sedikit tersenyum mendengar jika Levan berhasil menemukan orang itu.

"Dimana dia?"

"Dalam perawatanku."

Beti tidak perlu merasa khawatir lagi dengan orang itu jika dia sudah berada dalam pengawasan Levan. Beberapa saat kemudian Levan berdiri saat seseorang dari rumah sakitnya menelepon membutuhkan Levan disana.

"Kita akan bertemu lagi minggu depan. Saat itu pastikan kamu sudah tenang." Levan berjalan menuju pintu keluar dengan Beti yang masih ditempatnya, hanya diam, tidak mengantar Levan menuju pintu ataupun melihat lelaki itu masuk kedalam mobilnya.

Levan berbalik, menatap Beti dengan senyum teduh tapi tegas.
"Perbuatanmu dua minggu lalu jangan diulangi. Kamu berada dalam pengawasanku." Setelahnya Levan benar benar pergi dari rumah itu.

Beti yang tau perbuatan apa yang dilakukannya itu hanya diam, tidak ingin terlalu memikirkan apa yang dikatakan Levan padanya. Karena dia memang berada dalam pengawasan laki laki itu. Selalu.

***

29 Januari 2019, Selasa.
Tc.

THE SINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang